Pagi itu, dingin merayap seperti penari sunyi yang mengalun di antara kelopak-kelopak embun. Aku terbangun di dalam tenda glamping Taman Anggrek Guci, Tegal, dengan nafas yang membentuk kabut kecil di udara. Iliana masih terlelap, selimut birunya melingkupi tubuh mungilnya bak kepompong yang enggan melepas mimpi. Ketika kusibak pintu tenda, kabut tebal menyergapku bak hantu-hantu putih yang menggigil, melahap pepohonan, menyamarkan jalan setapak, dan mengubah dunia menjadi lukisan tinta Cina yang lembap. Angin berbisik pelan, membawa aroma tanah basah dan kesunyian yang merindu.
Iliana bangun perlahan, matanya yang sebening embun mengernyit menatapku. Kami bermalas-malasan di atas kasur tipis, mendengar kicau burung yang teredam kabut, sampai jarum jam berdetak lamban menuju pukul delapan. Saat keluar tenda, Iliana melompat kecil, tangannya menggenggam erat jemariku. Kabut masih menari, tapi sinar matahari mulai menetes seperti madu yang merembes lewat sela-sela daun.
Dia berteriak riang melihat patung kerbau yang berdiri gagah, matanya berbinar seperti anak yang menemukan harta karun. "Lihat, kerbaunya besar sekali!" katanya, tertawa renyah. Kami berjalan di antara patung-patung yang bisu namun berjiwa: rusa dengan tanduk menjulang yang ternyata bukan patung, unta yang anggun, komodo purba yang mengintip dari kolam. Taman ini sepi, tapi bagi Iliana, ia adalah kerajaan.
Di depan patung zebra, dia memeluk patung itu erat-erat, berteriak minta difoto. Wajahnya bersinar seperti bulan sabit. Lalu, dia menarik tanganku ke patung beruang, sementara matanya tertawa.
Di sebuah taman yang dikelilingi oleh pepohonan yang melambai-lambai seperti tangan ibu yang meninabobokan anaknya, Iliana berdiri di atas bunga raksasa. Senyumnya merekah, matanya berbinar-binar seperti menemukan rahasia kecil yang hanya bisa dipahami oleh jiwa kanak-kanak yang masih suci. Di belakangnya, sepasang sayap kupu-kupu raksasa terbentang, seolah-olah alam sendiri telah memberinya anugerah untuk terbang ke langit impian.
Ah, Iliana. Gadis kecil yang bahkan angin pun enggan mengusiknya. Mungkin ia tengah membayangkan dirinya sebagai peri penjaga hutan, atau mungkin seorang penjelajah yang akan menemukan negeri di balik pelangi. Anak-anak memang selalu begitu, melihat dunia dengan kacamata yang penuh warna-warni, sementara kita, orang-orang dewasa, sering kali hanya melihat hitam dan putih.
Di kejauhan, dedaunan berbisik, menceritakan kisah-kisah lama tentang hujan yang turun di pagi hari, tentang kupu-kupu yang terbang mencari bunga, tentang seorang gadis kecil bernama Iliana yang suatu hari akan tumbuh dan mungkin lupa bahwa pernah ada saat di mana ia percaya dirinya bisa terbang. Tapi biarlah, biarkan hari ini menjadi kenangan yang kelak akan ia temukan kembali, seperti menemukan surat cinta lama yang terselip di antara halaman buku yang jarang dibuka.
Dan di sanalah Iliana, dengan rambutnya yang diterpa angin, dengan tawa kecilnya yang lebih merdu dari nyanyian burung, berdiri di atas bunga, dengan sayap kupu-kupu di belakangnya. Seolah dunia ini tak pernah kehilangan keajaibannya. Seolah mimpi bisa benar-benar membawa kita ke mana saja.
Pukul sembilan lewat seperempat, kolam air hangat memanggil. Iliana menceburkan diri seperti anak duyung kecil, riak airnya memecah kabut yang masih menggantung. Pancuran hangat mengalir di rambutnya, membentuk kristal-kristal air yang berkilau. Dia mencipratiku, tertawa ngikik saat aku pura-pura marah. Dinginnya udara tak berarti di sini; kolam ini adalah pelukan ibu yang hangat, mengingatkanku pada malam-malam di Barabai dulu, ketika hujan deras dan kami berkumpul di sekitar tungku kayu.
Jam sepuluh tiga puluh, kabut kembali datang dengan congkak, lebih pekat dari subuh tadi. Tenda kami seperti kapal hantu yang terdampar di lautan susu. Saat mobil melaju perlahan meninggalkan Tegal, Iliana tertidur di kursi belakang dengan senyum yang masih menempel. Jalanan adalah labirin kabut; pohon-pohon pinus menjadi siluet-siluet raksasa yang mengawasi kami dengan mata tak kasatmata.
Di Belik, kabut mulai terkikis, membuka tabir perkebunan nanas yang membentang hijau. Nanas Belik manisnya menggigit, airnya mengalir di kerongkongan seperti nektar para dewa. Iliana menggigit daging buahnya dengan rakus, sementara hujan rintik-rintik menari di atap mobil.
Patung Knalpot Purbalingga berdiri gagah di tengah terik yang mulai mengintip. Pawon Semar menyambut dengan aroma kopi dan kenangan. Mas Riki datang dengan senyum lebar yang tak berubah sejak lima tahun lalu—senyum seorang pemuda yang dulu merantau di Kalimantan, menggali emas ilusi di tanah yang dijanjikan. Kami tertawa mengingat malam-malam di Barabai, ketika kami tidur dan bermimpi tentang Jakarta yang ternyata tak seindah bintang.
Kami ke Kedai Es Teler Almeera, di Kedai Es Teler Almeera, Iliana menyeruput campuran alpukat, kelapa muda, dan es krim vanila dengan mata berkaca-kaca, lidahnya menjilat es krim sampai bersih. Es teler Sultan itu memang mewah—susu kental manisnya menggenangi potongan nangka, seperti danau kecil yang memeluk pulau-pulau eksotis.
Di dalam gelas plastik bening itu, tersaji sebuah mahakarya kesegaran yang menggoda indera. Es Teler Sultan, begitu namanya, seolah membawa kemewahan tropis dalam genggaman. Perpaduan warna-warni yang berkilauan di balik lapisan susu kental dan es krim membuat siapa pun yang melihatnya langsung membayangkan kesejukan yang menelusup hingga ke sumsum.
Lapisan paling bawah tampak seperti lautan susu yang tenang, lembut, dan menjanjikan kelembutan rasa. Di atasnya, potongan durian kekuningan mengapung dengan anggun, bersanding dengan nangka yang menyerupai pita-pita kuning yang melayang bebas. Agar - agar hijau, dengan bentuknya yang menyerupai zamrud cair, menari-nari di antara mutiara merah yang mengingatkan pada gugusan delima yang jatuh dari dahan.
Semua keindahan itu kemudian diselimuti oleh es yang menggunung, dinginnya seolah menggambarkan puncak gunung bersalju di khatulistiwa. Di puncaknya, sesendok es krim vanila duduk dengan anggun, mencair perlahan, membiarkan rasa manisnya meresap ke dalam lautan susu dan buah-buahan di bawahnya.
Es Teler Sultan ini bukan sekadar minuman, melainkan perpaduan seni dan rasa. Setiap sendokannya adalah perjalanan rasa—manis yang lembut, segar yang menggigit, dan tekstur yang silih berganti dalam tarian harmoni. Ia bukan hanya pelepas dahaga, tetapi juga pengingat bahwa dalam kesederhanaan es dan buah, tersembunyi keajaiban kecil yang bisa membuat hari terasa lebih indah.
Perjalanan pulang ke Banjarnegara dihiasi langit kelabu yang menangis rintih. Sesampai di rumah, Iliana tertidur di kasur dengan baju masih basah oleh keringat dan sisa-sisa es teler. Setelah bangun, aku memandikannya, lalu ia tidur kembali. Aku memandangnya, anak kecil yang hari ini telah mengajarku bahwa kebahagiaan bisa sesederhana memeluk patung zebra, atau mengejar kabut yang lari tertiup angin.
Kadang, kita tak perlu menjelajah ujung dunia untuk menemukan keajaiban. Ia bersembunyi di dalam tawa anak-anak, di balik kabut pagi yang enggan pergi, atau di antara remah-remah nanas manis yang jatuh di celana. Malam ini, di Banjarnegara yang sunyi, aku menyadari bahwa hidup adalah kumpulan detik-detik seperti ini—kecil, hangat, dan abadi seperti jejak kupu-kupu di atas batu.