Malam jatuh di Colomadu, tapi bukan malam yang pekat, bukan malam yang malas. Ini malam yang berdenyut, malam yang punya urusan dengan seorang anak kecil yang sedang menggelar konser solonya di sudut rumah. Iliana, dengan tangan mungilnya, duduk tegak di depan piano. Di kepalanya yang sedikit miring, pita merah muda bertengger miring, seakan ikut bingung dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Jari-jarinya terangkat, lalu mendarat dengan sembrono—atau barangkali, dengan sebuah keyakinan yang hanya dimiliki oleh mereka yang belum diracuni aturan. Nada pertama jatuh ke udara, bukan dengan keanggunan Bach, bukan dengan kepatuhan Mozart, tetapi dengan keberanian seorang bocah yang belum percaya bahwa dunia ini punya konsep “salah” dan “benar.”
Tuts-tuts itu, hitam dan putih, seharusnya mengikuti aturan. Seharusnya membentuk harmoni. Seharusnya, jika dimainkan dengan benar, akan menciptakan sebuah melodi yang sudah dipetakan berabad-abad lalu oleh para komposer yang merasa diri mereka jenius. Tapi Iliana tidak peduli. Ia menekan tuts dengan kebebasan penuh, seperti seorang pemikir kritis yang menolak tunduk pada narasi besar sejarah musik.
Di sudut ruangan, aku menyaksikan dengan tenang, senyumku tipis, tapi mataku penuh arti. Ada sesuatu yang menggelitik di sana—campuran antara bangga dan geli. Musik yang diciptakan Iliana bukan sekadar serangkaian nada. Ini adalah sebuah gugatan. Gugatan terhadap sistem. Terhadap keteraturan yang membosankan. Terhadap dunia yang terlalu terobsesi dengan simetri dan harmoni.
Nada-nada yang lahir dari jari-jarinya tidak sempurna, tapi siapa yang bisa mendebat bahwa seni harus sempurna? Musik ini bukan musik yang akan diputar di gedung konser, bukan yang akan dikritisi oleh akademisi musik dengan gelar panjang di belakang namanya. Tapi ini adalah musik yang paling jujur. Musik yang lahir dari seorang anak kecil yang melihat piano bukan sebagai alat musik, tapi sebagai ladang eksperimen.
Iliana tertawa kecil, tangannya terus bergerak, menekan tuts dengan semangat. Setiap nada yang dihasilkan seperti sebuah manifesto kebebasan. Setiap irama yang tidak beraturan adalah bentuk perlawanan terhadap dunia yang terlalu berusaha tertata.
Dan aku tahu, dalam setiap nada yang dimainkan malam itu, ada pesan yang hanya bisa dipahami oleh hati seorang bapak. Bahwa di dalam anak kecilku, ada semangat yang tidak bisa dikekang. Ada simfoni yang tidak bisa dijinakkan. Ada musik yang lahir bukan untuk tunduk, tetapi untuk menggugat.
Iliana tidak sedang memainkan piano. Ia sedang merancang revolusi kecilnya sendiri.
Aku masih duduk di sudut ruangan, memperhatikan Iliana yang terus menekan tuts-tuts piano dengan seenaknya, seperti seorang komposer liar yang menciptakan musik tanpa peduli pada aturan nada. Semakin lama kudengar, semakin aku yakin—ini bukan sekadar permainan anak kecil. Ini adalah sebuah pemberontakan.
Dan di luar sana, di dunia yang lebih luas, ada musisi lain. Sukatani baru saja merilis lagu Bayar, Bayar, Bayar, sebuah lagu yang memukul telak wajah-wajah yang terlalu lama bersolek dengan uang haram. Album Gelap Gempita yang mereka usung bukan sekadar kumpulan lagu, tetapi sebuah manifestasi kegelisahan zaman. Liriknya tajam, berani, penuh amarah, seperti jeritan seseorang yang terlalu sering dipaksa membayar sesuatu yang seharusnya gratis.
Di media sosial, perdebatan berkecamuk. Ada yang membela Sukatani, ada yang mengecam. Ada yang menyebut mereka pahlawan, ada yang menyebut mereka sekadar pencari sensasi. Aku? tentu saja bersama Sukatani. Tapi bukankah setiap revolusi selalu berawal dari mereka yang dianggap terlalu berisik?
Aku memandangi Iliana, yang masih sibuk dengan pianonya. Suara-suara yang dihasilkan berloncatan, berantakan, tapi di dalamnya ada keberanian yang hanya dimiliki oleh anak-anak—keberanian untuk bermain tanpa takut salah, untuk menekan tuts tanpa memikirkan konsekuensi. Dalam caranya sendiri, Iliana seperti sedang menggubah versinya sendiri dari Bayar, Bayar, Bayar—sebuah simfoni kecil yang juga menolak tunduk.
Aku tersenyum sendiri. Mungkin inilah cara dunia bekerja. Selalu ada yang harus menggugat. Selalu ada yang harus berteriak. Dan entah itu lewat musik cadas Sukatani atau lewat tuts-tuts piano yang dimainkan sembarangan oleh seorang bocah, dunia ini harus terus diingatkan bahwa tidak semua orang bisa dibungkam.