Ayam jantan di sebelah rumah berkokok keras pagi ini, suaranya memecah sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Aku terbangun perlahan, mencoba menyusun kesadaran sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Di sampingku, Iliana sudah mulai menggeliat, mengusap-usap matanya yang masih malas terbuka. Ia langsung bangkit dengan semangat kecilnya, meski langkahnya masih sedikit sempoyongan. “Mbah Buyut mana, Bapak?” tanyanya lirih, nyaris seperti bisikan, namun dengan nada mendesak. Iliana memang begitu, begitu membuka mata, ia selalu mencari sosok yang menjadi pusat dunianya di rumah ini: mbah buyut.
Aku mengangguk kecil, membiarkan Iliana menyeret langkahnya keluar kamar, langsung menuju ruang tengah tempat mbah buyut biasa duduk di pagi hari. Dari balik pintu, kudengar suara riang Iliana dan tawa lembut mbah buyut menyambut kehadirannya. Aku tersenyum sendiri, membiarkan momen itu berlangsung sementara aku bersiap untuk hari ini.
Kami memutuskan untuk menghabiskan hari ini dengan berjalan-jalan ke Banjarnegara. Pukul sebelas siang, setelah sarapan sederhana yang dibuat Nana, kami bertiga sudah siap berangkat. Udara pagi terasa segar, dengan aroma embun dan daun yang masih basah. Mobil melaju perlahan melewati jalan-jalan desa yang masih sepi. Di kiri dan kanan, hamparan sawah terbentang luas, hijau memanjakan mata. Pemandangan ini membuat Nana, yang duduk di kursi depan, berseru kecil, “Coba kemarin kita bawa sepeda, ya. Pasti enak banget sepedaan di sini. Bayangin aja, kita bersepeda di tengah sawah kayak gini.” Aku hanya tersenyum, membayangkan gambaran sederhana itu—sesuatu yang akan menjadi kebahagiaan kecil yang begitu murni.
Sementara itu, Iliana yang duduk di kursi belakang mulai menguap lebar. Semilir angin membuat matanya berat. Tak butuh waktu lama, ia tertidur, napasnya teratur, tenang. Kami terus melaju, melewati jalan berliku yang dikelilingi pepohonan rindang. Suasana di sini benar-benar membuat kami merasa jauh dari keramaian kota.
Setelah satu jam perjalanan, kami tiba di pusat kota Banjarnegara. Suara bising pasar dan hiruk-pikuk kendaraan menyambut kami. Iliana masih terlelap, wajahnya damai, seperti tak terpengaruh oleh kegaduhan di luar. Kami berhenti di sebuah tempat bernama Gerai Jajan Mbanjar dan Sop Snerek “Mba Upi”. Nana turun membeli beberapa camilan khas yang katanya wajib dicoba jika berkunjung ke Banjarnegara. Aroma makanan yang ia bawa kembali ke mobil langsung menggoda perutku.
Tak puas dengan itu, kami juga mampir ke penjual Dawet Ayu Asli Hj. Munardjo. Aku tak bisa menahan rasa penasaran, mengingat nama besar dawet ini yang legendaris sejak tahun 1938. Ketika menyesap segarnya Dawet Ayu di dalam mobil, aku hanya bisa mengangguk puas, mengakui bahwa reputasi itu memang pantas disematkan.
Kami melanjutkan perjalanan, melewati KP2KP Banjarnegara, lalu pasar kota yang tampak riuh dengan segala kesibukannya. Penjual buah, ikan, dan sayuran memanggil-manggil para pembeli, sementara mobil dan motor berseliweran tanpa henti. Lalu kami bergegas, tujuan kami adalah Waduk Mrica, tempat yang konon masih asri dan menenangkan.
Perjalanan menuju Waduk Mrica cukup menantang. Jalan yang kami lalui mulai rusak di beberapa bagian, dengan lubang-lubang yang memaksa kami memperlambat laju mobil. Ketika akhirnya sampai, Iliana terbangun dari tidurnya. Ia tampak penasaran, menatap sekeliling dengan matanya yang besar. Tempat ini begitu tenang, pohon-pohon besar berdiri kokoh di sekeliling waduk, memberi keteduhan yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Kami turun dari mobil dan mulai menuruni anak tangga yang mengarah ke tepi waduk. Nana berjalan duluan dengan langkah hati-hati, sementara aku menggendong Iliana. Kakiku sedikit tertatih karena mata ikan yang sedang meradang, tapi Iliana tampak senang berada di gendonganku, seperti merasa aman, ia berteriak “cepat bapak, cepat”.
Di tepi waduk, kami duduk. Angin sepoi-sepoi meniup rambut Iliana yang pendek, membuatnya tertawa kecil. Ia bernyanyi pelan, menggandeng tanganku dan tangan Nana. Tak jauh dari kami, beberapa pemancing tampak tenang di atas perahu bambu mereka, seperti patung yang nyaris tak bergerak. Suasana di sini begitu damai, meski diiringi kesedihan kecil di hatiku karena tempat ini terlihat kurang terawat. Andai pemerintah lebih peduli, tempat seindah ini bisa menjadi destinasi yang lebih menarik.
Iliana bermain dengan kacang yang ia bawa, menjatuhkannya ke tanah tanpa sengaja. Dalam hitungan detik, semut-semut kecil mulai berdatangan. Ia mengamati semut-semut itu dengan mata penasaran, bertanya, “Bapak, kacangnya dimakan semut?” Aku menjelaskan dengan sederhana, dan Iliana mengangguk, meski mungkin tidak sepenuhnya mengerti. Sementara itu, aku menikmati cilok yang tadi kubeli di kota, sementara Nana memperhatikan para pemancing dari jauh.
Saat kami memutuskan untuk kembali ke mobil, perjalanan naik tangga menjadi pengalaman yang berbeda. Nana terkejut saat melihat seekor luwing besar melintas, lalu berteriak kecil lagi ketika seekor kodok besar muncul entah dari mana. Aku hanya bisa tertawa, meski sedikit kewalahan dengan Iliana yang tak berhenti berlari - lari.
Sore harinya, setelah tiba di rumah, Iliana langsung terbangun dengan semangat saat mendengar suara klakson telolet. Ia berjoget dengan gerakan yang tak beraturan tapi penuh kegembiraan. Sore itu dihabiskannya dengan memberi makan ikan di kolam kecil di halaman.
Namun malam itu, ketika semua sudah terlelap, tangisan Iliana membangunkan kami. Ia mengeluh sakit di gusinya, mungkin karena giginya sedang tumbuh. Nana langsung memeluknya, sementara aku menepuk-nepuk punggungnya perlahan, mencoba menenangkannya. Dalam keheningan malam yang terasa panjang, aku menyadari bahwa setiap hari bersama mereka adalah anugerah. Meski sederhana, kebahagiaan kecil kami adalah cerita yang tak akan pernah pudar dari ingatan.