Perjalanan Hangat

Pagi itu, udara Banjarnegara masih sejuk, embun menggantung di ujung dedaunan, dan burung-burung berkicau riang di kejauhan. Iliana membuka matanya perlahan, masih terkantuk, tapi begitu sadar bahwa ia ada di rumah Banjarnegara, semangatnya langsung menyala. Dengan sigap, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela.

Tangannya yang kecil menyibakkan gorden, membiarkan sinar matahari masuk dan menghangatkan wajahnya. Di luar, halaman rumah masih basah oleh embun pagi, dan beberapa ekor ayam sibuk mengais tanah mencari makan. Iliana menempelkan wajahnya ke kaca jendela, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

“Bapak, lihat! Ayamnya banyak!” serunya penuh kegembiraan.

Aku tersenyum sambil meregangkan tubuh. Hari ini kami akan melakukan perjalanan panjang ke Pemalang untuk menghadiri pernikahan Iqbal, teman sekantorku. Setelah itu, perjalanan akan berlanjut ke Guci, Tegal.

Aku dan Nana bersiap-siap, memastikan semua barang yang dibutuhkan sudah masuk ke dalam mobil. Iliana masih terpaku di jendela, matanya tak lepas dari ayam-ayam yang berjalan mondar-mandir di halaman. Aku harus membujuknya untuk bersiap, dan akhirnya, setelah sedikit negosiasi dengan menjanjikan camilan di perjalanan, ia dengan senang hati mengenakan pakaiannya.

Tepat pukul 9.15 pagi, kami berangkat dari Banjarnegara. Mobil melaju pelan, meninggalkan kota kecil ini dengan segala kesejukannya. Jalanan masih lengang, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Iliana, yang semula bersemangat, perlahan mulai merasa kantuk. Dalam beberapa menit, kepalanya mulai terkulai, dan akhirnya ia tertidur di kursinya.

Namun, seperti kebiasaannya, tidur Iliana tidak pernah lama. Beberapa kali ia terbangun, menggumam sesuatu, lalu kembali tertidur. Aku dan Nana hanya bisa saling tersenyum melihat polahnya.

Di tengah perjalanan, kami memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah minimarket dekat Masjid Muhammad Cheng Ho di Jalan Mangunegara. Aku turun untuk membeli dua botol Kopi Kenangan, dan memilih beberapa camilan untuk menemani perjalanan. 

Setelah kembali ke mobil, perjalanan kami lanjutkan. Pemandangan mulai berubah. Sawah hijau terbentang luas di kanan-kiri jalan, angin bertiup lembut menggoyangkan daun-daun padi yang masih muda. Jalanan berkelok, dan semakin lama, kabut tipis mulai menyelimuti beberapa titik.

Iliana sibuk berbicara sendiri, meracau tentang ayam, kucing, dan entah apa lagi yang muncul di kepalanya. Dunia anak-anak memang seperti itu, penuh imajinasi yang tak ada habisnya.

Tak lama kemudian, kami memasuki daerah Belik, sebuah daerah yang terkenal dengan buah nanasnya. Pegunungan menjulang di kejauhan, tertutup kabut yang bergerak perlahan seperti tarian halus. Udara semakin sejuk, membuat perjalanan terasa semakin menyenangkan.

Iliana terlihat semakin bersemangat. Begitu kami tiba di lokasi pernikahan, ia langsung turun dari mobil dan berlari kecil ke arah halaman. Matanya berbinar melihat seekor kucing cokelat keemasan yang sedang duduk santai di sudut.

“Kucing!” serunya sambil berjongkok dan mengulurkan tangannya.

Si kucing menatapnya sebentar, lalu mendekat, membiarkan dirinya dielus oleh tangan mungil Iliana. Aku dan Nana hanya bisa tersenyum melihat betapa bahagianya ia menemukan teman barunya.

Di pesta pernikahan, kami bertemu banyak teman sekantor—Mas Joang, Mbak Yessie, Mbak Pika, Fuad, Jeannete, dan masih banyak lagi. Iliana sempat terpesona dengan dekorasi pesta yang penuh dengan lampu-lampu kecil dan pernak-pernik berwarna-warni.

Saat aku hendak berpamitan, datanglah Pak Slamet, mantan Kakanwil yang kini sudah pensiun. Kami bersalaman, berbincang sebentar, sebelum akhirnya aku berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Dari Pemalang, kami melanjutkan perjalanan ke utara. Jalanan mulai berubah, semakin banyak pepohonan rimbun yang menaungi sisi jalan. Di beberapa titik, kami melihat kawanan monyet bermain di tepi jalan, bergelantungan di dahan pohon. Iliana kembali bersemangat.

“Bapak, monyetnya banyak sekali!” katanya sambil menunjuk ke luar jendela.

Aku mengangguk, tersenyum melihat antusiasmenya.

Di Pegiringan, hamparan sawah hijau kembali menyambut kami, lalu di Bantarbolang, pepohonan yang lebih rimbun memberikan keteduhan yang menenangkan. Akhirnya, tepat pukul 2 siang, kami sampai di TeKaPe Coffee Space, milik temanku, Pak Wahyu Widodo.

Aku sudah lama ingin datang ke sini, dan akhirnya kesempatan itu tiba. Mobil kami berbelok ke sebuah jalan kecil, dan di ujungnya, TeKaPe Coffee Space menyambut dengan suasana yang begitu nyaman. Dari luar, tempat ini tampak sederhana, tapi begitu aku melangkah masuk, aku langsung merasakan atmosfer yang hangat dan akrab, menciptakan suasana yang terang dan menyenangkan.

Begitu turun dari mobil, Iliana langsung melesat ke dalam, matanya berbinar melihat ruangan yang luas dan terbuka. Ia tanpa ragu menyapa dengan gaya khasnya yang ramah. Anak itu memang mudah akrab dengan siapa saja, seperti memiliki magnet yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

Aku melangkah menuju meja kasir, senyumnya yang ramah membuatku merasa seperti bertemu kembali dengan seorang kawan lama. Kami berjabat tangan erat, lalu ia mengajakku duduk di salah satu meja.

“Kopi apa yang mau kamu coba hari ini?” tanyanya dengan nada penuh kehangatan.

Aku melirik menu sejenak, meskipun sebenarnya aku sudah tahu apa yang ingin kupesan. “Kopi susu gula aren,” jawabku.

Nana yang duduk di sebelahku ikut memilih, “Aku mau yang Butterscotch.”

Pak Wahyu mengangguk, lalu dengan cekatan ia mulai meracik pesanan kami. Aku memperhatikan setiap gerakannya—bagaimana ia menuangkan espresso yang pekat, mencampurnya dengan susu segar, lalu menambahkan sirup gula aren yang kental. Tangannya bergerak dengan penuh presisi, seolah-olah ia sedang menciptakan sebuah karya seni.

Tak lama kemudian, dua cangkir kopi tersaji di hadapan kami. Aku mengambil cangkirku, mencium aroma khas yang keluar dari campuran espresso dan gula aren yang telah menyatu dengan susu. Begitu aku menyeruputnya, aku langsung tahu bahwa ini adalah kopi yang dibuat dengan sepenuh hati. Rasanya lembut, sedikit manis, dengan sentuhan pahit yang pas. Ada keseimbangan di dalamnya—seperti pagi yang tenang setelah malam yang panjang.

Nana tersenyum puas setelah menyesap kopinya. 

Pak Wahyu tertawa kecil. Sementara kami menikmati kopi kami, Iliana sibuk berlarian di sekitar kafe. Sesekali ia berhenti untuk mengobrol, lalu melanjutkan petualangannya sendiri. Ia tertarik dengan permainan. Dengan riang, ia mengambil salah satu balok dan mulai menyusunnya, tangannya yang mungil bergerak dengan penuh perhatian.

Aku dan Pak Wahyu mulai mengobrol panjang. Awalnya, kami berbicara tentang kopi—tentang bagaimana ia memulai kafenya, tentang biji kopi dari berbagai daerah, dan tentang perjalanan menemukan rasa yang paling pas. Lalu, pembicaraan kami merambah ke berbagai hal lain: kehidupan, pekerjaan, hingga nostalgia tentang masa lalu.

Ada sesuatu yang magis dalam secangkir kopi—ia bisa membuat orang duduk lebih lama, berbicara lebih dalam, dan mengenang lebih banyak.

Waktu berlalu begitu cepat. Aku melirik jam tangan dan menyadari bahwa kami sudah hampir dua jam di sini. Iliana masih berlarian ke sana kemari, seolah-olah tempat ini adalah taman bermainnya sendiri.

Saat kami bersiap untuk pergi, Pak Wahyu masuk ke dalam dan kembali dengan sebuah kantong kertas. Ia menyerahkannya padaku dengan senyum hangat. “Ini kopi Temanggung, buat kamu bawa pulang,” katanya.

Aku terkejut. “Wah, terima kasih banyak, Pak Wahyu. Aku pasti akan menikmati ini di rumah.”

Pak Wahyu hanya tertawa. “Jangan lupa datang lagi ke sini.”

Aku mengangguk. “Pasti. Aku pasti akan kembali.”

Kami berpamitan, melangkah keluar dari kafe dengan hati yang hangat, seperti kopi yang baru saja kami habiskan. Perjalanan masih panjang, tapi momen singkat di TeKaPe Coffee Space akan selalu menjadi bagian dari perjalanan yang ingin kuingat kembali.

Dari Pemalang, perjalanan kami lanjutkan ke Guci, Tegal. Kota ini penuh dengan aroma teh dan deretan warung sate kambing. Kami membeli tahu aci, camilan khas daerah ini, lalu singgah sebentar di Masjid Agung Kabupaten Tegal untuk menikmati teh hangat.

Saat akhirnya tiba di Guci, hari sudah mulai gelap. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, dan udara dingin langsung menyergap begitu aku membuka pintu mobil. Dari kejauhan, samar-samar terlihat lampu-lampu kecil yang berpendar dari penginapan dan warung-warung di pinggir jalan. Namun, yang lebih menarik perhatianku adalah hujan deras yang turun tanpa ampun, menambah kesan mistis pada suasana Guci malam itu.

Aku dan Nana saling bertukar pandang. “Sepertinya kita harus segera mencari penginapan,” kataku sambil menggigil ringan.

Kami mulai menyusuri jalanan yang basah, berharap menemukan tempat menginap yang masih memiliki kamar kosong. Namun, satu per satu penginapan yang kami datangi memberikan jawaban yang sama: penuh. 

Iliana yang sedari tadi duduk manis di mobil mulai gelisah.

Aku menghela napas pelan, berpikir sejenak. “Kita berenang dulu, yaa? Nanti setelah itu kita cari penginapan lagi,” ujarku, mencoba menenangkan suasana.

Mata Iliana langsung berbinar. “Berenang?”

“Ya, berenang air panas,” jawabku sambil tersenyum.

Ia langsung bersorak kecil, sementara Nana tertawa pelan.

Kami pun mengarahkan mobil menuju Hot Waterboom Guciku, salah satu pemandian air panas yang cukup terkenal di daerah ini. Saat kami sampai, hujan masih turun, tapi itu justru menambah keunikan pengalaman malam itu. Berendam di air panas saat hujan dingin turun dari langit? Sungguh kombinasi yang sempurna.

Begitu masuk ke dalam area kolam, uap panas langsung menyelimuti tubuh kami. Airnya mengepulkan asap tipis, seperti secangkir teh hangat yang baru diseduh. Aku melihat Iliana yang sudah tak sabar. Ia memegang ban apung berwarna pink kesayangannya dan berdiri di tepi kolam, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menceburkan diri dengan riang.

“Hangat sekali!” serunya dengan wajah berseri-seri.

Aku ikut masuk ke dalam air. Begitu tubuhku menyentuh air, aku langsung menghela napas lega. Kehangatan air seperti memeluk tubuh, mengusir semua lelah yang menumpuk sejak pagi. Sensasi dingin di udara dan hangat di dalam air menciptakan keseimbangan yang luar biasa nyaman.

Iliana mengayuh-ngayuhkan tangannya, tertawa sambil mengapung di atas ban. Sesekali ia menendangkan kakinya, mencipratkan air ke wajahku. Aku pura-pura terkejut, lalu membalas dengan mencipratkan air ke arahnya. Tawa riang memenuhi udara, berpadu dengan suara angin dingin yang jatuh ke permukaan kolam.

Di sudut lain, beberapa pengunjung juga menikmati malam mereka, duduk di tepi kolam sambil berbincang santai. Ada juga yang hanya merendam kaki, membiarkan kehangatan air meresap ke dalam tubuh mereka.

Aku menatap Nana, yang juga terlihat menikmati suasana ini. 

Setelah sekitar satu setengah jam berenang dan berendam, tubuh kami mulai terasa lebih rileks. Iliana masih enggan keluar dari air, tapi aku tahu ia mulai lelah. Dengan sedikit bujukan, akhirnya ia mau naik dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk.

Perut kami mulai keroncongan. Udara dingin semakin menggigit, dan tak ada yang lebih cocok untuk menghangatkan perut selain semangkuk Pop Mie kuah yang mengepul hangat. Kami duduk di salah satu sudut yang tersedia di sekitar area pemandian, Iliana meniup-niup mie-nya sebelum menyeruputnya dengan hati-hati. “Enak sekali!” katanya dengan mata berbinar.

Aku mengangguk sambil menyeruput kuahnya yang gurih. Dalam kondisi seperti ini, makanan sederhana seperti Pop Mie terasa seperti hidangan mewah. Setiap sendok kuah yang masuk ke tenggorokan memberikan kehangatan yang meresap hingga ke dalam dada.

Setelah perut kenyang dan tubuh lebih hangat, kami melanjutkan pencarian penginapan. Hujan sudah sedikit mereda, menyisakan butiran air di dedaunan yang berkilauan tertimpa cahaya lampu jalan. Kabut tipis masih menggantung di udara, membuat suasana malam di Guci semakin terasa magis. Kami menyusuri jalanan berbatu yang menurun, melewati beberapa penginapan yang sudah penuh hingga akhirnya menemukan Glamping Wisata Taman Anggrek—sebuah tempat peristirahatan yang menawarkan pengalaman berkemah.

Aku turun dari mobil dan menghampiri resepsionis, seorang pria berusia sekitar 30-an dengan jaket tebal dan senter tergantung di pinggangnya. “Masih ada tempat kosong, Pak?” tanyaku dengan nada penuh harap.

Ia tersenyum ramah. “Ada, tapi tinggal tenda yang agak di bawah. Mau lihat dulu?”

Aku mengangguk, dan kami berjalan melewati beberapa tenda lain yang berjajar rapi. Udara semakin dingin, menusuk hingga ke tulang, tapi suasana di sini terasa damai. Tenda yang ditawarkan berada di lokasi yang agak terpencil, memberikan privasi lebih, dengan bonus suara gemericik hujan kecil.

Aku setuju tanpa ragu. “Kami ambil yang ini, Pak.”

Setelah membayar, aku kembali ke mobil dan memberi tahu Nana serta Iliana.

“Kita tidur di tenda malam ini,” ujarku sambil tersenyum.

Iliana yang tadinya bersandar dengan mata setengah tertutup langsung terjaga sepenuhnya. “Tenda?” tanyanya penuh semangat.

“Ya, sayang. Ini namanya tenda,” jawabku, menepuk punggungnya dengan lembut.

Begitu mobil diparkir, Iliana langsung turun dan berlari kecil menuju tenda kami. Tenda itu berukuran cukup besar, dengan pintu berbentuk segitiga dan cahaya lampu redup yang hangat dari dalam. Aku membuka resletingnya dan mengintip ke dalam. Ternyata, ini bukan tenda biasa.

Di dalamnya sudah tersedia kasur empuk yang ditutupi seprai hijau bersih, 3 bantal besar, dan selimut yang terlihat nyaman. Di sudut ruangan, ada meja kecil dengan teko listrik serta beberapa cangkir. 

Iliana melompat ke kasur, tertawa riang, mengguling-gulingkan tubuh kecilnya di atas kasur.

Nana tersenyum dan meletakkan tas kami di pojok tenda, kemudian menyalakan teko listrik, berniat membuat teh hangat. Namun, begitu malam semakin larut, udara terasa semakin dingin. Angin berhembus kencang, membuat dinding tenda sedikit bergetar. Meskipun sudah berselimut, Nana masih menggigil.

Aku mengerti. Meskipun sudah terbiasa dengan udara dingin, suhu di Guci ternyata lebih ekstrem dari yang kami duga. Aku pun mengenakan jaket. 

Setelah semuanya siap, kami pun berbaring, membiarkan tubuh kami beristirahat setelah perjalanan panjang. Iliana sudah meringkuk dengan boneka kucing kecilnya, matanya mulai terpejam, tapi sebelum benar-benar tertidur, ia bergumam dengan suara pelan, “Bapak, aku mau berenang.”

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum dalam gelap. Kata-katanya sederhana, tapi penuh makna. Inilah alasan mengapa aku senang mengajak keluargaku bepergian—menciptakan kenangan, memberikan pengalaman, dan melihat kebahagiaan di wajah mereka.

Di luar, suara alam masih terdengar. Angin berdesir lembut di antara pepohonan, aliran sungai kecil terus bernyanyi tanpa henti, dan suara jangkrik bersahutan seperti alunan musik malam.

Malam itu, dalam kehangatan tenda yang nyaman, kami terlelap dengan perasaan damai—menutup hari penuh petualangan dan bersiap menyambut pagi dengan semangat baru.