Penyair dan kritik sosial
Penyair dan kritik sosial
– Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, waktu menyambut acara mengenang setengah
abad wafatnya penyair besar Pujangga Baru, Amir Hamzah, berkata: “Kelihatannya
setiap penyair selain merupakan personifikasi dari suara batin manusia secara
universal juga dapat merupakan wakil dari zamannya. Dengan cara dan gayanya
sendiri-sendiri, para penyair menyampaikan dambaan terdalam dari umat manusia
dan dari masyarakat di sekitarnya, baik dalam suka maupun dalam duka.”
Selanjutnya
berkata pula ia: “Tidaklah dapat dihindari bahwa sebagian sajak-sajak itu
memuat kritik sosial terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi dalam
pembangunan. Secara pribadi saya berpendapat bahwa kita perlu menerima
kritik-kritik sosial para penyair itu secara wajar dan lapang dada. Kita dapat
dan perlu memahami kritik sosial para penyair sebagai masukan untuk menyegarkan
kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan kita. Kritik sosial
semacam itu bukanlah suatu hal yang baru. Selama ratusan tahun para dalang
telah melakukannya melewati sisipan goro-goro dalam cerita wayang standar yang
dipertunjukkannya. Lebih dari itu, khazanah sastra dunia demikian kaya dengan
karya-karya sastra yang memuat kritik sosial itu.”
Baca juga: Kontroversi Puisi Pamplet Rendra
Masyarakat
umum sudah lama tahu bahwa Menteri Moerdiono bukanlah sekadar birokrat negara
tetapi juga seorang negarawan yang selalu berhati-hati dalam bersikap dan
berbicara. Oleh karena itu, ucapannya tersebut di atas saya anggap otentik dan
sangat mengharukan hati saya sebagai penyair, karena benar-benar mengandung
pemahaman terhadap kritik-kritik sosial yang sering dilemparkan oleh para
penyair di sepanjang zaman, di seluruh penjuru dunia.
Kemudian
tergeraklah hati saya, dengan amat mudahnya ketika saudara Yudhistira ANM
Massardi, seorang redaktur majalah Gatra, meminta saya untuk menulis karangan
ini, yang isinya mengandung uraian lebih jauh tentang motivasi apa sajakah yang
mendorong saya, sebagai penyair, untuk melancarkan protes-protes sosial di
dalam sajak-sajak saya.
***
Pada
diri setiap manusia terkandung “daya hidup” dan “daya mati”. Sejak remaja saya
sudah memilih untuk mengelola daya hidup di dalam diri pribadi dan di dalam
kebudayaan umat manusia. Sedangkan sikap saya kepada daya mati: biarlah saya terima
sebagai kewajaran di dalam alam, tetapi tidak usah diberdayakan.
Setiap
manusia harus lahir dan harus mati. Kelahiran manusia adalah suatu permulaan
hidup yang mengandung “kemungkinan-kemungkinan”. Sebagaimana monyet atau
dolpin, manusia juga punya “keinginan”. Hal ini membuat manusia selalu ingin
memperluas kemungkinannya. Dibanding dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan, manusia lebih
mampu mengembangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan dahsyat kerena ia
dianugerahi akal, daya mobilitas, daya organisasi, daya tumbuh kembang, dan
daya cipta. Masih lebih unggul lagi dari makhluk hidup yang lain, karena
manusia bisa “berbahasa”.
Baca juga: Peran Penyair di Negara Sedang Berkembang
Meski
begitu, betapapun hebatnya kemungkinan yang bisa dicapai manusia di dunia, bila
mau tiba,, berakhirlah semua itu baginya. Mati: meninggal dunia. Meninggalkan dunia.
Sungguh tepat kata itu!
Kelahiran
adalah permulaan. Mati adalah penghabisan. Hidup adalah kebudayaan, yang
artinya: usaha manusia untuk memperluas, memperbaiki, dan memperindah
kemungkinan-kemungkinan dari keinginannya. Sedangkan mati, mengakhiri semua
daya dan hasil usaha seorang manusia di dunia. Meninggal dunia!
Kebudayaan
hanya bermanfaat untuk yang hidup. Itulah sebabnya saya memilih memihak daya
hidup di dalam diri saya sendiri dan di dalam masyarakat umat manusia. Bagi
saya, membela kebudayaan dan kemanusiaan berarti membela daya hidup.
Sedangkan
terhadap daya mati, saya melawannya. Bukannya saya melawan takdir bahwa kelak
atau nanti saya harus mati. Melainkan karena saya membaca di dalam alam dan
hidup manusia, bahwa sebelum maut yang ditakdirkan itu tiba, daya mati yang
juga mendampingi manusia sejak kelahirannya itu, selalu bisa mengganggu unsur-unsur
daya hidup dan menimbulkan rusaknya kesejahteraan hidup apabila manusia tidak
waspada.
Gangguan
dari daya mati itu berwujud penyakit yang bisa merusak daya akal, daya
organisasi, daya tumbuh kembang, dan daya cipta di dalam diri manusia. Jadi
bukan mati sebagai takdir yang saya lawan, tetapi daya mati sebagai pengganggu
daya hidup. Itulah yang akan saya lawan.
***
Manusia,
berkat kemampuannya berbahasa, mampu hidup bersuku, berbangsa, dan berkaum. Sebagaimana
manusia pribadi itu bersifat organic, masyarakat sebagai kumpulan
manusia-manusia pun juga punya sifat organik. Di dalam masyarakat ada pula daya
hidup dan daya mati: tiranisme, fasisme, anarki, oligarki, oligopoli,
kolonialisme, imperialism, mafia, kekolotan, pelacuran, korupsi, kriminalitas
dalam segala macam bentuknya, dan sebagainya yang serupa itu, adalah bentuk
daya mati yang merupakan penyakit di dalam masyarakat manusia. Karena semuanya
itu juga merusak daya akal, daya organisasi, daya mobilitas, daya tumbuh
kembang, daya cipta dan daya inisiatif para anggota masyarakat, sehingga
membuat mereka menjadi manusia yang rendah sumber dayanya. Oleh karena itu,
saya melawan semuanya itu, selaku pribadi atau selaku penyair.
Di
dalam hidup bermasyarakat, setiap manusia tentu berusaha memperluas kemungkinan-kemungkinan
dari keinginannya. Kalau dibiarkan tanpa aturan pasti akan terjadi perbenturan
keinginan-keinginan yang sangat dahsyat kacaunya. Satu anarki yang menyeramkan!
Oleh
karena itu, justru untuk menjaga daya hidup pribadinya dan daya hidup
masyarakatnya, manusia harus membatasi perluasan keinginan-keinginannya itu
dalam batas-batas peraturan yang bisa disebut sebagai hukum kewajaran.
Baca juga: Mencari Kedudukan Drama Modern di Indonesia
Selaku
pribadi atau penyair, saya membela ketiga hukum kewajaran itu dan melawan
kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat yang melecehkannya, karena komitmen saya
kepada daya hidup.
Jadi,
karena komitmen saya kepada daya hidup itulah yang menyebabkan saya sering
melontarkan kritik-kritik sosial melewati sajak-sajak saya. Bukan karena
ideologi politik.
Saya
tidak suka menjadi anggota partai politik karena saya tidak punya naluri
politik. Tentu saja saya mempelajari ilmu politik, yaitu untuk menutupi
kekurangan naluri politik saya. Tetapi bagi saya mempelajari politik sama
sulitnya seperti belajar aljabar yang di sekolah dulu selalu saya mendapat
nilai merah. Lebih jauh dari itu, politik tidak pernah masuk ke dalam daftar
keinginan saya. Keinginan-keinginan saya yang sangat ambisius berada di dalam
wilayah kesenian dan kebudayaan.
Oleh
karena itu, di dalam menanggapi masalah-masalah politik selalu saya memakai
paradigma kesenian dan kebudayaan. (WS Rendra, 12 April 1996)
Post a comment for "Penyair dan kritik sosial"