Aku, Nana, dan Iliana bangun dengan malas-malasan seperti anak-anak kampung yang baru saja libur sekolah. Matahari sudah setinggi pohon kelapa, tapi kami masih bergelung di kasur, menikmati kemewahan waktu yang tak dikejar-kejar.
“Bapak, hari ini kita ke mana?” tanya Iliana, masih dengan suara serak khas bangun tidur.
Ke mana pun, asalkan kita bertiga.
Maka, perjalanan dimulai. Kami menuju Kopi Tani, sebuah kedai kecil di dekat Alun-Alun Banjarnegara. Di sana, aroma kopi berpadu dengan bau tanah basah setelah hujan semalam. Para pengunjung kafe duduk, menyeruput kopi kental, bercakap tentang apapun. Aku menyesap kopiku pelan, sementara Nana memilih Matcha.
Seusai salat Jumat, perut mulai berorasi dengan semangat yang tak kalah dari khatib di mimbar tadi. Maka, tanpa banyak diskusi, kami menuju cilok Pasundan—cilok yang sudah berkali - kali ku beli sejak aku di Banjarnegara.
Tapi perjalanan belum selesai. Kami melipir ke Saung Bu Mansyur, tempat yang menawarkan keteduhan dari hiruk-pikuk kota. Di sana, kolam ikan terhampar, angin berdesir lembut, dan suara gemericik air seakan menyanyikan lagu pengantar tidur. Kami duduk di saung kayu, mengobrol tentang apa saja, tentang mimpi-mimpi, tentang rencana-rencana yang kadang hanya sebatas angan.
Dari sana, kami mampir ke Nice So, toko mainan yang penuh dengan hal - hal yang disukai Iliana.
Pulang ke rumah, kami menyerah pada kantuk. Tidur siang adalah kemewahan yang hanya bisa dimiliki di hari-hari seperti ini. Hembusan kipas angin membuat mata semakin berat, dan dalam sekejap, dunia pun menghilang.
Sore harinya, aku ngopi di beranda. Langit senja memancarkan warna oranye keemasan yang membuat segalanya terasa damai. Iliana, langsung mengajak kami ke Indomaret untuk membeli jajanan.
Perjalanan kami berlanjut ke toko durian. Aroma durian menyerang dari segala penjuru, menghipnotis kami untuk membeli lebih dari yang seharusnya. Kami memilih durian terbaik, lalu menyantapnya dengan nikmat, tanpa peduli bau yang menempel di tangan dan baju.
Lampu-lampu warung durian menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di atas meja hijau yang sudah mulai mengelupas catnya. Di meja itulah, Iliana duduk, dengan mata berbinar seperti menemukan harta karun.
Di tangannya, sepotong durian montok berwarna kuning emas, mengeluarkan aroma tajam yang hanya bisa dicintai atau dibenci. Iliana? Ia jelas memilih untuk mencintainya. Tanpa ragu, ia menggigit durian itu dengan penuh kesungguhan, kedua tangannya menggenggam erat, seakan takut kalau-kalau buah itu melarikan diri.
Aku dan Nana duduk di seberang, menyaksikan adegan ini dengan senyum tertahan. Tangan kecil Iliana kini penuh dengan jejak durian, dagunya mulai belepotan, tapi siapa yang peduli? Malam ini adalah malam kemenangan seorang anak kecil yang menemukan kebahagiaannya dalam sepotong durian.
Di belakangnya, kursi plastik berwarna hijau terlihat sedikit miring, seperti sedang bersiap ikut tertawa melihat kelakuannya. Sedotan berwarna-warni tergeletak di atas meja, menambah kesan bahwa ini bukan sekadar makan malam biasa—ini adalah petualangan kuliner, eksplorasi rasa yang mungkin akan ia kenang bertahun-tahun kemudian.
Dan malam pun terus berjalan, ditemani tawa kecil, bau durian yang menempel di tangan, dan seorang anak yang menemukan kebahagiaan dalam gigitan pertamanya.
Malam menutup hari ini dengan rasa kenyang dan hati yang penuh. Hari ini mungkin terlihat sederhana—tanpa peristiwa besar, tanpa kejadian luar biasa—tapi justru di situlah kebahagiaannya. Dalam tawa kecil, dalam perjalanan tanpa rencana, dalam waktu yang kami habiskan bersama.
Dan seperti yang selalu terjadi, Iliana yang pertama menyerah pada kantuk.
Lalu, malam pun menjadi sunyi.