Kisah-Kisah Kota Tersembunyi 22

Mereka melanjutkan perjalanan lebih dalam ke lembah, mengikuti jejak kaki yang semakin samar. Setiap langkah terasa seperti menjauhkan mereka dari kenyataan, memasuki dimensi lain di mana waktu bergerak dengan cara yang berbeda. Kabut semakin tebal, dan bayangan-bayangan aneh mulai muncul di antara pepohonan, membuat suasana semakin menyeramkan.

Tiba-tiba, mereka tiba di sebuah dataran yang terbuka. Di tengah dataran itu, berdiri sebuah menara kuno yang terbuat dari batu hitam. Menara itu menjulang tinggi ke langit, hampir hilang di balik kabut yang tebal. Di puncaknya, ada cahaya samar yang berkedip-kedip, seolah-olah memanggil mereka.

"Menara itu... apakah itu tempat mereka bersembunyi?" tanya Lyra, suaranya bergetar antara rasa takut dan rasa ingin tahu.

Ibu Marla memandangi menara itu dengan tatapan tajam. "Itu adalah tempat terakhir yang tertulis di gulungan kuno. Tempat di mana Penjaga Bayangan terakhir kali terlihat."

Tanpa berkata-kata lagi, mereka melangkah mendekati menara tersebut. Setiap langkah mendekatkan mereka pada kebenaran, tetapi juga pada bahaya yang semakin besar. Di pintu masuk menara, simbol-simbol kuno terpahat di atas pintu batu yang besar. Eldrin menyentuh simbol-simbol itu dengan hati-hati.

"Ini adalah simbol waktu," katanya pelan. "Menara ini bukan sekadar tempat persembunyian. Ini adalah gerbang menuju kekuatan yang bisa mengendalikan aliran waktu. Jika mereka menguasainya, mereka bisa mengubah segalanya—bahkan masa depan."

Gabriel memandang pintu besar itu dengan hati-hati. "Apa kita siap untuk menghadapi mereka?" tanyanya, pandangannya beralih dari satu anggota kelompok ke yang lainnya.

Ibu Marla menghela napas panjang. "Kita tidak punya pilihan. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, mereka akan menggunakan kekuatan ini untuk menghancurkan keseimbangan dunia."

Dengan hati-hati, Gabriel mendorong pintu besar itu, dan pintu itu terbuka dengan suara yang berat dan menggema. Di balik pintu itu, terbentang sebuah ruangan besar yang dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang berputar seperti kabut. Di tengah ruangan, ada sebuah altar dengan jam pasir besar yang berputar perlahan, pasirnya seolah-olah mengalir ke arah yang berlawanan.

Di depan jam pasir itu, berdiri pria berjubah hitam yang Gabriel lihat dalam penglihatan sebelumnya.

"Selamat datang di ujung waktu," kata pria itu, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Aku sudah menunggu kalian."

Gabriel merasakan bulu kuduknya berdiri. Dia tahu bahwa mereka berada di ambang pertempuran yang akan menentukan nasib tidak hanya mereka, tetapi juga masa depan seluruh dunia.