Perjalanan yang Menyejukkan

 Kabut tipis menggantung di udara, seperti selimut tipis yang melingkupi Colomadu pagi ini. Udara terasa dingin, menusuk kulit, namun mengundang rasa segar yang jarang ada di pagi-pagi lain. Di luar jendela, cahaya matahari berusaha menembus awan kelabu. Sementara itu, di dalam rumah, Iliana sudah mandi pagi-pagi sekali—sebuah kejadian langka yang hampir ajaib. Biasanya, ia lebih memilih meringkuk di bawah selimut atau bermain dengan boneka kucingnya yang mulai kusam. Tapi kali ini berbeda.

Aku dan Nana telah sepakat, hari ini adalah hari penting. Kami akan memastikan bahwa Iliana benar-benar sembuh dari demamnya yang beberapa hari lalu sempat membuat kami was-was. Dengan Honda Scoopy warna pink kesayangan, kami bertiga meluncur ke Klinik Pratama Griya Sehat. Nana duduk di belakangku, memeluk Iliana yang ceria, sementara aku mengemudi dengan hati-hati melewati jalanan yang masih basah akibat hujan semalam.

Sepanjang perjalanan, Iliana berceloteh tanpa henti, seperti burung pipit yang baru belajar terbang. Ia menunjuk burung-burung di kabel listrik, gerobak sayur yang didorong seorang ibu tua, hingga becak tua yang melaju perlahan. Dunia kecilnya penuh warna, penuh cerita. Ia mengajarkan bahwa hal-hal yang tampak biasa bagi kita, bisa menjadi luar biasa di mata seorang anak.

Setelah mengambil nomor antrian di klinik, kami memutuskan untuk sarapan dulu. Nana mengusulkan SSB (Spesial Soto Boyolali) di Jalan Adi Sucipto. Tempat ini sederhana, tanpa banyak hiasan, tapi selalu menyajikan kehangatan yang khas dari setiap mangkuk sotonya. Kami duduk di bangku kayu panjang.

Nana memesan dua mangkuk soto sapi. Dua gelas es jeruk segera tiba, ditemani sepiring penuh gorengan: bakwan dan tempe goreng. Tapi yang paling menarik perhatian Iliana adalah telur puyuh rebus. Ia menyantapnya dengan lahap. Di setiap suapan, ia tersenyum, seolah telur puyuh itu adalah makanan terenak di dunia.

Aku menghirup aroma soto yang mengepul, menyeruput kuahnya perlahan. Rasanya seperti pelukan di pagi yang dingin, seperti sebuah doa yang diam-diam menjelma makanan.

Kami kembali ke klinik setelah selesai sarapan. Ruang tunggu penuh, tapi Iliana justru semakin gembira. Ia berlari-lari kecil di sekitar ruangan, menyapa siapa saja yang ada di sana. “Halo, Om! Halo, Tante!” katanya dengan ceria, membuat semua orang tersenyum.

Ia bermain dengan kuda-kudaan plastik warna hijau di sudut ruangan, tertawa riang. Di dekatnya, ada kolam kecil dengan beberapa ikan warna-warni. Iliana memperhatikan ikan-ikan itu dengan tatapan penuh takjub, seolah sedang menyaksikan keajaiban dunia.

Ketika namanya dipanggil, Iliana melompat girang, menggandeng tangan Nana menuju ruang dokter. Pemeriksaan berjalan singkat, namun penuh harapan. Dokter tersenyum hangat, mengatakan bahwa Iliana sudah benar-benar sehat. Hatiku lega, seperti beban berat yang akhirnya lepas.

Di rumah, setelah kembali dari klinik, aku dan Iliana tanpa sadar tertidur. Sementara itu, Nana sibuk mempersiapkan segala keperluan. Hari ini kami akan ke Banjarnegara, kampung halaman Nana yang selalu membawa rasa hangat meski udaranya seringkali dingin menggigit.

Perjalanan dimulai dengan insiden kecil—ban mobilku terkena paku. Aku hanya bisa tertawa kecil, mengingat bahwa setiap perjalanan selalu membawa kejutan. Setelah ban ditambal, kami melanjutkan perjalanan melalui tol Klodran.

Hujan deras menemani perjalanan kami di sepanjang tol. Rintiknya mengetuk kaca mobil dengan irama yang monoton namun menenangkan. Namun, aku yang terlalu asyik mendengarkan celoteh Iliana malah kebablasan. Bukannya keluar di exit tol Bawen, aku baru tersadar saat berada di exit tol Ungaran.

Ungaran menyambut kami dengan kemacetan yang panjang. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak, membeli ayam goreng di Rocket Chicken untuk bekal perjalanan. Nana tersenyum kecil, mungkin kesal dengan kesalahanku, tapi aku tahu ia menikmatinya.

Ketika hujan mulai reda, perjalanan kembali terasa ringan. Di kejauhan, Gunung Sindoro dan Sumbing tampak malu-malu, tersembunyi di balik awan tebal. Namun, itu tak mengurangi keindahannya. Kami berhenti di Candimulyo untuk beristirahat. Udara di sini sangat sejuk, membawa aroma dedaunan dan tanah basah. Aku membeli secangkir kopi hangat dari pedagang kecil disana, menyeruputnya perlahan sambil memandangi aspal yang basah.

Di dalam mobil, Iliana bernyanyi-nyanyi riang, menciptakan melodi sederhana yang membuat perjalanan ini terasa lebih hangat.

Mendekati Binorong, kampung kecil di Banjarnegara, suasana mulai berubah. Jalanan penuh dengan kenangan. Sawah-sawah yang membentang, pepohonan yang tumbuh dengan bebas, dan rumah-rumah sederhana yang masih berdiri kokoh.

Sampai di rumah, Iliana langsung melompat turun dari mobil. Ia menyapa nenek buyutnya dengan pelukan penuh cinta, seolah ia telah mengenalnya seumur hidup. Malam ini, Iliana tertidur pulas, dengan senyum yang masih tersisa di wajah mungilnya.

Aku menatapnya dalam diam, merasa bahwa perjalanan panjang ini bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga perjalanan hati. Ada rasa syukur yang mendalam, bahwa di tengah dunia yang penuh kesibukan, ada momen-momen kecil yang begitu indah dan tak ternilai.