Aku keluar dari kantor saat jarum jam menunjukkan pukul 18.40. Langit kota tampak mendung, membawa aroma hujan yang mulai menyapa tanah. Rasanya lega melangkah ke luar setelah seharian berkutat dengan tugas - tugas. Tapi entah bagaimana, aku masih teringat pada Ulung dan Iqlima yang tetap duduk di depan laptop mereka. Dua rekanku itu memang luar biasa. Semangat mereka seperti ombak, tak pernah berhenti bergulung. Ulung, dengan cara berpikirnya yang jernih, selalu tahu bagaimana menyelesaikan masalah. Sedangkan Iqlima, ia seperti bunga yang mekar di musim semi—penuh ide dan kreativitas kerja. Aku terkadang iri melihat energi mereka.
Ketika aku tiba di rumah, suara tawa Iliana, anak perempuanku, menyambutku lebih dulu. Ia berlari kecil dengan kaki mungilnya, jaket ungu bergambar kucing sudah melekat di tubuhnya. “Bapak! Ayo jalan-jalan!” serunya, wajahnya berseri-seri. Nana, istriku, sudah menyiapkan tas kecil dengan barang-barang yang kami perlukan. “Kita ke Grebeg Sudiro malam ini,” katanya sambil tersenyum. Dan aku tahu, malam ini akan menjadi salah satu malam yang tak terlupakan.
Kami berangkat menuju Pasar Gedhe, tempat Grebeg Sudiro digelar. Jalanan padat oleh kendaraan, dan hujan rintik mulai turun saat kami tiba. Aku memarkir mobil di gedung parkir Ketandan, lalu kami berjalan kaki menuju kawasan festival. Di depan kami, gerbang besar bertuliskan “Gong Xi Fa Cai” menyambut dengan megah. Iliana memandang gerbang itu dengan mulut kecilnya terbuka, terkagum-kagum. “Wow!” katanya, dan itu baru permulaan.
Masuk ke kawasan Grebeg Sudiro adalah seperti melangkah ke dunia lain. Ribuan lampion berwarna-warni menggantung di atas kepala kami, memantulkan cahaya yang gemerlap di jalanan basah. Iliana menunjuk-nunjuk ke atas dengan penuh antusias. Ada lampion berbentuk kucing, harimau, dan yang paling besar, lampion ular raksasa berwarna hijau yang melingkar dengan indah. Nana mengangkat payung yang ia bawa, melindungi kami dari sisa-sisa rintik hujan, hingga akhirnya hujan benar-benar berhenti. Iliana, yang sudah tak sabar, mulai berlari kecil, tangannya menggenggam tanganku erat.
Di sepanjang jalan, suasana begitu meriah. Lagu dangdut mengalun dari sebuah panggung kecil di sudut pasar, membuat Iliana berjoget kecil. Ia tertawa lepas, menggerakkan tubuhnya dengan cara yang membuatku dan Nana tertawa. Kami berhenti sejenak di sebuah kios yang menjual pernak-pernik. Iliana memilih pensil dengan boneka biru di ujungnya, lalu meminta kacamata hitam yang langsung ia pakai. Dengan kacamata itu, ia berjalan seperti seorang bintang, penuh percaya diri.
Aroma makanan mulai menyeruak, menarik kami untuk berhenti di beberapa penjaja makanan. Kami membeli cumi bakar yang beraroma harum, tempe mendoan yang masih hangat, dimsum yang lembut, dan kue leker dengan tepian yang renyah. Teh hangat dengan gula yang tak terlalu manis menemani kami saat duduk di sebuah sudut Balaikota. Iliana terus bergerak, tak mau diam, berlari-lari ke sana kemari. Ia menyapa setiap orang yang ia temui, membuat orang-orang tersenyum dengan tingkah polahnya yang polos.
Saat malam semakin larut, kami memutuskan untuk berjalan kembali ke tempat parkir. Di depan Balaikota, hamparan rumput hijau mengundang Iliana untuk kembali berlari-lari. Ia tertawa lepas, suaranya bergema di udara malam yang mulai tenang. Di dekat situ, ada lampion ular raksasa yang menjadi pusat perhatian. Kami berhenti, dan aku mengangkat Iliana ke dalam pelukanku. “Bapak, ini bagus sekali!” katanya, matanya berbinar-binar. Kami berfoto bersama di depan lampion itu, mengabadikan momen yang akan terus kami ingat.
Malam itu, aku melihat kebahagiaan dalam bentuk paling sederhana. Kebahagiaan seorang anak yang tertawa tanpa beban, kebahagiaan istriku yang tersenyum saat melihat kami bahagia, dan kebahagiaan diriku sendiri, yang menemukan kedamaian dalam setiap langkah kecil Iliana di bawah lampion-lampion yang berpendar. Malam ini adalah malam yang tak akan kulupakan. Lampion-lampion itu, seperti mimpi-mimpi kecil yang beterbangan di langit malam, akan terus menyala dalam ingatanku.