Pagi itu, matahari sudah tinggi saat aku terbangun. Alarm di ponselku entah kenapa tak berbunyi, atau mungkin aku yang terlalu lelap hingga tak mendengarnya. Aku terjaga dalam kebingungan, menatap langit-langit kamar seperti seorang filsuf yang baru saja mendapat wahyu. Tapi tak ada wahyu di sana. Hanya kesadaran yang perlahan masuk, menyeretku ke kenyataan bahwa hari ini adalah hari pertama kerja setelah libur panjang!
Aku meloncat dari tempat tidur dengan semangat yang berbanding terbalik dengan keinginanku untuk tetap bergelung di bawah selimut. Sarapan? Mustahil! Bahkan teh manis yang biasanya menjadi ritual suci di pagi hari pun terpaksa diabaikan. Aku melesat keluar rumah, menunggangi sepeda. Roda-rodanya mengeluh saat aku mengayuh dengan kecepatan yang tak manusiawi, seolah-olah aku ini peserta Tour de France yang telat datang ke garis start.
Setibanya di kantor, suasana tak jauh berbeda dengan kiamat kecil. Tumpukan tugas menyambutku dengan tatapan sinis, komputer menampilkan angka-angka yang melompat-lompat seperti anak-anak kecil yang terlalu banyak makan permen. Dan email! Ah, email-email itu! Seperti para kreditur yang menagih janji, mereka berbaris rapi, menunggu untuk dibuka dan direspons.
Hari pertama ini, aku pikir, adalah ujian ketahanan tubuh dan mental yang sesungguhnya. Aku bertahan seperti seorang prajurit di medan perang, tapi tidak sendirian. Ulung, dengan kesabaran malaikatnya, membantu berbagai hal yang seharusnya sudah kuurus sejak pagi. Ginanjar, entah karena terlalu baik atau terlalu kasihan padaku, menjawab seribu pertanyaanku tanpa sekalipun mengeluh. Iqlima, dengan cerita-ceritanya tentang kantor lama dan daerah sekitar, menjadi semacam nostalgia di tengah kesibukan yang nyaris membuat otakku meleleh.
Menjelang sore, saat langit mulai berwarna jingga seperti lukisan maestro, aku tahu ini saatnya pulang. Aku kembali menunggangi sepeda, menyusuri jalanan yang penuh dengan kendaraan yang saling mendahului, sementara aroma gorengan bercampur dengan asap knalpot membentuk semacam parfum khas kota. Lelah? Tentu. Tapi ada sesuatu yang selalu membuat perjalanan pulang terasa lebih ringan: rumah.
Dan benar saja, begitu aku tiba, suara kecil itu menyambutku.
“Bapak pulang!”
Iliana berlari kecil ke arahku, matanya berbinar seperti dua bintang kecil yang menggantung di langit malam. Tangan mungilnya terulur, dan dalam sekejap, semua letih yang menggantung di pundakku runtuh begitu saja. Ajaib. Hanya dengan pelukan seorang anak, dunia yang tadinya terasa berat mendadak menjadi lebih ringan.
Saat malam menjelang, aku duduk di ruang tamu, menikmati segelas air putih yang akhirnya sempat kuminum hari ini. Tapi sebelum aku bisa benar-benar tenggelam dalam ketenangan, sesuatu terjadi.
Seekor kucing berbulu hitam menyelinap masuk ke rumah.
Iliana, yang sedang asyik bermain di lantai, langsung berseru riang, “Bapak! Kucing!”
Kucing itu menatap kami dengan mata penuh rahasia. Dari mana dia datang? Siapa pemiliknya? Kenapa dia memilih rumah kami? Aku tak tahu. Yang aku tahu, Iliana sudah jatuh cinta pada makhluk mungil itu. Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan, membelai kepalanya dengan kelembutan seorang sahabat lama yang baru bertemu kembali. Kucing itu tampak betah, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin pergi.
Mungkin dia hanya mampir sebentar. Mungkin dia mencari tempat yang hangat untuk beristirahat. Atau mungkin—dan aku menyukai pikiran ini—dia datang untuk membawa kebahagiaan kecil bagi seorang gadis kecil yang sangat menyukai kucing.
Malam itu, rumah kami terasa lebih hangat dari biasanya. Aku bersandar di sofa, menatap Iliana yang masih berceloteh riang, dan merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Hari pertama kerja setelah libur panjang memang melelahkan, tapi di penghujung hari, aku selalu punya sesuatu yang membuat semua lelah itu terasa sepadan.