Kumpulan puisi Isyarat - Kuntowijoyo
Kuntowijoyo adalah seorang akademikus yang merupakan seorang sejarawan terkemuka Indonesia. Selain menjadi pengajar, ia juga penulis cerita pendek, novel, dan menulis puisi. Karya sastra Kuntowijoyo boleh dikatakan memberikan warna tersendiri dalam arus kebudayaan Indonesia.
Isyarat adalah kumpulan puisi yang ditulis Kuntowijoyo selama ia tinggal di Amerika Serikat. Sebagian besar puisi dalam kumpulan Isyarat memang belum pernah dimuat di dalam majalah apa pun.
Dalam sajak-sajaknya ini, amat terasa bahwa Kuntowijoyo banyak mempersoalkan hidup dan kehadiran manusia dari segi filosofis. Bahkan jika melukiskan keadaan kota pun ia berusaha mencari dan melihat latar belakang yang lebih jauh lagi.
Untuk menikmati sajak-sajak Kuntowijoyo, Sastra.xyz sudah merangkumnya untuk Anda. Selamat membaca!
Kumpulan Puisi Isyarat karya Kuntowijoyo
Isyarat
Angin gemuruh di hutan
Memukul ranting
Yang lama juga.
Tak terhitung jumlahnya
Mobil di jalan
Dari ujung ke ujung.
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu
Abadi.
Angin, mobil dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.
Danau
Kutemukan danau baru
pada musim kering
jernih dan mengaca
menjamu burung
masih terdengar
tetes air
yang jatuh kembali.
Impian lama pun
berdesakan
aduh
tidak kuasa aku menahannya
sudikah Engkau menolongku.
Angin Laut
Perahu yang membawamu
telah kembali
entah ke mana
angin laut mendorongnya ke ujung dunia.
Engkau tidak mengerti juga
Duduklah
Ombak yang selalu
pulang dan pergi.
Seperti engkau
mereka berdiri di pantai
menantikan
barangkali
seseorang akan datang dan menebak teka-teki itu.
Laut
Siapa menghuni pulau ini kalau bukan pemberani?
Rimba menyembunyikan harimau dan ular berbisa.
Malam membunuhmu bila sekejap kau pejam mata.
Tidak. Di pagi hari kau temukan bahwa engkau
di sini. Segar bugar. Kita punya tangan
dari batu sungai. Karang laut menyulapmu jadi
pemenang. Dan engkau berjalan ke sana.
Menerjang ombak yang memukul dadamu.
Engkau bunuh naga raksasa. Jangan takut.
Sang kerdil yang berdiri di atas buih itu
adalah dewa Ruci. Engkau menatapnya: menatap dirimu.
Sukmanya adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita
yang baru! Tenggelamkan rahasia ke rahimnya:
Bagai kristal kaca, nyarin bunyinya.
Sebentar kemudian, sebuah debur
gelombang yang jauh menghiburmu.
Saksikanlah.
Tidak ada batasnya bukan?
Vagina
Lewat
celah ini
engkau mengintip
kehidupan.
Samar-samar
dari balik sepi
bisik malam
menembangkan bumi.
Engkau tidak paham
mengapa laut tidak bertepi
padahal engkau berlayar setiap hari.
Tutup kelopak matamu
bulan mengambang
di balik semak-semak.
Menantimu.
Misteri itu
gugur
satu-satu
setiba engkau di sana
merebahkan diri.
Bangun, Bangun
Barangkali Engkau ingin berkata
kali ini pada gugus awan:
Bangun.
Hujan akan datang juga
hutan pina itu menggeliat
menengadah pada-Mu.
Barangkali sudah selesai kitab-Mu dibacakan
pendengar berkemas pulang
gelap menyapu ujung padang
mereka kembali ke rumah
menutup pintu-pintu. Tiba-tiba
Engkau campakkan isyarat:
Bangun.
Apakah maksud-Mu
(Pohon randu menggugurkan daun
berlayangan di udara
kudengar risiknya)
Apalagi.
Engkau masih memanggilku juga.
Serasa begitu. Serasa begitu.
Engkau selalu menggodaku.
Aku cinta kepada-Mu.
Batu Pualam
Di batu pualam
jejak para nabi
aku berjalan berjingkatan
menyongsong nyanyian
Cahya redup bianglala
menghampir pucuk menara
wahai
angin utara menghembus
burung ke angkasa
Pelan bagai belaian
malaikat
bersujud
pada Adam
Tuhan mengangkatmu
sedepa di atas ujung karang
guntur terdengar
bagai nyanyian
Di batu pualam
jejak para nabi
aku bangkit
menuju
pada
Mu.
Sepi
Jangan ditinggalkan sepi
karena ia adik kandungmu
ketika di rahim ibu.
Jangan dibunuh sepi
karena ia kawan jalanmu
ketika di selubung mimpi.
Di subuh pagi itu
ia menunggu
mengalungkan bunga ke lehermu
mengucap doa-doa
menyanyikan mantra.
Aduh
engkau sungguh berbahagia
karena hari ini
ia meluangkan waktu
bersamamu
sendiri.
Kabut
Ada kabut di atas bukit.
Pergi ke sana
daerah samar tak bertepi
di lindung hutan kenangan
bayang-bayang purba
(Kaujamah puncaknya
tiba-tiba terlepas rindunya)
Bidadari kuning rupanya
menguntai permata
melempar mawar
membagi rahasia.
Ada kabut di atas bukit.
Bersumpahlah
Demi impian terpendam
mendaki punggungnya
berdiri di tengah-tengah
dan berseru:
Kutemukan daerah baru.
(Sebenarnya daerah yang dulu
tetapi engkau melupakannya
ingatanmu terkubur waktu)
Ada kabut di atas bukit.
Remang-remang saja
selangkah maju:
Surya menyala di ubunmu.
Sesudah Perjalanan
Sesampai di ujung
engkau menengadah ke langit
kekosongan yang lembayung
Ayolah, ruh
tiba saatnya
engkau menyerahkan diri
Sunyi mengantarmu ke kemah
di balik awang-uwung
di mana engkau istirahat
sesudah perjalanan yang jauh.
Waktu
Engkau dibunuh waktu
Sekali lupa mengucap selamat pagi
tiba-tiba engkau sudah bukan engkau lagi
Waktu membantai bajingan dan para nabi
kerajaan-kerajaan kitab suci
peradaban di buku sejarah
Semua harus menyerah
Engkau sibuk memuji namanya
selagi ia berusaha menghinakanmu
memendammu di bawah batu-batu
(Engkau tak bisa berteriak
ia juga melahirkan koor yang berisik dan keras)
Seperti singa lapar
ia duduk di meja
sedia mencakarmu
selagi engkau bersantap
Ssst, pikirkanlah
bagaimana engkau bisa membunuhnya
sebelum sempat ia menerkammu.
Musium Perjuangan
Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya.
Aku tahu sudah, di dalamnya
tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut citanya
dan tak pernah kembali.
Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati.
Ingatlah, sesudah sebuah perang
selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.
Suara
Aku suara menderu dan warna ungu. Terserap
jasadku. Kukira akan padam juga. Tetapi tidak.
Adakah engkau juga menangkap makna itu? Di luar,
sebagai sediakala. Langit bersatu dengan birunya
menyelimuti bumi yan diam. Pelan udara merayap,
menggosok-gosok di pohonan. Engkau pasti tak
mendengar suara itu. Ada gemuruh di tubuhmu.
Barangkali ruhmu sedang mempersoalkan gelombang
yang tak mau berhenti itu. Gelombang-gelombang
suara. Gelombang-gelombang warna. Bercahaya-
cahaya! Membuatku lupa bahwa hari sudah malam,
sudah waktunya pergi tidur. Tidak, ia bergerak-
gerak. Menuntunku ke mimpi yang lena sebelum
bahkan mata berhasrat memejam. Hai! Ia mengucapkan
sesuatu yang sempurna. KATA. Aku tak paham
apa. Terasa bagai buaian. Mengayun-
ayun. Sebagai di benua asing aku keheranan.
Tenggelam di garis batas, yang sayup-sayup.
Jauh, jauh. Ada jalan dari berkas cahaya, sangat
licinnya. Bagai meniti benang sutra, aku berjalan
di atasnya. Berjalan, tidak ada ujungnya.
Kekosongan dari tepi ke tepi. Aku kehilangan
jejak sudah. Namun, aku berjalan juga. Alangkah
nikmat jadinya! Suara itu masih menderu. Warna
masih ungu. Tiba-tiba aku kenal benar. Tiba-
tiba saja aku tahu. Sudah lama aku merindukannya.
Post a comment for "Kumpulan puisi Isyarat - Kuntowijoyo"