Hujan setelah Kepergian

Siang itu, matahari menyala garang di langit yang tak berawan. Daun-daun di pohon nangka tua bergeming, seolah ikut menahan napas dalam keheningan yang meliputi halaman rumah. Di bawahnya, orang-orang duduk berjejer, sebagian berbicara dalam bisik-bisik, sebagian lagi memilih diam, larut dalam pikiran masing-masing.

Di ambang pintu, Mbak Fitri duduk bersimpuh. Wajahnya kuyu, matanya sembab, tetapi air matanya telah kering. Sejak pagi, ia tak banyak bicara, hanya mengangguk dan tersenyum tipis setiap kali seseorang datang mengucapkan belasungkawa. Di belakangnya, kain hijau yang menutupi jenazah Lek Syafak terlihat bergetar halus, seolah masih menyimpan sisa-sisa napasnya yang kini telah pergi entah ke mana.

Aku berdiri di sudut halaman, menyandarkan tubuh pada batang pohon yang kasar. Dari sini, aku melihat Ibu duduk di dekat jenazah adiknya, menggenggam ujung kain kafan dengan jemari yang gemetar. Sementara itu, suara dari dalam rumah terdengar lirih, seorang perempuan sedang melantunkan ayat-ayat suci dengan suara serak yang menggetarkan.

Lalu, saat matahari tepat di atas kepala, semua orang bangkit berdiri.

Jenazah Lek Syafak diangkat perlahan, dibawa keluar rumah yang telah ia tinggali sepanjang hidupnya. Beberapa pria muda dengan sarung tergulung rapi bersiap di sekitar keranda, sementara orang-orang tua berjalan di belakangnya, melangkah dengan irama yang pelan, seolah setiap langkah adalah perpisahan yang berat.

Lalu, setelah doa terakhir selesai, hujan turun.

Mula-mula rintik kecil, pelan dan lembut, seperti tangan yang menepuk-nepuk bahu kami dengan penuh kasih. Lalu, tanpa aba-aba, hujan berubah deras, membasahi tanah.

Aku menatap langit, merasakan air hujan mengalir di pipi, bercampur dengan sesuatu yang mungkin bukan hanya air hujan.

Aku tahu, hujan ini akan membawa kepergian Lek Syafak semakin jauh. Tapi aku juga tahu, ia tidak benar-benar pergi. Ia tetap ada, di doa Mbak Fitri, di cerita yang akan terus kami kenang, dan di dalam setiap rintik hujan yang jatuh di atas tanah itu.

Aku duduk di teras, menatap titik-titik air yang jatuh di halaman, dan entah bagaimana pikiranku melayang ke bulan Agustus tahun lalu.

Malam itu, kami berkumpul di rumah Lek Syafak. Ada kehangatan yang khas di rumah itu, yang tak pernah berubah sejak aku kecil. Karpet yang setia membentang di ruang tamu, suara tawa yang bergema di dinding kayu, dan aroma masakan yang selalu membuat perut lapar sebelum waktunya.

Iliana, masih kecil dan polos, duduk di pangkuan Lek Syafak. Tangannya yang mungil mencengkeram baju koko Lek Syafak, sementara ia mengunyah rempeyek yang diberikan dengan penuh kasih. Lek Syafak tertawa, mengusap kepala Iliana, sesekali menggoda dengan suara beratnya yang khas.

Di sekeliling kami, Mbak Fitri duduk bersandar di dinding, tersenyum melihat kebersamaan ini. Aku dan yang lain duduk bersila, menikmati hidangan sederhana yang tersaji di hadapan kami. Ada gorengan hangat, oseng mercon kesukaan Lek Syafak, dan teh manis yang mengepul dalam gelas kaca.

Kami berbincang tentang banyak hal—tentang masa kecil kami, tentang kolam di belakang rumah yang dulu menjadi tempat bermain, tentang kejadian-kejadian lucu yang masih terus kami ingat meski waktu telah berlalu. Lek Syafak, seperti biasa, menjadi pusat cerita. Ia selalu punya kisah untuk diceritakan, dengan gaya bicara yang tenang namun penuh humor.

Aku ingat bagaimana malam itu kami tak ingin cepat berlalu. Kami ingin duduk lebih lama, ingin berbicara lebih lama, ingin menikmati waktu lebih lama. Tapi siapa sangka, malam itu menjadi salah satu pertemuan terakhir kami di rumah itu dengan Lek Syafak yang masih sehat, dengan tawanya yang renyah, dengan tatapan penuh kasihnya kepada kami semua.

Hari ini, rumah itu mungkin masih berdiri, tetapi kehangatan yang dulu mengisi setiap sudutnya kini terasa berbeda. Aku menyesap teh yang mulai dingin di cangkirku, sementara hujan masih turun dengan pelan. Di sudut hatiku, ada kerinduan yang tak akan pernah bisa terobati.

Lek Syafak telah pergi, tapi kenangan itu akan tetap ada, mengalir dalam setiap rintik hujan, dalam tawa Iliana, dan dalam cerita-cerita yang akan selalu kami kenang.

Semasa hidupnya, Lek Syafak adalah sosok yang penuh semangat. Sejak muda, ia selalu menjadi orang pertama yang menawarkan bantuan, orang pertama yang datang ketika ada hajatan keluarga, dan orang terakhir yang pulang setelah memastikan segalanya beres. Tidak ada yang bisa menyangkal betapa besar hatinya, betapa tulus setiap perbuatannya.

Ia adalah pria yang murah senyum. Bahkan dalam keadaan sulit, wajahnya jarang sekali kehilangan keceriaan. Seakan-akan, di dunia ini tidak ada kesedihan yang terlalu berat baginya. Tuhan tidak tidur. Itu adalah prinsip yang dipegangnya erat, yang membuatnya terus maju tanpa takut jatuh.

Begitulah Lek Syafak, selalu mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil, selalu menularkan keceriaan kepada orang-orang di sekitarnya.

Bahkan di hari-hari terakhirnya, ia tetap menjaga semangat itu. Ia masih bercanda, masih tertawa, seakan-akan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hingga akhirnya, Tuhan memanggilnya pulang, dan untuk pertama kalinya, kami melihat rumah yang biasanya penuh tawa itu menjadi begitu sunyi.

Hari ini, hujan turun, membasahi jalanan, meresap ke tanah tempat ia kini beristirahat. Seakan-akan langit pun ingin mengenangnya, merindukannya, sama seperti kami semua yang ditinggalkannya. Tapi aku tahu, selama cerita tentangnya masih kami kisahkan, selama tawa dan semangatnya masih kami ingat, Lek Syafak tidak benar-benar pergi. Ia tetap hidup, dalam kenangan, dalam setiap doa, dalam setiap senyuman yang kami bagikan satu sama lain.