Menunda Tidur di Surakarta

Tidur, kata mereka, adalah kebutuhan dasar manusia, 
Sebuah siklus biologis yang tak terelakkan, diatur oleh jam dalam tubuh kita, 
Namun, di Surakarta, pada tengah malam yang sunyi, 
Apakah tidur masih menjadi kebutuhan, atau hanya tradisi yang kita terima begitu saja?

Dalam dunia yang dipenuhi oleh narasi-narasi dan konstruksi sosial, 
Tidur adalah satu dari banyak mitos yang kita warisi tanpa pertanyaan. 
Mereka berkata, istirahatlah, dan dunia akan menunggumu, 
Namun, mereka tidak pernah berdiri di bawah langit Surakarta yang dipenuhi bintang.

Pada malam hari, ketika kota ini bernafas dengan tenang, 
Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar mimpi yang berlalu-lalang. 
Cahaya bulan yang menari di atas permukaan bengawan, 
Desir angin yang membelai wajah, membawa bisikan zaman.

Surakarta di tengah malam adalah sebuah simfoni yang tak pernah tertulis, 
Di mana setiap bunyi, setiap aroma, setiap bayangan, 
Bersatu dalam harmoni yang tak bisa diulang. 
Di sinilah, di tengah kegelapan yang penuh cahaya, 
Kita melihat dunia seperti apa adanya—tanpa filter, tanpa penghalang.

Tidur adalah kebutuhan, ya, 
Tapi apakah ia lebih penting dari pengalaman yang tak tergantikan? 
Di malam seperti ini, di kota seperti ini, 
Tidur menjadi pilihan, bukan keharusan.

Bagi mereka yang memahami esensi kehidupan, 
Malam di Surakarta adalah panggilan, 
Untuk melepaskan diri dari rutinitas yang mengikat, 
Dan merangkul keindahan yang jarang disadari.

Maka, bangkitlah, keluar dari persembunyian malam, 
Karena di bawah langit Surakarta, 
Setiap detik adalah kesempatan untuk menyaksikan keajaiban. 
Tidur, mungkin, bisa menunggu. 
Tapi Surakarta? Ia tak akan menunggu. 

Ia terus berjalan, terus bernyanyi, 
Mengesampingkan tidur sejenak, 
Dan meresapi kehidupan yang sesungguhnya, 
Yang hanya bisa ditemukan di tengah malam yang abadi.