Di dunia yang penuh dengan luka dan tawa,
Kau, aku, kita berjalan di antara harap dan nyata.
Seperti Chairil, dengan denting kata yang berontak,
Aku berkata: "Aku ingin hidup seribu tahun lagi."
Di panggung kehidupan, seperti Rendra,
Kita memainkan peran, menari di bawah sinar mentari.
Menggali makna dalam baris-baris sederhana,
Mencari bapak, mencari arti dalam gelap.
Hujan bulan Juni menyirami taman hati,
Sapardi berbisik lembut dalam setiap rintik.
Kita adalah daun yang gugur, namun tak pernah mati,
Mengakar kuat, tumbuh kembali dalam harmoni.
Di tengah gejolak, Taufiq berteriak:
"Malu (aku) jadi orang yang terdiam."
Kita adalah saksi, penyair dalam gelap,
Menulis kisah, tak gentar akan masa silam.
Sutardji merangkai kata seperti mantra,
Mengikat makna dalam simpul rahasia.
Di balik amuk kapak yang menggelegar,
Hidup menemukan ritme dalam setiap langkah.
Sitor mengajak kita peta perjalanan ditempuh,
Dalam renungannya, kita mencari diri.
Mencari cinta, mencari rumah di tengah hujan,
Hidup adalah perenungan tanpa henti.
Joko tertawa dalam kesederhanaan,
Menemukan keindahan dalam celana yang compang-camping.
Hidup adalah humor, sebuah permainan,
Di mana setiap detik adalah puisi yang tak berakhir.
Widji dengan suara perlawanan yang nyaring,
Mengingatkan kita akan kebebasan yang dirindukan.
Hidup adalah pertempuran, kata-kata adalah senjata,
Kita berjuang untuk keadilan yang harus diperjuangkan.
Goenawan mengisahkan cerita dalam catatan pinggir,
Merenungi dunia dengan sentuhan filosofi.
Hidup adalah esai yang tak pernah usai,
Setiap hari adalah lembaran baru yang kita tulis.
Dan Amir, dengan cinta yang dalam,
Menggubah nyanyi sunyi dalam hati yang resah.
Hidup adalah puisi yang mengalir,
Antara rindu dan mimpi yang tak pernah padam.
Dalam puisi ini, kita temukan hidup yang penuh warna,
Setiap kata, setiap baris adalah refleksi jiwa.
Mengalir bersama waktu, mencari arti dalam sepi,
Hidup adalah puisi yang tak pernah mati.
Kau, aku, kita berjalan di antara harap dan nyata.
Seperti Chairil, dengan denting kata yang berontak,
Aku berkata: "Aku ingin hidup seribu tahun lagi."
Di panggung kehidupan, seperti Rendra,
Kita memainkan peran, menari di bawah sinar mentari.
Menggali makna dalam baris-baris sederhana,
Mencari bapak, mencari arti dalam gelap.
Hujan bulan Juni menyirami taman hati,
Sapardi berbisik lembut dalam setiap rintik.
Kita adalah daun yang gugur, namun tak pernah mati,
Mengakar kuat, tumbuh kembali dalam harmoni.
Di tengah gejolak, Taufiq berteriak:
"Malu (aku) jadi orang yang terdiam."
Kita adalah saksi, penyair dalam gelap,
Menulis kisah, tak gentar akan masa silam.
Sutardji merangkai kata seperti mantra,
Mengikat makna dalam simpul rahasia.
Di balik amuk kapak yang menggelegar,
Hidup menemukan ritme dalam setiap langkah.
Sitor mengajak kita peta perjalanan ditempuh,
Dalam renungannya, kita mencari diri.
Mencari cinta, mencari rumah di tengah hujan,
Hidup adalah perenungan tanpa henti.
Joko tertawa dalam kesederhanaan,
Menemukan keindahan dalam celana yang compang-camping.
Hidup adalah humor, sebuah permainan,
Di mana setiap detik adalah puisi yang tak berakhir.
Widji dengan suara perlawanan yang nyaring,
Mengingatkan kita akan kebebasan yang dirindukan.
Hidup adalah pertempuran, kata-kata adalah senjata,
Kita berjuang untuk keadilan yang harus diperjuangkan.
Goenawan mengisahkan cerita dalam catatan pinggir,
Merenungi dunia dengan sentuhan filosofi.
Hidup adalah esai yang tak pernah usai,
Setiap hari adalah lembaran baru yang kita tulis.
Dan Amir, dengan cinta yang dalam,
Menggubah nyanyi sunyi dalam hati yang resah.
Hidup adalah puisi yang mengalir,
Antara rindu dan mimpi yang tak pernah padam.
Dalam puisi ini, kita temukan hidup yang penuh warna,
Setiap kata, setiap baris adalah refleksi jiwa.
Mengalir bersama waktu, mencari arti dalam sepi,
Hidup adalah puisi yang tak pernah mati.