Pagi tadi, aku duduk di ujung kursi plastik biru di Wonogiri, aku mengamati bagaimana durian mempersatukan kami semua pagi ini. Kulihat Mas Herla yang berbaju jingga itu dengan telaten membuka durian dengan tangannya yang terampil. Seumur-umur aku belum pernah bisa membuka durian seperti dia, selalu saja tanganku tergores-gores duri tajamnya.
Di seberangku, Nana, istriku, dengan jilbab cokelatnya duduk sambil mengajari Iliana, anakku cara menikmati durian. Lucu sekali melihat si kecil yang sepertinya masih ragu-ragu dengan aroma durian yang menyeruak kuat. Ah, mengingatkanku pada diriku dulu, butuh waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya jatuh cinta pada aroma durian yang kata orang-orang bule terlalu menyengat ini.
Sambil menunggu giliran, kusesap air dari botol minumku. Pagi ini terasa begitu sempurna - langit yang mulai terik, angin yang berhembus sepoi-sepoi, dan aroma durian yang menguar ke seluruh penjuru. Di belakang kami, mobil-mobil lewat sesekali, tapi kami terlalu larut dalam ritual memakan durian ini.
Inilah yang kusuka. Di tengah kesibukan kota yang kadang membuatku sesak, masih ada pojok-pojok kehidupan seperti ini. Di mana sebuah durian bisa membuat kami melupakan sejenak segala penat dan lelah, berkumpul di atas kursi-kursi plastik sederhana, berbagi tidak hanya durian, tapi juga cerita dan tawa.
Kuambil sepotong dagingnya yang kuning mengkilat. Rasanya? Ah, bagaimana menjelaskannya.
Setelah pesta durian tadi, kami memutuskan untuk mampir ke warung Mie Ayam Baldes Plesan yang terkenal itu. Kami menemukan secercah kebahagiaan dalam semangkuk mie yang mengepul.
Kulihat Nana masih setia dengan jilbab coklatnya, membungkuk khusyuk menikmati kuah mie. Sementara itu, Iliana yang tadi masih takut-takut dengan durian kini berebut perhatian dengan Hanum, keduanya asyik bercanda riang gembira.
Aroma bawang goreng yang menari-nari di atas mie bercampur dengan wangi daun bawang yang dicincang halus membuatku tersenyum. Warung sederhana ini, dengan botol - botol berisi saus di sudut meja, menyimpan sejuta kenangan masa kecil.
Mungkin itulah yang membuat warung ini tetap ramai dikunjungi, bahkan di tengah gempuran franchise-franchise modern yang mulai bermunculan di kota kami.
Di luar, matahari Plesan masih terik menyengat, tapi di dalam warung ini, di antara semangkuk mie dan tawa anak-anak yang belepotan kuah, kami menemukan sejuknya kebersamaan yang tak ternilai harganya.
Usai menikmati mie ayam yang menghangatkan perut, aku meluncur ke Gramedia Slamet Riyadi. Bapakku, dengan baju putih dan peci hitamnya yang khas, langsung menuju ke bagian buku-buku Islam. Ah, sudah hafal betul aku dengan kebiasaannya ini. Setiap kali ke toko buku, selalu rak-rak berisi kitab dan buku agama yang pertama kali dikunjunginya.
Kulihat ia mengambil beberapa buku, membolak-balik halamannya dengan teliti. Tangannya yang sudah mulai keriput itu menyusuri deretan judul dengan penuh perhatian. Matanya yang berbingkai kacamata sesekali menyipit, mencermati setiap kata dengan seksama.
Ia membeli 2 buah buku. Yang satu bersampul putih dengan ornamen klasik berjudul "Kumpulan Khotbah Jumat" karya Yaqut An-Nafis, satunya lagi "Mutiara Khutbah Jumat" dengan sampul merah karya Ridhoul Wahidi.
Ada yang menghangatkan hatiku melihat semangatnya yang tak pernah surut untuk menambah ilmu di usia senjanya ini. Bapakku, yang sudah puluhan tahun menjadi khatib di masjid, masih saja haus akan pengetahuan baru. "Buat tambahan referensi ceramah Jumat nanti," katanya, meski aku tahu ceramah-ceramahnya selama ini sudah sangat menyentuh hati jamaah.
Di antara rak-rak tinggi Gramedia yang penuh dengan ribuan judul, di antara aroma kertas dan tinta yang khas, aku menemukan definisi cinta yang sederhana: seorang bapak yang tak pernah berhenti belajar, yang masih teguh mencari cara terbaik untuk membagi ilmu kepada sesama. Dan hari ini, di toko buku ini, aku kembali belajar bahwa usia tak pernah menjadi penghalang bagi mereka yang haus ilmu.
Seperti kata pepatah, buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Kecintaan pada buku yang mengakar kuat dalam diri Bapak rupanya mengalir deras dalam pembuluh darahku. Bila ia khusyuk di bagian buku Islam, aku sudah menyelinap ke rak-rak lain, menjelajahi dunia lewat lembaran-lembaran yang tertata rapi.
Di antara lorong-lorong Gramedia yang menguarkan aroma kertas baru, aku seperti menemukan duniaku sendiri. Bapak selalu bilang, "Kalau masalah buku, berapapun harganya akan Bapak belikan."
Kadang kami bisa menghabiskan berjam-jam di sini, seperti dua pemburu harta karun yang tak kenal lelah. Bapak dengan kitab-kitab agamanya, aku dengan buku-buku sastraku. Sesekali kami bertukar pandang dari ujung rak yang berbeda, tersenyum paham, lalu kembali tenggelam dalam pencarian masing-masing.
Ia tersenyum, senyum yang sama seperti dua puluh tahun lalu ketika pertama kali mengajakku ke toko buku.
Mungkin orang lain akan menganggap kami aneh, menghabiskan sore yang basah hujan ini dengan berburu buku. Tapi bagiku dan Bapak, ini adalah ritual sakral kami. Sebuah warisan tak berwujud yang lebih berharga dari segunung emas - cinta pada ilmu dan kata-kata.
Dan di sinilah kami, dua generasi yang disatukan oleh lembar-lembar kertas dan tinta, menemukan kebahagiaan dalam sunyi rak-rak buku Gramedia Slamet Riyadi.
Gusti, izinkanlah aku menulis sebuah doa untuk lelaki sederhana yang telah mengajariku mencintai ilmu ini. Untuk bapakku yang sering mengenakan peci hitam dan baju putih bersihnya, yang tangannya tak pernah lelah membalik-balik halaman kitab, yang hatinya selalu haus akan ilmu bahkan di usia senjanya.
Ya Allah, panjangkanlah umurnya dalam kebaikan. Biarkan jemarinya yang mulai keriput itu masih bisa terus membalik lembar-lembar buku, membagi ilmu kepada jamaahnya setiap Jumat. Kuatkan lututnya untuk tetap tegak berdiri di mimbar, menyampaikan kata-kata bijak yang menyejukkan hati.
Tuhan, jagalah matanya yang kini berbingkai kacamata itu. Mata yang dulu begitu sabar mengajariku membaca huruf demi huruf, yang kini masih berbinar-binar setiap kali menemukan buku baru. Sehatkan badannya agar tetap kuat menempuh perjalanan dari satu toko buku ke toko buku lain, dari satu masjid ke masjid lain, membagi cahaya ilmu kepada siapa saja yang haus pengetahuan.
Ya Rabbi, izinkan aku menjadi bapak sepertinya. Yang tak hanya memberi makan dan tempat berteduh, tapi juga menanamkan cinta pada ilmu dan kebijaksanaan.
Dan di atas semua itu, Ya Allah, berikan ia kebahagiaan. Bahagia yang sederhana seperti dirinya - cukup dengan secangkir jeruk peras hangat dicampur sedikit gula batu, sebuah buku baru, dan kesempatan untuk terus berbagi ilmu. Karena bagiku, senyumnya ketika menemukan kitab yang dicari adalah salah satu keajaiban dunia yang tak ternilai harganya.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Begitulah doaku, kupanjatkan dalam hening di antara rak-rak Gramedia Slamet Riyadi, sementara bapakku masih asyik dengan buku-buku barunya. Semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan doa seorang anak yang tak akan pernah bisa membalas jasanya ini.
Sore tadi, langit Solo mulai menangis gerimis ketika kami tiba di halte Pasar Gedhe Timur. Bapakku, masih dengan baju putih dan pecinya yang khas, berdiri tenang menunggu bus jurusan Wonogiri. Plastik berisi buku-buku baru yang tadi dibelinya dipeluk erat di dadanya, seolah itu adalah harta paling berharga di dunia.
"Le, kamu pulang saja duluan gapapa" katanya dengan suara yang selalu terdengar lembut itu. Tapi aku menggeleng. Bagaimana bisa aku meninggalkan lelaki yang telah mengajariku membaca ini sendirian di halte? Tidak. Aku akan menunggu sampai ia naik ke bus dengan selamat.
Belum selesai pertanyaannya ku jawab “Ternyata temanmu hobi nonton wayang orang di Sriwedari ya le?” Bus akhirnya datang, membelah gerimis sore yang semakin rapat. Kulihat bapakku naik dengan hati-hati, tangannya yang satu masih mendekap buku-bukunya. Ada sesuatu yang menghangat di dadaku melihat punggungnya yang mulai membungkuk itu. Punggung yang dulu selalu tegap menggendongku, kini perlahan mulai dikalahkan waktu.
"Hati-hati, Pak," bisikku lirih, setengah pada bapakku, setengah pada Tuhan yang kuharap selalu menjaganya. Ia menoleh, tersenyum, dan melambai pelan dari balik kaca bus yang berembun. Bus pun melaju perlahan, membawa bapakku pulang ke arah Wonogiri, membawa sebagian hatiku bersamanya.
Di bawah gerimis yang masih turun, kutatap bus yang kian menjauh itu sampai hilang di tikungan. Dalam hati, kupanjatkan doa yang sama seperti yang selalu kupanjatkan setiap kali ia pergi: "Ya Allah, selamatkan bapakku sampai rumah. Jaga dia selalu seperti ia menjagaku dulu."