Di Klodran Colomadu Sabtu pagi itu, seperti sabtu-sabtu yang lain, adalah pagi yang memulai dirinya dengan keramaian sederhana. Deru motor berlalu-lalang di jalan kecil yang sudah mulai menghangat oleh matahari. Bau tanah bercampur debu menguar pelan, menjadi latar bagi ritme kehidupan yang terus berjalan. Di sisi jalan, ada penjual buah, Dio Buah nama toko buahnya, dengan tumpukan kotak dan keranjang berisi hasil bumi yang baru tiba dari desa-desa sekitarnya. Di antara kesibukan itu, ada sebuah pemandangan kecil yang lebih berharga daripada apapun yang dijajakan di sana.
Nana, istriku, duduk di atas keriuhan pagi itu, dengan jilbab biru yang melambai pelan ditiup angin. Ia menunduk dengan cermat, tangannya terampil memilah jeruk di dalam kardus yang terlihat sudah melalui banyak perjalanan. Wajahnya tenang, seperti seorang pelukis yang sedang memilih warna untuk karyanya. Di sampingnya, berdiri Iliana, anakku, dengan baju oranye yang terlalu sederhana untuk menyembunyikan kilau dunianya. Matanya yang besar dan penuh rasa ingin tahu mengamati ibunya, seolah-olah sedang belajar sesuatu yang lebih penting dari sekadar memilih buah.
Aku berdiri sedikit menjauh, menikmati pemandangan ini dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ada sesuatu yang sangat menenangkan dari momen itu, sesuatu yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan. Di dunia yang penuh dengan ambisi dan kesibukan, pagi itu terasa seperti puisi yang lahir dari hal-hal kecil: cinta seorang ibu yang bahkan dalam keheningan sekalipun mengajarkan Iliana tentang ketelitian, kesabaran, dan kasih sayang.
Motor-motor yang lewat membawa cerita lain, entah tentang pekerjaan, perjalanan pulang, atau sekadar mencari nasi bungkus untuk sarapan. Tapi di sudut kecil ini, cerita kami berbeda. Dunia kami adalah jeruk-jeruk kecil di dalam kardus tua, buah salak dengan kulit bersisik yang dipilih hati-hati, dan rambut-rambut halus di kepala Iliana yang bergerak mengikuti langkahnya. Nana tidak hanya memilih buah. Ia memilih sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak kasat mata—ia memilih kebahagiaan kecil yang akan menjadi bagian dari kenangan anak kami di masa depan.
Di saat Nana menimbang buah di tangannya, Iliana mulai menunjuk sesuatu—mungkin rambutan yang jatuh di pinggir jalan, atau buah manggis yang mengintip dari keranjang. Aku bisa melihat cahaya di matanya, cahaya yang lahir dari rasa penasaran seorang anak kecil yang melihat dunia sebagai tempat ajaib yang penuh dengan hal baru untuk dipelajari. Nana tersenyum, menjawab dengan sabar, meskipun aku tak bisa mendengar kata-katanya dari tempatku berdiri.
Semua ini terjadi dalam waktu yang singkat, namun terasa seperti berjam-jam di dalam hatiku. Pagi itu, di tepi jalan kecil Tugu Boto, aku menemukan bahwa kehidupan seringkali tidak membutuhkan panggung besar. Kehidupan adalah Nana yang memilih jeruk, Iliana yang mengamatinya, dan aku yang berdiri diam, merekam semuanya dalam ingatan.
Ketika Nana selesai memilih buah dan menyerahkannya kepada penjual, kami berjalan pulang bersama. Iliana memegang tangan ibunya, sesekali melompat kecil di atas trotoar yang tidak rata. Pagi itu sederhana, tetapi kehangatannya akan bertahan lama, lebih lama dari jeruk-jeruk itu sendiri. Di sanalah kebahagiaan kecil kami bersembunyi—di dalam kardus tua, di bawah sinar matahari pagi, di antara tangan seorang ibu dan anaknya, yang tanpa sadar sedang menciptakan kenangan yang abadi.