Bermalas - Malasan

Pagi itu, atau lebih tepatnya siang itu, aku terbangun dengan malas. Cahaya matahari sudah melewati puncaknya, menyorotkan sinarnya ke sela-sela jendela kayu rumah di Banjarnegara. Aku menguap panjang, malas beranjak dari tempat tidur. Dalam benakku, tak ada jadwal, tak ada kesibukan, hanya satu hari yang penuh dengan kemalasan yang ingin kunikmati seutuhnya.

Pukul sepuluh. Udara masih sejuk, angin dari perbukitan mengelus perlahan dedaunan di halaman. Aku melangkah ke luar kamar dengan langkah gontai, mendapati rumah dalam keadaan sunyi yang menyenangkan. Nana sibuk dengan Iliana entah dimana.

Waktu merayap seperti kura-kura, dan sebelum aku sadar, jam telah menunjukkan pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Perutku mulai protes, mengingatkanku bahwa ada dua bungkus Best Wok Mie Goreng Original menunggu untuk dimasak. Aku merebus air, mencium aroma mie yang menguar saat bumbu-bumbu ditaburkan ke dalamnya. Makan siang sederhana, tapi kenikmatannya tak bisa diganggu gugat.

Setelah perut terisi, aku dan Nana kembali ke kebiasaan favorit kami di hari malas: tidur siang. Entah mengapa, ada kenikmatan yang tak tergantikan dalam tidur siang setelah kenyang. Waktu melaju dengan cara yang tak kita sadari, hingga suara bis di samping rumah membangunkan Iliana pada pukul tiga lewat empat puluh. Dia bangkit dengan mata setengah terpejam, mengucek-ngucek matanya, lalu menatap ke arah jendela dengan ekspresi bingung.

“Bis, Bapak!” katanya polos, menunjuk ke luar.

Aku tertawa kecil, mengacak rambutnya yang masih acak-acakan. Sementara itu, matanya bergerak liar mencari sesuatu. Ah, tentu saja, dia mengingat ayam yang biasa berkeliaran di samping rumah.

“Kasihan ayamnya lapar,” gumamnya.

Maka, dengan langkah malas yang tersisa, aku menemani Iliana mencari makan untuk ayam-ayam itu. Kami menyusuri halaman, mencari kacang atau mungkin remah-remah nasi yang tersisa. Baginya, memberi makan ayam adalah misi besar yang harus dituntaskan, tak peduli betapa sepele kelihatannya bagi orang lain.

Setelahnya, petualangan kecil kami berlanjut. Kami berjalan-jalan ke luar rumah, menikmati sore Binorong yang mulai berwarna jingga. Langit berarak dengan awan-awan tipis, angin berhembus lembut membawa bau tanah yang khas setelah semalaman diguyur gerimis. Aku menggendong Iliana ke sana kemari, menyusuri jalanan kecil naik turun yang mulai ramai dengan orang-orang pulang dari ladang atau pasar.

Hari itu, langit Binorong agak berawan, tapi angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan suara ayam berkokok di kejauhan. Aku melangkah di jalanan desa, aspalnya hitam berkilat setelah hujan semalam, dan di pundakku, Iliana duduk dengan penuh percaya diri, kakinya yang mungil menekan bahuku seolah-olah dia ratu kecil yang tengah menginspeksi kerajaan.

“Tinggi, Bapak, tinggi!” katanya, tangannya menggenggam rambutku, terkikik senang. Aku tertawa, menggenggam pergelangan kakinya dengan hati-hati. 

Jalanan berliku naik turun, melewati rumah-rumah bata yang sebagian masih setengah jadi, warung kecil dengan plang kayu yang catnya mulai pudar, dan pohon-pohon rindang yang daunnya menari bersama angin. Di ujung tikungan, ada rumah dengan tenda putih berdiri di depannya—tanda bahwa ada hajatan.

Bagiku, menggendong Iliana seperti ini adalah kebahagiaan yang mungkin suatu hari nanti akan kurindukan. Saat dia masih kecil, saat kakinya masih kuat mencengkeram pinggangku, saat tangannya yang mungil masih bisa melingkar di kepalaku dengan percaya diri.

“Iliana mau turun?” tanyaku.

“No!” serunya cepat.

Aku tersenyum lagi. Aku tahu jawabannya sebelum bertanya. Selama pundakku masih sanggup, selama langkahku masih kuat, selama waktu masih mengizinkan, aku akan selalu menggendongnya. Sebab ada hari di masa depan, di mana kaki kecil itu akan tumbuh panjang, tangannya akan lebih besar, dan dia akan berjalan sendiri, meninggalkanku di belakang.

Tapi tidak hari ini.

Hari ini, aku masih bapak yang kuat, dan dia masih gadis kecil yang bahagia di atas pundakku.

Kami berhenti di sebuah warung pinggir jalan yang menjual pecel dan mendoan. Aroma tempe goreng yang renyah dan bumbu kacang yang kental menggoda selera. Iliana bersorak kecil saat melihat penjual mencetak mendoan ke dalam wajan, lalu kami membeli cilok di Balai Desa.

Dengan tangan penuh kresek berisi jajanan, kami pulang, masih dengan Iliana. Tubuh kecilnya terasa hangat, tangannya melingkar, dan aku bisa merasakan napas kecilnya. Ada rasa syukur yang merayap diam-diam dalam dadaku—tentang hari sederhana, tentang waktu yang terasa lambat, tentang kebahagiaan yang tak perlu dicari jauh-jauh.

Malam datang dengan tenang. Di beranda rumah, aku duduk dengan secangkir kopi, mengamati langit yang bertabur bintang. Iliana sudah terlelap, kelelahan setelah seharian berjalan dan tertawa.

Hari itu adalah hari yang tak istimewa bagi kebanyakan orang. Tidak ada kejadian besar, tidak ada momen luar biasa. Tapi bagiku, hari itu adalah bukti bahwa kebahagiaan sering kali bersembunyi dalam hal-hal kecil—dalam semangkuk mie instan, dalam gendongan anak, dalam secangkir kopi di malam yang sunyi.