Salju di Paris - Cerpen Sitor Situmorang
(Pengantar: Cerpen Sitor Situmorang ini dimuat di buku Salju di Paris, 'Salju di Paris', Grasindo: 1994, halaman 3-11. Selamat menikmati!)
Seakan
tidur tadinya ia menyisihkan selimut. Pandangnya merasakan putih dalam gelap
kamar. Keputihan tertutup salju di luar. Masih turunkah? Ia bangun dan kakinya
mencari selop di lantai. Dingin seperti es. Di ruangan kedai di bawah terdengar
suara janda si pemilik hotel, Madame Bonnet.
“Monique!”
Itu pelayan-babu.
Ia
berpaling. Memang salju masih jatuh. Seperti gambar film yang bergetar,
menambah kekaburan pandang melalui kaca jendela lembab. Dingin sekali dan
nyaman.
Ia
berdiri menuju bak cuci muka di dinding. Dengan tak sadar ia membuka kran air
panas. Air ditampung membakar tangannya dan jengkel terkejut ia menarikkannya,
lalu kran air dingin dibukanya pula. Suara air memancar ke dalam bak, panas
bercampur dingin, menggetarkan syaraf dan memanaskan darahnya. Dingin benar
musim sekali ini. Ia pergi mengambil baju kamarnya dari sangkutan di balik
pintu.
Bau
bedak harum, seakan-akan udara terlupa, menguap lepas dari lipatan-lipatan. Ia
sadar bahwa hal ini menimbulkan sayatan sedetik dalam hatinya.
Menyeret
langkah ia kembali ke bak. Sudah kosong. Ia lupa memasang sumbat. Dan di dasar
bak beberapa helai rambut panjang.
Ia
pergi tidur lagi.
Ketika
ia melihat pada jamnya, hari sudah pukul sebelas. Tapi Monique rupanya sudah
lama mengetok pintu. Memang. Derum mesin pengisap abu terdengar di kamar 15, di
sebelah.
Ia
duduk lagi dan mengharapkan Monique datang masuk. Monique tahu semua dan
Monique tak akan berkata apa-apa. Madame Bonnet tahu juga, tapi Madame Bonnet
lain. Janda ini mengerti. Mengerti segala hal karena pengalaman. Monique
mengerti tanpa pengalaman. Kesanggupan mengerti lahir bersama dirinya, bersama
pandangnya yang lunak, senyumnya yang setia dan diperkuat oleh keteraturan pada
kewajiban sehari-hari.
Pagi-pagi
membantu anak-anak Madame Bonnet (tiga orang: dua laki-laki, seorang gadis)
berpakaian untuk ke sekolah Katolik dekat di bagian kota itu juga. Membuka
pintu buat penjaga bar Andre, supir pensiunan. Melap perabot. Kemudian
membangunkan tamu-tamu hotel di atas. Derak-derik sepatunya di anak tangga,
tiap pagi pada jam tertentu, termasuk suara pagi yang begitu terkenal dan
terbiasa, seperti juga suara air mengalir dalam leding sehingga tak terdengar
lagi, kalau tidak dihentikan.
Nah,
Monique tidak datang sekali ini.
Heran.
Hal ini menggembirakan hatinya. Dan ia bersiul. Derum mesin pengisap abu di
sebelah berhenti sebentar dan mulai lagi. Makin kuat, makin nyata. Monique
sudah tak terpikir lagi ketika ia turun ke bawah.
“Bonjour
monsieur Andre, bonjour Madame!” (1)
Apa
ia memang sudah menabik, apa belum? Andre meletakkan kopi hitam, kopi
t-o-u-b-r-o-u-k, kata Andre, di hadapannya. Ia sudah biasa memakai bahan bubuk
kopi dan bukan ekstrak karena orang Indonesia itu.
Tamu-tamu
masuk. Hampir semuanya supir-supir dari service
station besar, yang bertempat di kolong luas di bawah gedung sebelah.
Mereka
masuk dengan tenang bersama angin dingin satu per satu, melalui pintu separo
terbuka, yang tiap berdetak tertutup didorong per, menggosok-gosok tangan yang
kedinginan, sambil menggosok-gosokkan laras, keras-keras dihantamkan di ambang
membuang lumpur bercampur salju kotor.
“Bonjour!”
(2)
Dan
mereka pun naik ke atas bangku bundar di bar.
Andre
menyiapkan kopi dan anggur. Ada yang hanya minum anggur saja selalu, sambil makan
roti yang dibawa sendiri. Semua tegap-tegap ditambah pula oleh baji tebal,
kumuh.
Ia
tak dapat memandang mereka lepas dari Andre dan bar serta cara-cara Andre
menuangkan dan mencampur minuman-minumannya dengan lagak orang kuasa tapi
setia. Tiap pagi.
Tapi
adakah hari selain hari pagi begini? Botol berbagai merek anggur berderet,
latar belakang kepala yang hebat dan lebat dari Andre.
Zinzno,
Dubonnet, dan sebagainya berwarna-warni.
Hanya
sedikit mereka bicara. Ia pun telah termasuk kesunyian ibadat permulaan setiap pagi
hari. Tenang seperti restoran desa.
“Monsieur,
(3) makan di sini nati siang? Saya bungkus roti buat tuan?”
Ia
menggeleng saja, hampir seperti anak manja. Ia berdiri menuju pintu. Daun pintu
berper berdetak jatuh tertutup kembali. Udara sedingin es menangkupnya di luar.
Sejenak ia bimbang.
Ke
kiri atau ke kanan, ke pusat kota? Salju masih jatuh. Terasa di daun kuping dan
rambutnya menusuk.
Beberapa
hari yang lalu ia menjumpainya. Lebih siang, tapi saljunya begini juga. Barangkali
baru lima hari yang lalu. Ya, lima hari yang lalu. Sekarang Senin. Pada hari
Kamis.
Pada
hari itu, ia pergi ke kantor polisi, ke Prefecture, memperbarui izin berdiam di
Prancis, sebagai orang asing. Hal itu wajib pada waktu tertentu. Sekarang ia
hanya perlu sekali saja dalam setahun melaporkan diri. Lima belas tahun ia
telah berdiam di Paris.
Sebagai
seniman, lebih mudah mendapat izin demikian di negeri Prancis ini. Peintre, ‘pelukis’,
demikian ia tercatat dan memang ia melukis, hanya lima tahun belakang ini tidak
lagi.
Pun
ia ingin menulis sajak. Pada perasaannya kota Paris dan segala keadaan mengajak
jadi penyair. Artinya, menuliskan, menerakan perasaan dalam sajak yang
sesungguhnya.
Tapi
tak pernah jadi. Ya, pernah juga. Sekali, lima hari yang lalu pada malam hari
ia bertemu dengan gadis itu, ketika mereka duduk di teras sebuah restoran di
tepi Sungai Seine menghadap Notre-Dame, yang terpacak menjulang ke langit,
putih ditimpa salju dan sinar lampu sorot dari bawah di lapangan.
Doa yang diacungkan di langit
itu diucapkannya dan dituliskan oleh si gadis
dalam buku catatannya, buku kecil merah yang diambil dari tas.
Ia
menyesal sesudah itu. Malu pada dirinya, tapi ia tak bilang apa-apa.
Benarkah
mereka bertemu? Hidup empat malam, bersama-sama?
Ketika
ia keluar dari Prefecture, setelah selesai urusan memperbarui izin, ia bimbang
juga seperti tadi waktu masuk di gerbang keluar menghadap Marche aux Fleurs, ‘pekan
kembang’, dalam salju dari seberang ia melihat sosok manusia, sosok perempuan
mendekat dan berhenti bimbang di depannya. Sejenak pandang mereka bertemu.
Tak
dapat ia menaksir bagaimananya. Tapi sorotan mata perempuan itu, seakan-akan
memergok dia dalam kebimbangannya, dan dengan tak sadar ia berpaling membeli
surat kabar Paris Prese dari si
timpang yang selalu berjaga di situ. Dari tahun ke tahun, dari riuh kota jutaan,
mengurungnya dalam ruang udara yang ditempati sosok badan orang itu. Itu pun
sudah berupa kenangan seperti semua di luarnya. Sejenak ia memandang uang telen
timah di tangannya, kenyataan pada detik itu.
Pada
diakah ditujukan perkataan itu?
“Monsieur,
do you speak English?” (4)
Ia
tercengang sejenak. Berapa lama ia sudah tak disapa orang?
“Yes”.
Si
gadis, sebab perempuan itu masih muda benar, menerangkan halnya. Ia tadinya
hendak minta visa ke Swiss. Ia datang dari London. Di Paris timbul niat
melanjutkan perjalanan. Tapi foto tak disediakannya dan orang dalam Gedung minta
foto. Ini orang Asia. Orang Eropa tidak memerlukan visa. Tapi bangsa apa, peranakan?
“Suives moi!” katanya dengan gerak tangan
dan sikap menghibur. Tak sadar pun ia berbahasa Prancis. Tapi gadis itu
mengerti dan sekarang jalan di sampingnya. Di pulau di tengah Sungai Seine itu,
dengan Notre Dame-nya dan lain-lain Gedung penting, ia kenal seorang tukang
gambar pas. Selesai “dalam tempo yang sepuluh menit”.
Mereka menuju jalan di samping Notre Dame membelok
ke kiri ke jalan kecil dan kemudian masuk gerbang, melalui pekarangan dalam
yang sempit dan gelap. Inilah tempat tukang gambar itu, hal mana dijelaskan
oleh papan bertuliskan “Here for your
passport-photos”, (6) diperjelas dengan gambar tangan menunjuk.
Di
dalam, si gadis membuka baju musim dinginnya. Di hadapannya berdiri gadis ramping
dan jelita, berbaju mantel merah anggur.
Ia
berdiri seperti guide (7) yang sudah biasa melayani para turis, di sudut kamar,
memperhatikan si gadis mengambil sisir dan kaca dan segala keperluan bersolek.
Sebentar
lagi si gadis sudah berdiri buat diambil gambarnya. Sekarang ia dapat
memperhatikannya dari samping. Wajahnya, rambutnya, dada, tangan, kaki.
Tapi
kesannya sekali ini tak dapat disimpulkannya. Memang si gadis ini cantik, tapi
masih gadiskah dan kira-kira berapa umurnya? Kekanakan dan ketegasan perempuan
yang berpengalaman bercampur baur dalam kesannya.
Dua
kali alat potret memetik dan sekarang tinggal menunggu. Ia mengisarkan
pandangnya setelah bertemu dengan pandang si gadis.
“Saya
mau menelepon, bisa Tuan tolong? Saya tak pandai mempergunakan buku telepon Paris
ini. Lain dari London.”
“Saya
tak tahu, tapi Namanya Hotel Empire.”
Dalam
deretan nama hotel ada sekitar enam Hotel Empire.
Ia
minta si gadis menjelaskan jalannya. Ini pun tak diketahui si gadis.
“Dekat
mana, maksud saya, dekat gedung terkenal yang mana?”
“Dekat
stasiun Saint Lazire.”
Akhirnya
dapat juga. Artinya ia coba.
“Nona,
Stone, kamar 115.”
Ia
terkejut. Tapi ia sembunyikan. Dan lebih terkejut lagi mendengar jaga hotel.
Mr. Stone pergi, setelah membayar kamar.
Hal
itu dijelaskannya kepada si gadis. Si gadis tak menunjukkan perasaan apa-apa.
Setelah menerima dan membayar gambar mereka keluar tiada berkata-kata.
Ia
mendapat perasaan seakan-akan mereka sudah lama tahu-menahu hal masing-masing,
dan sudah lama bergaul dan dengan tak sadar, barangkali juga oleh dingin,
mereka berjalan merapat badan.
Ketika
di loket kantor polisi ia membaca nama gadis itu: Margaret Rodrigo.
“Nama
saya Machmud.”
Si
gadis memandangnya sebentar.
“Indonesian?”
“Saya
orang Filipina.”
“Telah
saya lihat pada paspormu.”
Setelah
di luar, dalam salju jatuh, mereka jalan dengan tiada tujuan.
“Mau
ke Swiss lagi?”
“Tidak.”
Ia mengerti.
“Mari
minum dulu.”
Demikianlah.
Dan itu lima hari yang lalu. Malamnya, gadis itu dibawanya ke hotel. Di tangga
naik ke atas mereka bertemu dengan Madame Bonnet. Tak diperkenalkannya pada
induk semangnya. Madame Bonnet tersenyum, senyumnya yang seakan-akan merestu,
selalu. Kalau ia tidak sedang dibikin jengkel oleh anak-anaknya.
“Mignon”,
(8) kata Madame tidak tertuju kepada siapa, sambil turun tangga.
Margareth
memang indah. Keindahan penyerahan kucing yang mencari pediangan di musim begini
dingin.
“Keluarga”
Bonnet menerima keadaan baru itu. Sebagaimana ia sendiri diterima dengan tiada
bertanyakan ini dan itu. Tapi sekali ini ia ingin ditanyai, kenapa dan
bagaimana. Oleh Monique yang melayani Margareth sebagai “nyonya”.
Selalu
ramah. Dan Margareth menerima layanan itu seperti orang sudah biasa dilayani
pula.
Dalam
beberapa hari itu, Margareth ikut ke mana-mana, dalam kembaranya dalam kota;
bertemu dengan kawan-kawan, pinjam uang, ke kedutaan negerinya, pada hari ia
bekerja di sana setengah hari, sebagai tukang stensil bahan-bahan penerangan
yang dikirimkan ke kedutaan lain dan badan-badan resmi, dan agaknya tak pernah
dibaca, dan dibuang sebagai yang menjadi tugasnya pula: merobek dan membuang “majalah”
kedutaan bangsa lain sebaik diterima.
Tapi
orang tidak bertanya.
Tapi
ia ingin ditanyai, ia sendiri ingin menanya.
Ia
ingin Aimee, si gadis Yahudi bertanya kenapa dan bagaimana ia bisa menghilang
beberapa hari. Oh, Aimee yang baik hati tapi keras seperti baja, yang selalu
berbaju lengan panjang untuk menutupi nomor yang dijarumkan Jerman di
Buchenwald, dalam tawanan, ke bawah kulitnya yang manis. Ingin ia ditanyai hal
cintanya, kesetiaannya, pengkhianatan, dan persahabatannya. Tapi tak ada yang
bertanya. Sedang ia sudah lama berhenti bertanya pada dirinya.
Pun
Margareth, ia ingin menanyai dia. Tapi Margareth diam dan rupanya tak merasa
perlu bertanya. Dan bercerita ia tidak bisa. Ia hidup dalam cerita dan ia ingin
lepas dari dalamnya. Ia ingin dilepaskan. Tapi Margareth diam. Mereka diam.
Pada
malam itu, ia bulat hati bertanya atau bercerita padanya.
Karena
hari terlalu dingin dan Margareth capek, ia sendirian keluar hari itu ke “pekerjaan”.
Dan lagi ia ingin sendiri sekali itu.
Ketika
turun, ia berjumpa dengan Monique.
“Nyonya
sudah bangun?”
“Biarkan.
Kira-kira jam sebelas nanti bangunkan, tapi tolong bawakan kopinya sekarang. Eh
… dan bilang saya kembali jam enam sore.”
Tapi
menjelang jam enam sore, ketika ia masuk restoran langganan dekat stasiun metro
untuk minum, ia berjumpa dengan Wong. Ia sebab.
Ia
tak suka berjumpa dengan orang ini. Apalagi sekarang. Dalam diri Wong yang
sudah tua ini, terbayang dirinya, Wong orang Tionghoa Indonesia.
Tapi
sudah dua puluh tahun di Paris. Istrinya perempuan Prancis yang dibawanya ke
Indonesia, selesai belajar di Sorbonne, mungkin juga tidak selesai,
meninggalkannya di Jakarta, setelah dua tahun di sana dulu. Dan Wong kini,
seperti dalam roman, mencari-cari istrinya di antara enam juta jiwa penduduk
Paris.
Dua
puluh tahun sudah. Tak ada yang dapat menceritakan benar tidaknya, dan apa
pernah dijumpa dan yang lebih mengherankan: apa pekerjaan Wong, dari mana
nafkahnya?
Wong
ini merupakan cermin masa depan baginya, walaupun ia tak dapat menerangkan
karena apa. Sebab ia belum pernah kawin, belum pernah ber-“istri” seperti Wong.
Tapi ada yang sama antara mereka. Hal ini tak dapat disangkal hatinya. Tak
pernah dilanjutkannya pikiran yang timbul dari perasaan itu. Ia hanya mengatakan
bahwa tak “enak” bertemu dengan Wong. Bukan karena kepalanya yang gundul licin,
bukan karena kaca matanya dan jalur-jalur sekitar dengan kerling nakal. Semua
ini kadang-kadang menimbulkan kasihan pada hatinya, apalagi kalau Wong minta
dibayar kopinya. Hal yang sering terjadi justru di restoran ini.
Tapi
itu Wong berdiri. Membelakangi pintu masuk, di muka jag akas restoran. O, ia
membeli sweepstake (9) pacuan kuda
lagi.
Ia
hendak keluar saja, tapi Wong yang berpaling dan menatap antara asap sigaret
dan suara redup, telah menangkapnya dengan pandangnya. Dengan jengkel, ia
masuk.
Lalu
ia tertahan lama-lama mendengar harapan Wong sekali waktu akan menang ratusan
ribu franc (10) di pacuan kuda dan sebagainya.
Baru
pukul sepuluh malam ia sampai di kamarnya. Ia tak menjumpai siapa pun di
ruangan bawah. Andre rupanya sedang ke belakang. Ia cepat-cepat naik tangga. Hatinya
berdebar. Ia telah tahu. Bukan firasat lagi.
Kamar
yang dibenahi, udara yang lembab panas. Tandus tanpa bekas manusia, melainkan
hanya bekas kebosanan hidup. Dibenahi, ditiduri, dibenahi, ditiduri. Tak pernah
bercakap, tak pernah bertanya dan ditanyai. Monique melengos.
Ia
turun. Andre sudah ada agaknya sengaja sibuk mengatur botol-botol dalam rak.
Madame tak tampil ke depan. Seluruh berhenti dan berputar pada sepinya,
menghadapi daun meja dari pualam.
Itu
tadi malam. Ia melangkah dalam salju. Melewatkan bus.
Salju
telah tebal di jalanan dan di atap Paris. Ia berjalan, lalu berhenti menoleh.
Jejaknya mencekam dalam salju. Beberapa merpati terbang kebingungan kian kemari
mencari makanan seperti biasa di musim dingin kalau bumi tertutup salju.
Salju
jatuh, bertimbun sedikit demi sedikit meliputi lubang jejak, menutupi
lumpurnya, hingga putih kembali. Putih seperti jalan sunyi di hadapannya.
***
1)
Bahasa Prancis: “Selamat siang Tuan Andre, selamat siang Nyonya!”
2)
Bahasa Prancis: “Selamat siang!”
3)
Bahasa Prancis: Tuan
4)
Bahasa Prancis/Inggris: “Tuan, apakah Anda bisa bicara bahasa Inggris?”
5)
Bahasa Prancis: “Ikutilah saya!”
6)
Bahasa Inggris: Di sini untuk foto paspor Anda!”
7)
Bahasa Inggris: pemandu
8)
Bahasa Prancis: cantik
9)
Bahasa Inggris: pertaruhan dalam rangka pacuan kuda
Baca: Biografi Sitor SitumorangBaca juga cerpen Sitor lainnya:
1. Ibu Pergi ke Surga
2. Pangeran
Post a comment for "Salju di Paris - Cerpen Sitor Situmorang"