Hari Terakhir di Banjarnegara

mHari itu, matahari sudah tinggi ketika aku dan Nana akhirnya menyerah pada panggilan dunia. Iliana, gadis kecil dengan semangat yang tak kenal lelah, sudah sejak tadi berusaha membangunkan kami. Pagi baginya adalah medan petualangan, sedangkan bagi kami, pagi adalah kemewahan yang ingin dinikmati lebih lama. Tapi tak bisa, hari ini adalah hari terakhir kami di Banjarnegara.

Begitu kaki menginjak lantai, rutinitas pulang pun dimulai. Mengemasi barang, memastikan tak ada yang tertinggal, berpamitan dengan Mbah Buyut yang menyelipkan doa-doa panjang dalam genggaman tangan kami. Iliana, dengan keceriaan khasnya, melambaikan tangan kecilnya sambil melompat-lompat.

Di mobil, Iliana duduk di kursi belakang. Aku dan Nana di depan, berdua, dalam diam yang sesekali dipecah oleh celotehan kecil putri kami yang menyanyikan lagu-lagu yang hanya dia sendiri yang tahu liriknya. Hujan gerimis turun rintik-rintik, tapi hanya sebentar, seperti salam perpisahan dari Banjarnegara.

Kami mampir membeli Rocket Chicken karena perut kami belum sempat diisi. Iliana makan dengan lahap, sesekali membagikan sepotong ayamnya pada Nana. Perjalanan berlanjut. Kami melewati hamparan hijau, tanah yang bernafas, sawah-sawah yang menggeliat di bawah matahari yang mulai tinggi. Di kejauhan, para pedagang durian bawor berbaris rapi, menawarkan buah yang menguar aroma tajam dan menggoda.

Tiba-tiba, sesuatu mengusik kesadaranku. “Lho, kok Cilacap?” Aku segera membuka peta, memastikan jalur. Memang benar, kami telah memasuki wilayah Cilacap bagian timur. Jalanan berkelok naik turun, dihiasi rimbunan pepohonan yang seperti ingin menutupi langit.

Akhirnya, kami sampai di Pantai Menganti. Laut membentang luas, biru yang tak terlukiskan, seolah mengundang kami untuk melupakan segala beban dunia. Kami membeli ikan bakar dan degan, duduk menikmati angin yang berlarian membawa aroma asin. Iliana berlarian di pasir, tawanya lepas, matanya berbinar melihat kelomang-kelomang kecil yang dijual. Dia memilih dua, membawanya dalam genggaman plastik, memberinya nama, dan berjanji akan merawatnya seperti harta karun.

Kami lalu naik pick-up ke Bukit Menganti. Angin semakin kencang, tapi Iliana tetap dalam pelukanku, tertawa-tawa saat mobil bak terbuka itu melaju menanjak. Dari atas bukit, laut terbentang lebih luas, dunia terasa lebih kecil. Kami berfoto, mengabadikan kebahagiaan yang entah kapan bisa terulang kembali.

Saat menuruni anak tangga, Iliana kugendong. Kaki-kakinya kecil, tapi semangatnya besar. Kami kembali ke bawah dengan pick-up yang sama, lalu bersiap pulang. Tapi, saat itulah kesadaran menampar kami.

“Mainan Iliana!”

Seperti ada yang runtuh. Mainan kesayangan Iliana hilang. Kami mencoba mengingat-ingat di mana terakhir kali melihatnya. Dengan sedikit harap-harap cemas, kami kembali menyusuri tempat-tempat yang tadi kami kunjungi. Hingga akhirnya, di warung ikan bakar dan degan, seorang ibu penjual menyambut kami dengan senyum hangat, menyerahkan mainan itu seolah sedang mengembalikan bagian kecil dari dunia Iliana yang sempat hilang.

Kami pulang lewat Jalan Daendels. Jalanan panjang, sunyi, diapit pepohonan dan langit yang mulai meremang. Kami mampir di Cokelat Monggo di Tirtodipuran Yogyakarta, menikmati manisnya malam yang mulai beranjak. Makan malam kami habiskan di Warung Bakmi Jowo Mbah Gito. Ada patung topeng di sana, menyeramkan. Aku dan Iliana berfoto bersama, tapi aku bisa merasakan jemari kecilnya menggenggam bajuku lebih erat.

Di perjalanan pulang, Iliana tertidur. Lelah, tapi bahagia. Aku mampir sebentar di Gonilan, Kartasura, membeli es teh yang konon terenak sedunia, namanya 4 Teh. Malam semakin larut saat akhirnya kami sampai rumah. Iliana terbangun sejenak, cukup untuk bercanda sebelum akhirnya menyerah pada kantuknya yang tersisa.

Di kamar, aku menatapnya tidur, menyadari bahwa di antara segala perjalanan ini, suara tawanya adalah yang paling berharga.