Pikiranku Tak Tenang Seharian

Iliana, gadis kecilku yang baru berusia dua tahun, berdiri di atas timbangan di Klinik Griya Sehat. Tubuh mungilnya bersandar pada pegangan besi timbangan itu, sementara matanya memandang dengan polos, seolah-olah dunia sedang melintas terlalu cepat untuknya. Di sisinya ada papan-papan berwarna mencolok, memamerkan janji kesehatan yang lebih baik, tetapi hatiku tak tertarik pada semua itu. Yang kuperhatikan hanyalah wajah kecil Iliana, pucat namun tetap menyiratkan keberanian.


Hari itu, Nana, istriku, membawanya ke klinik karena demam yang tak kunjung reda. Aku, seperti bapak yang lain, terperangkap di kantor dengan hati yang bergemuruh. Pekerjaan menumpuk, tapi pikiranku terbang ke klinik kecil itu. Dari pagi hingga sore, pikiranku tak pernah utuh. Kadang aku berpura-pura membuka laporan, tetapi bayangan Iliana—matanya yang bening dan tubuh kecilnya yang ringkih—terus menghantui.


Ada sesuatu tentang anak kecil yang sedang sakit. Seolah-olah dunia kehilangan sedikit sinarnya. Dan saat aku melihat foto ini, Iliana yang kecil itu menjadi sepasang malaikat kecil di dunia penuh hiruk-pikuk. Aku tahu dia akan sembuh, karena dia adalah Iliana, putriku. Tapi, tetap saja, seorang bapak selalu merasa tak berdaya menghadapi sakit anaknya.


Mungkin inilah hidup, seperti timbangan yang ia pijak. Kadang berat, kadang ringan. Tapi selama Iliana masih tersenyum kecil, aku tahu semuanya akan baik-baik saja.


Barangkali memang aku menjadi orang yang paling menyebalkan di kantor hari ini. Aku menjawab pertanyaan seadanya, menatap orang dengan kosong, dan menghela napas lebih banyak daripada bicara. Ada yang melontarkan gurauan, aku hanya membalas dengan senyum hambar. Barangkali mereka mengira aku sedang lelah, atau sedang kesal dengan pekerjaan, tapi sebenarnya pikiranku sama sekali tidak di sana. Aku sedang berada di klinik, duduk di sebelah Iliana, menggenggam tangannya yang kecil, atau setidaknya, itulah yang ingin kulakukan.


Pagi tadi, aku sempat memeluknya sebelum berangkat. Tubuhnya hangat, terlalu hangat untuk ukuran anak-anak. Ia masih tertidur pulas.


Mungkin Nana lebih tegar dariku hari ini. Dia yang menghadapi segala macam prosedur klinik, menggendong Iliana dengan sabar, menenangkan tangisnya jika suntikan diperlukan. Sementara aku? Aku hanya duduk di belakang meja, merasa tak berguna. Aku membayangkan Nana menunggu antrean dengan Iliana di pangkuannya, mungkin sambil mendengar tangis anak-anak lain di klinik itu. Apa yang bisa kulakukan selain menanti kabar dari pesan singkat yang entah kapan akan masuk?


Hidup ini, kadang terasa begitu ganjil. Kamu bisa merasa seperti pemimpi di kantor, memegang kendali atas banyak hal, tetapi sekaligus begitu kecil di hadapan satu hal sederhana: seorang anak yang sedang sakit. Dan barangkali, di situlah aku belajar lagi. Bahwa cinta seorang bapak tak pernah selesai diungkapkan dengan kata-kata. Bahwa aku bisa saja menjadi orang yang menyebalkan hari ini, tetapi itu semua karena separuh hatiku tertinggal bersama Iliana di klinik itu.