Bus Trans Jateng sore itu penuh sesak. Aku berdiri, Nana dan Iliana berdesakan di kursi panjang yang menghadap jendela, berbagi ruang dengan penumpang lain yang entah sudah berapa lama menunggu bus ini datang. Aroma khas kendaraan umum menyelimuti kami: bau kursi kulit sintetis yang sudah aus, keringat orang-orang yang lelah setelah seharian bekerja, dan sedikit jejak parfum murahan yang samar-samar tersapu angin dari jendela yang terbuka separuh.
Iliana duduk di pangkuan Nana, jaket ungunya tampak sedikit
kusut setelah perjalanan panjang kami hari itu. Tangan kecilnya menggenggam
ujung jilbab ibunya, sementara matanya yang bulat mengamati dunia di luar
jendela dengan penuh rasa ingin tahu. Di luar, jalanan Surakarta tampak sibuk
seperti biasa—motor-motor melesat cepat, pejalan kaki tergesa-gesa menyeberang
dengan harapan tak terserempet kendaraan, dan pedagang kaki lima berdiri dengan
mata tajam, mengawasi lapak dagangan mereka.
Aku memperhatikan Nana, wajahnya setengah tersembunyi di
balik masker yang masih ia pakai dengan disiplin. Ia tampak tenang, tapi aku
tahu, di balik ketenangan itu, pikirannya selalu terisi oleh Iliana, oleh rumah
kami di Colomadu, oleh hal-hal kecil yang sering tak kupikirkan—apakah Iliana
sudah cukup kenyang, apakah baju-baju yang dijemur kemarin pagi akan keburu kering sebelum
malam, apakah besok ada cukup stok telur di dapur. Aku tersenyum kecil, betapa
luar biasanya Nana.
Sementara itu, bus terus berjalan, menggoyang-goyangkan
tubuh kami dengan ritme yang hanya bisa ditemukan dalam kendaraan umum. Seorang
ibu tua di seberang kami berusaha menggeser barang bawaannya yang terlalu
besar, sementara seorang bapak dengan jaket lusuh menatap kosong ke luar
jendela. Ada anak-anak sekolah yang masih mengenakan seragam, mereka duduk di sudut
belakang, cekikikan sambil sesekali melirik ponsel mereka. Ada pula seorang
pria muda dengan earphone menempel di telinganya, matanya terlihat berat
menahan kantuk.
Aku menarik napas panjang, mencoba menikmati perjalanan ini.
Bus umum selalu punya cara sendiri untuk membawa kita masuk ke dalam kehidupan
orang-orang lain, bahkan hanya untuk sekejap. Mungkin ibu tua itu baru saja
menjenguk cucunya, mungkin bapak berjaket lusuh itu sedang berpikir tentang
besok—tentang apakah ia masih punya cukup uang untuk makan, atau apakah
pekerjaannya masih akan ada minggu depan.
Di sudut mataku, Iliana mulai menguap. Matanya masih mencoba
bertahan, tapi kelopak itu semakin berat. Kepalanya bersandar di bahu Nana, dan
perlahan-lahan, tubuh kecil itu menyerah pada kantuk.
Saat bus mulai memasuki daerah Balaikota, aku menoleh ke luar jendela.
Langit sudah berubah warna, jingga bercampur ungu, sebuah kanvas yang hanya
bisa dilukis oleh senja di kota ini. Aku menggenggam tangan Nana, menatapnya
sebentar, lalu tersenyum.
Pulang selalu punya caranya sendiri untuk terasa istimewa. Di dalam bus yang berguncang,
di tengah penumpang yang membawa kisahnya masing-masing, di antara kepulan debu
dan suara klakson yang saling bersahutan.
Colomadu sudah dekat. Perjalanan ini akan segera berakhir.
Tapi seperti biasa, aku tahu, kebahagiaan sederhana selalu ada di sini—bersama
mereka, dalam perjalanan pulang.
Bus Trans Jateng melaju perlahan, menembus denyut Surakarta
yang sibuk. Aku duduk di samping Nana, yang masih setia menggendong Iliana.
Gadis kecil itu tampak lesu, matanya mengerjap-ngerjap menahan kantuk.
Kepalanya bersandar di bahu ibunya, tangannya mencengkeram ujung jilbab Nana
dengan jemari mungilnya.
Di luar jendela, kota bergerak cepat. Angkot tua dengan
suara knalpot berisik menyelip di antara kendaraan, sementara para pengendara
motor berseliweran seperti kawanan ikan di lautan lalu lintas. Langit mulai
temaram, menebarkan semburat jingga keunguan di antara gedung-gedung tua yang
berdiri seperti saksi bisu waktu.
Aku menarik napas panjang, membaui aroma khas dalam bus:
perpaduan AC yang terlalu dingin, parfum penumpang yang bercampur-campur, dan
samar-samar bau plastik dari tas belanjaan seseorang. Aku melirik Iliana.
Matanya mulai terpejam, tetapi hanya sesaat. Ia membuka mata lagi, memandangku
seolah menuntut penjelasan mengapa kami masih berada di jalan, bukannya sudah
pulang dan membaringkannya di kasur empuknya.
Ketika bus berhenti di Halte Balai Kota, aku dan Nana segera
turun, menyesuaikan langkah dengan ritme Iliana yang mulai gelisah. Kami
berdiri sejenak di tepi halte, menunggu Batik Solo Trans yang akan membawa kami
ke arah Stasiun Purwosari.
Batik Solo Trans datang dengan kecepatan yang anggun,
meluncur di jalurnya seperti perahu yang dipandu arus tenang. Pintu otomatisnya
terbuka, dan kami melangkah masuk. Kali ini, Iliana tidak lagi diam. Ia mulai
mengamati orang-orang di sekitarnya, matanya bergerak cepat, mencari-cari
sesuatu yang menarik. Seorang anak laki-laki duduk di depan kami, bermain game
di ponselnya dengan ekspresi serius. Iliana mengamati bocah itu dengan penuh
minat, lalu tanpa malu-malu ia bersandar pada Nana, matanya masih tak lepas dari
layar ponsel anak itu.
Aku mengangguk, menyadari bahwa rasa ingin tahu Iliana
tumbuh seperti sulur tanaman yang tak kenal lelah.
Perjalanan terasa lebih singkat dari yang kukira. Stasiun
Purwosari sudah di depan mata, dan aku bergegas turun untuk mengambil motor
yang kami titipkan sejak pagi
kemarin. Nana menenangkan Iliana yang mulai merengek karena lelah,
sementara aku memastikan semua barang bawaan tetap utuh.
Motor menderu pelan saat kami meninggalkan stasiun, menuju
satu tujuan lain sebelum benar-benar pulang: makan malam, atau makan malam di sore hari.
Aku melihat Iliana, di matanya, ada sesuatu yang tak terucapkan, seperti senja yang terlalu cepat datang atau rindu yang tertahan di batas bibirnya yang sedang sariawan, dua pula. Ia menatap dunia dengan sorot mata kecilnya, penuh tanya, penuh rasa ingin tahu, seakan menggenggam rahasia semesta dalam genggaman mungilnya.
Aku memarkir motor di depan Hoka Hoka Bento. Iliana tampak sedikit lebih segar, mungkin karena tahu bahwa setelah ini ia akan mendapat sesuatu yang enak. Nana sibuk memilih menu di layar digital di dekat kasir.
Kami duduk di pojok ruangan, di bawah tangga dekat jendela yang
menghadap ke jalanan kota. Iliana duduk sendiri, tangannya sibuk mengetuk meja kecil di depannya. Menu yang kami pesan di Hoka Hoka
Bento ini terlihat lengkap dan menggugah selera. Nasi putih dalam wadah khas
HokBen. Sup miso dengan irisan daun bawang. Salad dengan dressing khas HokBen. Minuman
dingin, ocha (teh hijau), lauk yang terdiri dari daging sapi yakiniku dengan
irisan bawang dan paprika, chicken katsu, serta beberapa gorengan seperti ebi
furai dan nugget ayam, cocok untuk makan malam setelah perjalanan panjang.
Iliana langsung bersemangat. Tangannya meraih potongan kecil
nugget yang sudah dipotong Nana, dan tanpa ragu ia mulai mengunyah. Aku
tersenyum melihatnya makan dengan lahap, meskipun aku mulai menyadari
sesuatu—ia tidak banyak bicara kali
ini. Biasanya, gadis kecil itu akan berceloteh tentang apa saja yang menarik
perhatiannya, entah itu lampu restoran, poster makanan, atau orang-orang di
meja sebelah.
Aku menatap Nana, dan ia sepertinya menyadari hal yang sama.
Perjalanan pulang ke Colomadu berlangsung dalam keheningan.
Iliana bersandar Nana,
napasnya pelan dan dalam. Aku bisa merasakan hawa malam yang mulai dingin,
angin yang bertiup melewati celah jaketku, dan suara jangkrik yang mulai muncul
dari kejauhan.
Sesampainya di rumah, aku langsung membuka pintu, membiarkan
Nana membawa Iliana ke dalam. Gadis kecil itu sudah sangat mengantuk, setelah Iliana mandi, Nana
membaringkannya di tempat tidur, menyelimutinya dengan lembut, dan mengusap
kepalanya.
Tetapi Iliana tak juga bisa tidur. Ia menggeliat, mendekap mainan kecilnya, lalu tiba-tiba
mengerang pelan. Nana mengusap pipinya.
Aku menoleh, lalu mendekat untuk melihatnya. Benar saja, ada
titik kecil putih di bibir dalamnya, dua, kami ke apotek untuk membelikannya obat, Iliana tertidur di kursi
belakang mobil.
Kami mencoba menenangkannya. Aku mengusap punggungnya, tetapi Iliana
masih gelisah. Ia terbangun beberapa kali, merengek kecil, lalu kembali
terlelap hanya untuk terbangun lagi beberapa menit kemudian. Malam itu terasa
panjang.
Aku duduk di sampingnya, memandangi wajahnya yang
perlahan-lahan mulai tenang. Nana juga mulai terlelap, kelelahan setelah
seharian beraktivitas. Aku tetap terjaga sejenak, mendengar suara malam yang
perlahan menjadi sunyi.
Kuharap besok pagi Iliana sudah lebih baik. Kuharap esok
hari akan lebih ringan. Tapi bagaimanapun juga, hari ini telah memberi kami
satu lagi cerita—tentang perjalanan panjang, tawa yang sesekali muncul, makan
malam yang sederhana, dan malam yang harus kami lalui bersama, dengan segala
tantangan kecilnya.
Hidup memang begitu, pikirku. Penuh kejutan kecil yang
membuatnya semakin layak untuk dijalani.