Banjarnegara Hari Ini

Pagi ini, mentari baru saja menjejakkan kakinya di bumi Banjarnegara. Sinarnya yang hangat perlahan merayap masuk melalui celah tirai kamar. Dari balik selimut, tubuh kecil Iliana menggeliat perlahan, matanya yang masih sayu mulai mengerjap. Dengan pipi yang masih merah bekas bantal dan rambut acak-acakan yang tak beraturan, ia bangkit duduk. Pagi-pagi begini, ada satu hal yang tak pernah absen dari rutinitasnya: nyeletuk hal - hal spontan.

“Mau minum air!” katanya dengan suara yang masih serak, entah kepada siapa. Tangannya yang kecil meraih botol plastik dekat ranjang. Ia meminumnya dengan lahap, seperti seorang petualang di tengah gurun yang baru menemukan mata air. Setelahnya, ia melangkah menuju jendela kamarnya. Matanya bersinar cerah saat ia melihat ayam-ayam berkeliaran di pekarangan. “Ayam, sini! Makan!” serunya sambil melambai-lambaikan tangan, seolah ia benar-benar memberi makan ayam-ayam itu.

Setelah suasana rumah terasa ramai, Iliana mendadak punya ide besar pagi ini. “Mau ikan lele, ayo!” katanya dengan penuh semangat. Aku dan Nana hanya saling bertatapan, tak bisa menolak permintaannya. Maka dimulailah perjalanan kami ke pasar Gumiwang yang buka hanya di hari - hari tertentu saja. Tangan kecil Iliana menggenggam erat tangan ibunya sepanjang jalan. Langkah kakinya yang kecil melangkah mantap di lantai pasar yang penuh hiruk-pikuk. Meski sibuk mencari ikan lele, Iliana tak pernah kehilangan kesempatannya untuk menyapa siapa saja yang ia temui. Penjual sayur, tukang jajanan, bahkan juru parkir.

Namun, nasib ikan lele tak seindah sapaannya. Setelah berkeliling ke beberapa penjual, kami tak juga menemukan lele yang diinginkan. Wajah Iliana sempat murung, tapi kami segera mengalihkan perhatiannya dengan membeli ayam potong, beberapa sayur, Yakult kesukaannya, dan jajanan pempek. Tangannya memegang Yakult seperti seorang raja kecil yang baru saja mendapat piala kemenangan.

Dalam perjalanan pulang, kami melihat papan bertuliskan “Lele Asap”. Dengan penuh harapan, kami mengikuti petunjuk itu, masuk ke kampung yang jalannya sempit dan berliku. Namun lagi-lagi, lele itu seperti sedang bersembunyi dari kami. Kami tak menemukannya. Akhirnya, dengan tangan kosong soal lele, kami kembali ke rumah.

Setiba di rumah, Iliana tak sabar mencari mbah buyutnya. Ia memanjat ke pangkuan sang buyut, tangannya melingkar erat di leher beliau. Wajahnya cerah, dan tawanya menggema di depan rumah. Setelah itu, ia menuju kolam ikan kecil di depan rumah mbak buyut, membawa segenggam makanan ikan. Tangannya yang mungil dengan hati-hati menebarkan makanan itu ke air. Sekali waktu, ia berseru, “Ikan, makan yang banyak ya biar gendut!”

Sambil memberi makan ikan, ia menyuap sedikit bubur manis dari mangkuk kecil. Tapi seperti biasa, ia tak pernah benar-benar menghabiskan makanannya. Om Dedi kemudian mengajaknya memancing. Dengan penuh rasa ingin tahu, Iliana mencoba memegang pancing kecil yang diberikan Om Dedi. Dalam waktu singkat, ia berhasil menangkap tiga ikan kecil. Wajahnya bersinar penuh kemenangan, dan ia tak berhenti tertawa. Namun, kesenangannya tak berhenti di situ. Ia mulai mengobok-obok ember tempat ikan-ikan itu disimpan, membuat bajunya basah kuyup.

Setelah mandi, Iliana kembali mencari mbah buyutnya. Kali ini, ia memeluk sang buyut lebih lama, seolah-olah tak ingin lepas. Siang itu, Nana memasak ati goreng kesukaan Iliana. Meski tangannya sibuk memegang sendok, Iliana tetap tak bisa duduk diam. Matanya berkeliling memerhatikan seisi rumah, sesekali mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab.

Setelah makan siang, Iliana mulai mengantuk. Ia akhirnya tertidur pulas di kasur, sementara aku mulai sibuk merakit miniatur gajah dari nanoblocks. Blok-blok kecil itu terasa rumit, tetapi aku menikmatinya, hingga waktu sore tiba - tiba tiba.

Kami memutuskan untuk pergi ke alun-alun Banjarnegara. Dalam perjalanan, Iliana duduk di kursi mobil sambil mengunyah rambutan yang telah dikupas Nana. Di sepanjang jalan, pemandangan asri menyambut kami.

Sesampainya di sekitar alun-alun, kami langsung mencari gerobak biru cilok Pasundan yang kemarin sempat kami temukan. Rasanya yang luar biasa membuat kami rela mencarinya lagi. Lalu aku memesan caramel latte dari gerobak kopi bernama #KopiDiatasRoda, sementara Iliana memesan mango Yakult. Setelah itu, ia berlari-lari di tengah alun-alun, mengejar burung-burung kecil. Wajahnya dipenuhi kegembiraan murni, meski gerimis mulai turun.

Saat gerimis reda, Iliana kembali bermain di rumput, kali ini mencoba menangkap burung yang tak kunjung tertangkap. Setelah kelelahan, ia mendekati kami dan menemukan seekor kucing. Tanpa ragu, ia mengelus kucing itu dengan lembut.

Setelah puas bermain, kami mampir ke toko alat tulis. Namun, perjalanan ke toko itu sedikit unik karena jalan tercepat menuju sana tertutup portal. Kami harus melewati bawah portal itu satu per satu, yang membuat aku tertawa terbahak-bahak melihat Nana dan Iliana jongkok di bawah portal. Di Toko alat tulis, kami membelikan iliana krayon warna, tiba - tiba penjaga toko disapa oleh Iliana “ini mau dibayar” sambil menyodorkan mainan berbentuk buah jeruk, padahal mainan tersebut sudah dibayar oleh Nana, kami tertawa melihat itu, lalu kami lanjut ke sebelah, ke toko baju bayi untuk membeli baju renang Iliana.

Sebelum pulang, kami mampir ke kedai kopi Tani Kopi yang berada dekat alun-alun. Kopi arabikanya terasa creamy, Iliana kembali menjadi pusat perhatian dengan gaya khasnya. Ia menyapa pengunjung kedai, mengobrol dengan mereka seolah sudah lama kenal. Kami hanya bisa tertawa melihat tingkahnya yang begitu ramah, hampir setengah jam Iliana ngobrol dengan mereka, benar - benar sifatku menurun ke Iliana.

Dalam perjalanan pulang, Iliana membeli mainan ayam-ayaman yang mengeluarkan bunyi “tek tek tek tek tek” yang sangat berisik serta gelembung sabun. Sampai di rumah, ia kembali mencari mbah buyutnya. Setelah mandi air hangat, ia mulai bermain dengan krayon barunya. Dinding rumah pun menjadi korban kreativitasnya.

Malam ini, ia menonton pertandingan sepak bola bersama mbah buyut, meski Indonesia kalah 2-0 melawan Suriah. Namun, kekalahan itu tak mengurangi keceriaannya. Setelah pertandingan selesai, Iliana pun tertidur lelap. Hari yang panjang dan penuh warna itu berakhir dengan senyuman di wajahnya, sementara aku dan Nana di sampingnya, menyadari betapa berwarnanya hidup kami bersama Iliana.