Tidur adalah puisi sunyi yang ditulis malam di atas tubuh yang letih. Seperti angin yang berembus lembut di antara dedaunan, ia datang tanpa permisi, memeluk kita dalam kehangatan yang tak terlihat. Tidur bukan hanya soal memejamkan mata, tapi sebuah perjalanan ke dunia lain, tempat logika tak lagi menjadi penguasa. Di sana, waktu seolah berhenti, dan kita, untuk sesaat, terbebas dari hiruk-pikuk dunia.
Kau tahu, tidur adalah seni yang tak pernah kita kuasai sepenuhnya. Ia datang dengan caranya sendiri, sering kali tak peduli apakah kita sedang menunggu atau malah berusaha menghindarinya. Seperti seorang kekasih yang manja, tidur memilih kapan ia akan datang, membuat kita menanti-nanti dengan gelisah di malam-malam tertentu, atau menyerang tanpa ampun di siang bolong saat kita sedang sibuk-sibuknya.
Ada sesuatu yang ajaib tentang tidur. Ia adalah jembatan antara kesadaran dan mimpi, antara kenyataan dan harapan. Di dalam tidur, kita menemukan mimpi-mimpi yang tak pernah kita rencanakan. Mimpi adalah negeri yang penuh rahasia, tempat kita bertemu orang-orang yang telah lama pergi, atau mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kita datangi. Di sana, hukum dunia nyata tak lagi berlaku. Kita bisa terbang, berbicara dengan bintang, bahkan berbagi tawa dengan seekor gajah yang tahu cara menyeduh kopi.
Namun, mimpi tak selalu indah. Ada kalanya, tidur menjadi layar gelap yang dipenuhi bayangan-bayangan tak bersahabat. Mimpi buruk, kata mereka. Tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai pengingat kecil dari alam bawah sadar, bahwa hidup ini tak selalu mulus, bahkan ketika kita sedang beristirahat.
Tidur adalah teman setia yang sering kita abaikan. Dalam keramaian kehidupan, kita terlalu sibuk mengejar mimpi-mimpi di dunia nyata hingga melupakan bahwa tidur adalah tempat mimpi-mimpi itu lahir. Kita memaksakan mata untuk tetap terbuka, menantang kantuk dengan kopi dan lampu-lampu terang, seolah tidur adalah musuh yang harus dikalahkan. Padahal, ia adalah sahabat yang paling setia. Ia tak pernah meminta apa-apa, hanya sebuah ruang kecil untuk berlabuh.
Tidakkah kau pernah memperhatikan bagaimana dunia mempersiapkan tidur? Langit memadamkan lampunya satu per satu, menampilkan bintang-bintang seperti lentera kecil yang berjaga di malam hari. Pohon-pohon berhenti bergoyang, dan angin, yang biasanya gaduh, berubah menjadi bisikan lembut. Bahkan hewan-hewan di hutan pun tahu kapan saatnya untuk menyerah pada malam. Hanya manusia, dengan segala keangkuhannya, yang sering kali melawan.
Namun, ada hal yang tak bisa kita pungkiri. Ketika akhirnya kita menyerah, ketika tubuh tak lagi sanggup melawan, tidur datang seperti ibu yang menyelimuti anaknya dengan penuh kasih. Ia menyembuhkan luka-luka kecil yang tak terlihat, baik di tubuh maupun di jiwa. Dalam tidur, hati yang patah perlahan-lahan direkatkan kembali, dan pikiran yang kusut diurai satu per satu.
Aku sering iri pada bayi yang tidur. Wajah mereka adalah gambaran paling murni dari kedamaian. Tak ada kerut, tak ada kegelisahan, hanya napas yang teratur dan mimpi-mimpi kecil yang bersemayam di dalamnya. Tidur mereka adalah sebuah doa yang diam, sebuah ketenangan yang tak terjamah oleh dunia. Mereka tak khawatir tentang esok, tak dihantui oleh kenangan kemarin. Tidur bagi mereka adalah peristirahatan total, sebuah penyerahan tanpa syarat kepada malam.
Lalu, kita yang dewasa ini? Tidur telah kehilangan kemurniannya. Ia menjadi rutinitas, seperti sekadar menyelesaikan pekerjaan lain di akhir hari. Kita menghitung jam tidur seperti menghitung laba-rugi, mengurangi dan menambahnya dengan serampangan, seolah-olah kita tahu persis bagaimana tubuh kita bekerja. Tidur yang dulunya penuh misteri kini dipenuhi gangguan—layar ponsel yang terus menyala, pikiran yang tak henti-henti berlari, dan ambisi yang menolak diam.
Padahal, dalam tidur, kita bisa belajar lebih banyak daripada yang kita sadari. Kita belajar untuk menyerah pada hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Kita belajar bahwa bahkan ketika kita tak sadar, tubuh kita tetap bekerja keras, menyembuhkan, memperbaiki, memperbarui. Dan di pagi hari, ketika mata kita terbuka, kita menemukan diri kita sedikit lebih kuat, sedikit lebih utuh, meskipun hanya untuk melanjutkan perjuangan yang sama.
Ada kalanya tidur membawa kita ke nostalgia. Pernahkah kau terbangun dengan perasaan hangat dari mimpi yang memutar kembali kenangan masa kecil? Di sana, kau berlari-lari di bawah hujan tanpa beban, atau mendengar suara ibu yang memanggilmu pulang. Mimpi-mimpi itu seperti pesan-pesan rahasia dari waktu, mengingatkan kita pada bagian-bagian diri yang mungkin telah lama terlupakan.
Namun, ada pula saat di mana tidur terasa seperti musuh. Malam-malam panjang yang penuh gelisah, ketika kau berbaring dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang kosong. Pikiranmu berputar-putar, mengulang-ulang hal-hal yang tak bisa kau ubah. Tidur, meskipun dekat, terasa begitu jauh. Di saat-saat seperti itu, kita baru sadar bahwa tidur adalah karunia, bukan hak.
Dan, ketika akhirnya tidur datang, ia melakukannya dengan penuh keanggunan. Ia tidak mengetuk pintu dengan keras, tidak mendesak masuk. Ia hanya menunggu, sabar, hingga kau siap untuk menyerah. Ia membimbingmu ke dunia yang lebih tenang, di mana suara-suara bising dunia nyata tak bisa lagi menjangkaumu.
Di sinilah keindahan tidur. Ia tak pernah menghakimi, tak pernah menuntut. Tidur adalah ruang di mana semua orang setara—kaya atau miskin, tua atau muda. Saat kita tidur, kita hanyalah manusia, rapuh dan membutuhkan istirahat.
Dan ketika pagi akhirnya datang, sinar matahari mengintip melalui tirai, burung-burung mulai berkicau, dan dunia kembali bergerak. Kita bangun, membawa sisa-sisa mimpi di ujung pikiran, dengan tubuh yang sedikit lebih ringan, dan hati yang sedikit lebih damai. Tidur telah menjalankan tugasnya, meskipun sering kali kita tak menyadarinya.
Tidur, pada akhirnya, adalah peringatan bahwa hidup ini adalah siklus. Kita beristirahat untuk kembali bekerja, kita tertidur untuk kembali terjaga. Dan di dalam siklus itu, tersembunyi sebuah pelajaran: bahwa tak ada hal yang terlalu berat, tak ada luka yang terlalu dalam, yang tak bisa diringankan oleh istirahat sejenak.
Ah, tidur. Betapa indahnya hal yang sering kita anggap remeh. Seperti malam yang tak pernah gagal datang, ia adalah pengingat bahwa dunia, meskipun penuh kelelahan, selalu memberi kita kesempatan untuk memulai kembali.