Malam ini, hujan turun pelan di Surakarta. Dingin merayap perlahan, membelai dedaunan yang basah dan aspal yang memantulkan cahaya lampu jalan. Aku, Nana, dan Iliana berjalan - jalan menuju tempat yang tepat untuk makan malam. Udara membawa aroma tanah basah, berpadu dengan bau gorengan dari pedagang kaki lima yang masih bertahan di sudut jalan. Di tengah gemerlap lampu kendaraan yang melaju pelan, kami sampai di kedai kecil bernama We Cook Noodles and Wings.
Begitu melangkah masuk, suasana hangat langsung menyambut. Lampu-lampu kuning temaram menggantung rendah, memberikan rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Aroma kaldu mengepul dari dapur terbuka, bercampur dengan wangi pangsit kukus dan kecap asin. Suara sumpit beradu dengan mangkuk, tawa kecil dari pengunjung yang tenggelam dalam obrolan, serta denting sendok yang perlahan menyentuh meja kayu menambah keintiman suasana.
Di meja kami, dua mangkuk mie tersaji, masing-masing dengan karakter yang berbeda. Chunmie sapi yang kupesan hadir dengan helai mie tipis yang berkilauan dalam balutan minyak wijen, ditaburi daging sapi cincang yang harum dan sedikit renyah di bagian tepinya. Selembar pangsit rebus terlipat rapi di tepi mangkuk, setia menunggu untuk disantap. Kuah kaldu kecil berwarna keemasan menemani, aromanya halus tetapi pekat dengan jejak rempah-rempah.
Di seberang, di hadapan Nana, semangkuk mie kuah laksa oriental creamy mengepul hangat. Kuahnya kental, berwarna oranye keemasan dengan jejak santan dan kaldu laut yang kaya rasa. Aroma daun jeruk dan serai menguar pelan, bercampur dengan wangi ebi yang lembut. Di atasnya, potongan ayam dan udang tersusun rapi, tenggelam sedikit dalam kuah yang menggoda.
Di samping mangkuk-mangkuk itu, sebuah kukusan bambu berisi empat butir siomay tersaji untuk Iliana. Permukaannya lembut berkilau, uapnya masih mengepul samar. Di sisi lain, dua gelas minuman berdiri berdampingan—lemon dingin dengan warna kuning jernih, dan teh tarik yang pucat tetapi pekat, berlapis es batu yang perlahan meleleh.
Mie diangkat perlahan dengan sumpit, helainya panjang, seakan melambangkan doa yang dirajut tanpa putus. Dalam filsafat Tiongkok, mie bukan sekadar makanan; ia adalah simbol umur panjang, harapan, dan kesinambungan hidup. Setiap helai yang masuk ke dalam mulut membawa cerita yang berbeda, seakan menyeret ingatan pada perjalanan panjang yang telah dilalui.
Hujan di luar semakin pelan, menyisakan titik-titik kecil di kaca jendela. Suasana kedai tetap ramai, tetapi di meja ini, waktu terasa lebih lambat. Suara sendok beradu dengan mangkuk, kepulan uap dari makanan yang tersisa, dan tatapan mata yang bertemu dalam kehangatan—semuanya membentuk satu kesatuan.
Perlahan, isi mangkuk semakin berkurang. Kuah yang tersisa diaduk pelan, menyisakan aroma yang melekat di udara. Rasa puas perlahan menjalar, bukan hanya karena perut yang terisi, tetapi karena kebersamaan yang terasa lebih utuh.
Saat kami melangkah keluar, udara malam terasa lebih bersih. Hujan telah berhenti, menyisakan aroma basah yang bercampur dengan angin malam yang sejuk. Jalanan yang tadinya ramai kini lebih lengang, hanya sesekali dilewati kendaraan yang melaju pelan. Di bawah langit yang masih kelabu, kami berjalan berdampingan, membawa pulang sesuatu yang lebih dari sekadar kenyang—mungkin doa, mungkin kebersamaan, atau mungkin hanya perasaan bahwa malam ini adalah bagian dari cerita panjang yang terus berlanjut, seperti helai mie yang tak pernah terputus.