Menikmati Puisi-Puisi Fariduddin Attar
Sastra.xyz - Fariduddin Attar merupakan seorang penyair-sufi paling awal di Persia dan karyanya menginspirasi berbagai penyair Persia lainnya, termasuk Jalaluddin Rumi. Dalam karyanya, Attar menunjukkan jalan menuju akhir kehidupan melalui larik-larik puisi yang indah.
Syair Attar yang paling terkenal adalah Mantiq-ut-Tair yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan "Musyawarah Burung". Kumpulan puisi ini berisi ajaran bahwa setiap jiwa memiliki kapasitas yang dapat disebut "langit" dan bahwa kapasitas ini dapat menampung bumi atau langit.
Dalam artikel ini, kami tidak membicarakan “Musyawarah Burung”, melainkan menukilkan empat syair Attar yang diterjemahkan oleh sastrawan Abdul Hadi W.M. Keempat puisi tersebut menceritakan tentang kecintaan terhadap Tuhan yang tak terbatas dengan menggunakan bentuk-bentuk kiasan dan perbandingan yang menawan. Pembaca dapat menikmati dan menafsirkan setiap puisi tersebut sesuai dengan pemahamannya.
Berikut ini Sastra.xyz sajikan keempat puisi Attar untuk segenap pembaca!
Seluruh Kesadaran Terserap
Dan ketika seluruh dunia terserap oleh Hakikat-Nya
Fanalah ia dalam Kejadian, kecuali ini:
Atas air telah Dia campurkan Arasy-Nya
Bumi lalu bergantungan dalam ruang penuh bintang
Apakah laut dan udara? Segala adalah Tuhan
Namun azimat yang bernama langit dan bumi
Hanya nama dan Tuhan tak mencerap mereka
Sebab itu kenalilah olehmu, dunia yang nampak
Dan terlihat mata ini, sama pula pancaran Tuhan semata
Mereka tiada, kecuali Tuhan: dan semua adalah Tuhan
Namun cuma sedikit orang menyaksikan-Nya
Mereka buta, walau Tuhan sendiri
Telah menerangi dunia dengan cahaya gemilang
O Kau, yang tak terpandang insan, walau bagi mereka
Telah kau tunjukkan tanda buat mengenal Diri-Mu
Kau adalah segala yang meliputi ciptaan ini
Segala yang kulihat ini, tapi jiwa dalam tubuh
Terhalang buat menatap-Mu
Dan Kau sembunyikan Diri-Mu dalam jiwa
O jiwa dalam jiwa! Rahasia yang tersembunyi dalam rahasia!
Semua yang terbentang ini adalah Kau
Namun Kau lebih dari segala ini.
Api
Inilah laut api angkara
Wajah molek kekasih yang kudamba
Jadilah pencinta, pasti bersinar-sinar
Membentang selalu jalan keindahan
Cahaya pelita, tunjukkan yang mana
Yang tiba-tiba menyilau sinarnya
Dan bagaimana orang mengira
Laron takkan hangus dalam apinya?
Mula-mula waktu pencinta meluncur
Lintas jalan cinta yang kekal
Dalam pasrah ia rasakan
Atas bumi sebuah bayang tinggal
Dan ketika ruang sempit ia lalui
Tiada lagi bayang terlihat
Sebab di tempat jauh dan tinggi
Matahari menyembunyikan wajahnya terang
Jika telah kaukenal rahasia cinta
Buanglah kepercayaan dan kemungkaran
Bila cinta datang, hancurkan
Kemungkaran ataupun kepercayaan
Di jalan ini ribuan musafir
Telah menyatakan cintanya
Namun di cincin inilah sang Jalan
Memasang permata berkilauan
Lewat jalan para sufi
Yang sukar dan penuh duri
Di mana saja musafir berada
Jalan yang tampak satu semata
Kau yang melaluinya, apa tahumu?
Ketika di jalan ini musafir
Menentukan langkah pertama
Langit tujuh langsung dilintasnya
Barang siapa memburu
Mutiara makna di lautan hakikat
Akan mereka temukan keluhuran
Dan dalam kekekalan tinggal
Attar yang telah menempuh jalan ini
Telah sampai ke maqam
Jauh mengatas tubuh dan jiwa
Dan di seberang Cinta dan Benci bertakhta
Datangnya Cinta
Ketika cinta muncul
Dibiarkannya hatiku berkobar
Dan bersorak sorai
Tertawan si jantung mutiara
Dalam lengang yang maha
Kududuk tenang
Hingga birahi cinta
Datang mengetuk gerbang
Pohon segala sukacitaku
Menanamkan akar cinta ke bumi
Apapun yang kumiliki
Gugur berhamburan
Mereka berkata: “Hatinya yang riang
Adalah kembang suasa yang berkilauan!”
Sampai dalam nafsu, kusaksikan
Wajahku yang pucat jadi silau mengemas
Jiwa Berkobar
Merak indah wajah-Nya
Menunjukkan keluhuran agung
Seperti lalat-lalat pikiranku
Melambaikan tangan tinggi-tinggi
Kupandang wajah-Nya dengan kalbu
Berpancaran bagai lautan
Adakah di sana laut semata
Yang menyimpan seluruh mutiara?
Karena Attar jatuh kepayang
Hatinya berkobar-kobar
Tiap helaan nafas dari dadanya
Berkilauan bara menyala
Post a comment for "Menikmati Puisi-Puisi Fariduddin Attar"