Pagi itu, seperti biasanya, aku mengayuh sepedaku menyusuri jalan dari Colomadu ke Manahan. Sepeda ini, meski sering protes dengan derit rantai dan ban yang semakin kempes karena jarang ku pompa, tetap setia membawaku menembus pagi. Hari ini aku sedikit kesiangan. Biasanya, aku sudah melintas di Jalan Adi Sucipto saat langit masih jingga, tetapi kali ini matahari mulai beranjak meski samar karena mendung yang menggantung rendah. Untunglah, mendung ini menyelamatkanku dari peluh berlebih, membuat perjalananku lebih ringan.
Di kantor, seperti biasa pula, tugas-tugas menanti. Satu demi satu aku selesaikan. Kadang dengan serius, kadang dengan sejumput keluh dalam hati. Waktu melesat seperti anak panah yang tak sempat aku tangkap. Sebelum sadar, sore sudah menempel di jendela ruanganku. Langit kelabu semakin pekat, dan butir-butir hujan mulai menari-nari di kaca.
Ketika jam kerja usai dan orang-orang mulai meninggalkan kantor, aku bersiap pulang. Sepedaku yang kusandarkan di basement kantor kini bersiap basah kuyup.
Saat sudah mengenakan jaket dan hendak pulang, aku berpamitan dengan Pak Bambang Wijayanto. Sosok yang selalu berkharisma itu tiba-tiba melayangkan tanya, “Kenapa hujan deras begini tetap pulang naik sepeda?”
Aku tersenyum, tanpa memberi jawaban apapun.
Pak Bambang hanya mengangguk kecil, meski kerutan di keningnya seperti masih menyimpan keheranan.
Kemudian, di basement kantor, aku bertemu dengan Pak Basuki. Di kantor ini, Pak Basuki seperti seorang bapak bagi semua pegawai. Ia tempat kami bercerita, mengadu, bahkan meminta nasihat ketika hidup terasa membingungkan. Ia adalah pendengar yang baik, dengan mata teduh yang penuh pengertian.
Ia menatapku sambil tersenyum kecil. “Kenapa hujan deras tetap pulang naik sepeda?” tanyanya, nadanya hangat, seperti seorang bapak yang mengkhawatirkan anaknya.
Aku menjawab dengan kalimat, “Sudah ditunggu istri di rumah, Pak.”
Namun sebenarnya, jawaban itu hanya separuh dari kebenaran. Yang tak kuucapkan adalah bahwa ada sesuatu yang magis dari derasnya hujan. Semakin deras tetesnya, semakin aku merasa damai. Hujan seperti teman yang tahu cara mendengar tanpa bertanya, yang memeluk tanpa menuntut. Ia membasuh pikiran yang kusut oleh beban-beban kerja, oleh pertanyaan-pertanyaan yang menggema tanpa jawaban di dalam kepala.
Aku mengayuh sepeda menyusuri jalanan basah, melewati genangan yang memantulkan lampu-lampu jalan seperti kilau berlian. Hujan menghantam wajahku, menyelusup ke kerah baju, meresap ke sepatu. Tapi aku justru menikmatinya. Dinginnya hujan adalah penawar, peringatan lembut bahwa tak ada beban yang perlu terlalu lama digenggam.
Ketika akhirnya sampai di rumah, Nana, istriku, menyambutku dengan senyum. Iliana kecilku tertawa melihat bapaknya yang kuyup seperti tikus jatuh ke ember.
Dan saat itu, aku sadar, bukan hanya hujan yang menenangkan pikiranku. Tetapi rumah, keluarga, dan cinta sederhana yang menanti di ujung setiap perjalanan pulang.