Ruangan besar itu dipenuhi oleh aura kegelapan yang pekat, dan jam pasir raksasa di tengahnya memancarkan cahaya suram yang membuat suasana semakin mencekam. Gabriel, Lyra, Eldrin, dan Ibu Marla berdiri di ambang pintu, menatap pria berjubah hitam yang berdiri tak bergerak di depan altar waktu.
Pria itu tersenyum samar di balik bayang-bayang jubahnya, senyum yang tidak menyiratkan kebaikan melainkan ancaman tersembunyi. “Kalian telah melangkah terlalu jauh,” katanya, suaranya terdengar seolah berasal dari berbagai arah, seakan-akan waktu itu sendiri berbicara. “Waktu bukan milik siapa pun, tetapi kami, Penjaga Bayangan, telah diberi kuasa untuk mengendalikannya.”
Gabriel merasakan napasnya semakin berat. Dia tidak bisa membiarkan pria ini—atau siapapun yang menguasai tempat ini—memanipulasi waktu demi kepentingan jahat mereka. Namun, pria itu terlihat begitu tenang dan yakin, seakan-akan dia memiliki kendali penuh atas situasi. Gabriel tahu bahwa pertarungan yang akan datang bukan hanya sekedar adu kekuatan, melainkan pertarungan melawan kekuatan waktu itu sendiri.
Lyra melangkah maju, suaranya tajam namun penuh kewaspadaan. “Apa tujuanmu sebenarnya? Mengapa kalian bersembunyi dan bermain dengan nasib dunia dari bayang-bayang? Jika kalian punya kuasa sebesar itu, mengapa kota ini hancur dan dibiarkan lenyap dalam sejarah?”
Pria itu tertawa ringan, suara tawanya seperti gema yang tak berujung. “Karena kehancuran dan kelahiran adalah bagian dari siklus yang kami kendalikan. Kami tidak menghancurkan kota ini, hanya membiarkannya jatuh ke dalam nasib yang sudah ditentukan. Sama seperti kalian—setiap langkah kalian telah kami prediksi sejak awal.”
Gabriel mengepalkan tangan. “Kami bukan boneka di dalam permainan kalian! Dan kami tidak akan membiarkanmu menggunakan kekuatan ini untuk tujuan jahat.”
Pria berjubah hitam itu mengangkat satu tangan, dan kabut di dalam ruangan mulai berputar semakin cepat, menciptakan pusaran bayangan di sekeliling jam pasir. “Kalian berpikir kalian memiliki kendali? Lihatlah sekitarmu. Waktu sudah menjadi bagian dari kami. Tidak ada yang bisa melawan takdir.”
Kabut semakin padat, dan tiba-tiba ruangan di sekeliling mereka berubah. Dinding-dinding menara mulai menghilang, dan mereka berdiri di sebuah ruang tanpa batas. Di langit-langit, bintang-bintang bergerak cepat, seolah-olah mereka berdiri di pusat alam semesta di mana aliran waktu dipercepat.
Eldrin, yang selama ini mempelajari artefak-artefak kuno, menyadari sesuatu. “Dia tidak mengendalikan waktu secara langsung, melainkan ilusi dari waktu itu sendiri. Kita masih punya kesempatan!” Eldrin dengan cepat mengeluarkan gulungan yang dia temukan sebelumnya dan membacanya dengan cepat. Simbol-simbol di gulungan itu mulai berpendar, dan dia menggambarkan lingkaran di tanah dengan kapur.
Pria berjubah hitam itu menatap Eldrin dengan tajam. “Apa yang kau lakukan? Kau takkan mampu menandingi kekuatan kami!”
Eldrin tetap fokus, menggambar simbol terakhir di dalam lingkaran kapur itu. “Aku mungkin tidak bisa mengendalikan waktu, tapi aku tahu bagaimana menghentikan ilusi ini. Kekuatan kalian bergantung pada kabut dan ilusi yang kalian ciptakan. Jika kami bisa memutus koneksi itu, kalian takkan bisa bertahan!”
Tiba-tiba, pria berjubah hitam itu mengangkat tangannya, dan pusaran kabut di sekeliling mereka berubah menjadi gelombang serangan. Kabut itu menerjang Gabriel dan timnya seperti arus yang kuat, namun Lyra dengan cepat merapal mantra perlindungan, menciptakan perisai energi di sekeliling mereka.
“Kita harus cepat,” bisik Lyra, wajahnya berkeringat karena kekuatan yang dia gunakan. “Perisai ini tak akan bertahan lama!”
Ibu Marla mengangguk dan mulai membantu Eldrin dengan menggambar lebih banyak simbol di sekitar lingkaran. “Kita perlu mematahkan sumber kekuatan mereka!” serunya.