Pesan dari Tubuh

Pulang kerja tadi, di sebuah sore yang temaram, di tengah deru kendaraan yang mengalir di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, aku memutuskan mampir ke sebuah kedai kopi kecil yang terselip di antara deretan toko. Kedai ini sederhana, dengan meja kayu yang sedikit berderit dan jendela besar yang menghadap ke jalan. Aroma kopi bercampur harum tanah basah menguar dari luar, menambah kesyahduan suasana Surakarta setelah hujan singkat sore ini.

Saat aku masuk, pandanganku tertumbuk pada sosok yang sedang duduk di pojok kedai. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, wajahnya teduh, dengan tatapan yang seperti mampu menembus isi kepala seseorang. Tidak mungkin! Itu Yuval Noah Harari—penulis yang bukunya telah menemaniku melewati malam-malam penuh perenungan. Aku berhenti sejenak, antara percaya dan tidak. Tapi ya, itulah dia, tanpa diragukan lagi. Dunia memang penuh kejutan, pikirku.

Aku berusaha menjaga ketenangan saat memesan kopi dan duduk di meja yang tidak jauh dari tempatnya. Namun, sepertinya dunia hari ini memutuskan untuk lebih memanjakan aku. Ketika ia melihatku membawa buku Sapiens—yang kebetulan kubawa dalam tas hari itu—ia tersenyum dan melambaikan tangan. Dalam hitungan detik, aku sudah duduk di mejanya, seperti kawan lama yang saling berbagi cerita.

“Dari mana kau membaca bukuku?” tanyanya, suaranya halus tapi tajam, dengan aksen Inggris yang berirama seperti puisi.

“Dari pertanyaan-pertanyaan yang selalu aku bawa,” jawabku spontan. “Sepertinya bukumu menawarkan rasa penasaran, atau setidaknya cara pandang baru.”

Ia tersenyum kecil, seperti sedang memutar kembali sesuatu di kepalanya. “Buku itu memang tidak memberi jawaban,” katanya. “Hanya lebih banyak pertanyaan.”

Percakapan kami mengalir, hingga tanpa kusadari aku mulai mengeluh tentang sesuatu yang sedang menggangguku. Kepala. Sakit kepala ini sejak pagi belum juga reda. Mungkin karena terlalu banyak kesibukan, atau mungkin juga karena terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu.

“Ah,” katanya pelan, matanya menatapku dalam, seolah ia sedang membaca seluruh sejarah diriku. “Sakit kepala adalah fenomena yang menarik. Itu bukan hanya tentang tubuh, tapi juga tentang pikiran. Kau tahu, di setiap neuron yang berdenyut sakit, ada kisah yang tersimpan. Mungkin sakit itu cara tubuhmu meminta perhatian.”

Aku mengangguk, meski tak sepenuhnya mengerti. “Tapi rasanya sakit kepala ini seperti perang kecil di dalam tubuhku. Dan jujur, aku sering merasa kalah.”

Harari tersenyum lagi, kali ini seperti seorang filsuf yang menemukan ide baru. “Kita memang hidup dalam perang kecil setiap hari,” katanya. “Namun, kau harus ingat, dari perang kecil itulah kita belajar bertahan menghadapi perang besar. Setiap rasa sakit, entah itu fisik atau batin, adalah pengingat bahwa kau masih hidup, masih berpikir, masih menjadi manusia.”

Aku terdiam. Kata-katanya menggema di pikiranku, seperti lonceng gereja yang berdentang di kejauhan. Ia melanjutkan, “Kadang kita lupa bahwa tubuh kita tidak bekerja untuk kita saja. Ia bekerja untuk sejarah yang lebih besar, untuk sesuatu yang lebih panjang dari hidup kita. Sakit kepala itu mungkin muncul karena kau terlalu keras mendorong tubuhmu untuk menyelesaikan cerita yang belum waktunya selesai.”

Kopi di depanku telah mendingin, tapi percakapan kami justru semakin hangat. Kami berbicara tentang banyak hal—tentang kehidupan, tentang sejarah, tentang bagaimana manusia terus berjuang memahami makna hidup dalam dunia yang serba cepat.

Di tengah percakapan, ia menatapku dengan serius. “Kau tahu,” katanya, “sakit kepala itu seperti pesan rahasia dari tubuhmu. Jika kau mendengarkan dengan baik, mungkin kau akan menemukan apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh dirimu sendiri.”

Aku tertegun. Pesan rahasia? Sore ini, aku merasa seperti sedang belajar membaca bahasa tubuhku sendiri, sebuah bahasa yang selama ini luput dari perhatianku.

Hujan sudah berhenti sepenuhnya ketika Harari berdiri dan bersiap untuk pergi. Sebelum melangkah keluar, ia berkata, “Ingatlah, manusia adalah makhluk yang penuh dengan konflik, baik di dalam maupun di luar dirinya. Tapi dari setiap konflik, kita selalu menemukan cara untuk menjadi lebih baik, lebih kuat. Bahkan dari sakit kepala.”

Aku tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Ia melangkah keluar dari kedai, meninggalkan aku bersama cangkir kopiku yang dingin dan pikiran yang penuh dengan pertanyaan baru. Sore itu, di Jalan Slamet Riyadi, aku merasa seperti telah menemukan sebuah jawaban yang sebelumnya tidak pernah kucari, namun ternyata sangat kubutuhkan.

Setelah Harari pergi, aku tetap duduk di kursiku, membiarkan suasana sore itu meresap ke dalam diriku. Jalan Slamet Riyadi mulai ramai lagi. Sepeda-sepeda melintas perlahan, beberapa becak berhenti menunggu penumpang, dan lampu jalan mulai menyala, memancarkan cahaya lembut kekuningan. Tapi pikiranku masih tertahan pada percakapan kami tadi.

“Apa sebenarnya pesan dari sakit kepalaku?” gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Harari telah meninggalkan pertanyaan yang menggelitik kesadaranku. Aku merasa, seolah-olah ada misteri yang belum selesai.

Aku menyesap kopi yang sudah dingin—pahitnya terasa lebih tajam dari biasanya. Kemudian aku membuka buku Sapiens yang kubawa. Di halaman yang kebetulan terbuka, ada kalimat yang pernah aku tandai dengan tinta biru: “We did not domesticate wheat. It domesticated us.” Kalimat itu terasa relevan dengan pikiranku saat ini. Apakah sakit kepala ini bukan sepenuhnya milikku? Apakah ia “mendomestikasi” aku, membuatku tunduk pada iramanya?

Saat aku masih sibuk dengan pikiran itu, pelayan kedai menghampiriku, menawarkan untuk mengganti kopiku dengan yang baru. “Masih lama di sini, Mas?” tanyanya ramah.

Aku mengangguk, menerima tawarannya. Ada sesuatu yang menahanku untuk tetap tinggal, meskipun kedai mulai sepi. Setelah beberapa menit, secangkir kopi baru diletakkan di mejaku. Asapnya mengepul, menari perlahan di udara seperti tanda bahwa hidup masih terus bergerak, meskipun aku merasa diam di tempat.

Ketika aku menatap jalanan dari balik jendela besar, aku mulai menyadari sesuatu. Sakit kepala ini, seperti yang Harari katakan, mungkin memang lebih dari sekadar ketidaknyamanan. Mungkin itu adalah sebuah sinyal, cara tubuhku memintaku untuk berhenti sejenak, untuk merenung, untuk berdamai dengan beban-beban yang terus aku pikul tanpa kusadari.

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu yang sudah lama tak kulakukan: menulis. Aku menyukai menulis, dulu. Sebelum kesibukan dan rutinitas menyeretku menjauh, aku sering menuangkan pikiranku ke dalam kata-kata, seperti membuka katup kecil yang bisa meringankan tekanan di dalam kepala. Tapi entah mengapa, aku berhenti.

Aku mengambil buku catatan kecil dari dalam tas—buku yang sudah lama hanya menjadi hiasan. Tanganku ragu sejenak, lalu mulai menulis:

“Sakit kepala adalah bahasa tubuhku. Aku hanya belum cukup bijak untuk memahami apa yang ia katakan.”

Kalimat itu menjadi awal dari tulisan panjang yang terus mengalir. Aku menulis tentang sore ini, tentang Harari, tentang kata-katanya yang begitu sederhana tapi menusuk dalam. Aku menulis tentang hidupku belakangan ini—tentang pekerjaan, keluarga, dan kekhawatiran kecil yang tanpa kusadari telah menumpuk menjadi gunung besar di pikiranku.

Semakin lama aku menulis, semakin ringan kepalaku terasa. Seolah-olah setiap kata yang kutuangkan mengalir keluar dari saraf-saraf yang sebelumnya menegang. Aku menulis tanpa berhenti, hingga cangkir kopi keduaku pun habis.

Ketika aku akhirnya meletakkan pena, malam sudah tiba. Lampu-lampu jalan memantulkan bayangan di genangan air, dan kota terasa begitu hidup dengan hiruk-pikuk yang damai. Aku menutup buku catatan itu, merasa telah menemukan sesuatu yang hilang.

Sakit kepala ini, seperti yang Harari katakan, memang bukan musuh. Ia adalah pesan, sebuah pengingat untuk kembali mendengarkan diriku sendiri. Dan malam ini, aku memutuskan untuk mulai berdamai—bukan hanya dengan sakit kepala, tapi juga dengan diriku sendiri.

Aku keluar dari kedai dengan langkah yang lebih ringan, membawa serta aroma kopi, suara tawa pelayan yang ramah, dan kebijaksanaan seorang pria yang tanpa sengaja telah membantuku memahami diriku sedikit lebih baik. Di bawah langit Surakarta yang kelam, aku berjalan pulang, siap menyambut hari esok dengan cara yang berbeda.