Kereta, Steak, Senyum

Pagi itu, langit Surakarta bersih seperti cermin yang baru saja dilap. Matahari belum tinggi, masih malu-malu menyembul di antara dahan jati yang mulai menggugurkan daun. Udara pagi terasa sejuk, membawa bau aspal yang lembab dan wangi tanah yang basah setelah semalaman hujan turun perlahan seperti doa yang dijawab dengan bisikan halus dari langit.

Di Stasiun Purwosari, di antara deretan kursi panjang yang dingin, anakku Iliana, melamun di gendongan Nana. Rambutnya yang merah kecoklatan dikuncir separuh, dihiasi bando mutiara kecil yang berkilau terkena sinar matahari. Bajunya berenda ungu dengan motif bunga kecil-kecil, jaket merah muda membalut tubuh mungilnya, dan di pangkuannya tergantung tas berbentuk kelinci yang warnanya seperti pelangi.

Ia menggenggam tanganku, matanya berbinar penuh semangat. Bagi Iliana, naik kereta api bukan sesederhana perjalanan. Ini adalah petualangan. Ini adalah dongeng yang ditulis oleh roda besi di atas rel baja.

"Kereta api! Kereta api!" serunya girang, kedua kakinya yang kecil menjejak-jejak lantai peron.

Batara Kresna, kereta kecil yang menghubungkan Surakarta dan Wonogiri, akhirnya datang. Gerbongnya berwarna biru-putih, melaju perlahan seperti seorang kakek yang bangun dari tidur panjangnya. Begitu pintu terbuka, Iliana melompat masuk, menduduki kursi dekat jendela dengan senyum yang tak bisa ditahan.

Di luar, suara lonceng stasiun berbunyi nyaring, pertanda bahwa perjalanan akan segera dimulai. Roda besi mulai bergerak, perlahan, lalu semakin cepat. Angin menerobos masuk dari jendela yang sedikit terbuka, mengibaskan helaian rambut Iliana.

Ia menempelkan wajahnya ke kaca. Dunia di luar mulai berjalan mundur. Rumah-rumah kecil dengan halaman luas, deretan warung yang masih tutup, dan jalanan sempit yang berkelok seperti ular raksasa. Lalu sawah membentang, hijau seperti permadani kerajaan dalam cerita dongeng. Petani-petani kecil terlihat seperti titik-titik bergerak di kejauhan, membungkuk di antara batang padi yang merunduk berat menunggu masa panen.

Kereta melintas di atas jembatan kecil. Di bawahnya, sungai mengalir pelan, membawa potongan-potongan kayu dan daun kering yang hanyut entah ke mana. Seekor burung bangau berdiri di tepian, diam seperti patung, memperhatikan air dengan sabar, menunggu ikan yang lengah.

Suara roda besi di atas rel menciptakan irama yang khas. Tak tak tak tak tak... Iliana mendengarkan suara itu seperti seorang musisi yang sedang mendengar simfoni alam. Ia membayangkan bahwa kereta ini adalah naga besi yang sedang membawanya ke negeri jauh, negeri penuh permen dan balon warna-warni, tempat langit selalu cerah dan tidak pernah turun hujan.

Beberapa saat kemudian, kereta mulai melambat. Iliana melihat papan nama di luar jendela: Sukoharjo.

Aku menggenggam tangannya, mengajaknya berdiri. Iliana melompat turun dari kursinya, tas kecilnya bergoyang mengikuti langkahnya yang riang. Begitu kakinya menginjak peron, ia menarik napas dalam-dalam. Udara di Sukoharjo terasa berbeda. Tidak seperti di Surakarta, yang sibuk dan penuh suara, di sini lebih sepi, lebih tenang.

Ia memandang ke belakang, ke arah kereta yang masih beristirahat di jalurnya. Batara Kresna akan melanjutkan perjalanannya, meninggalkannya di sini. Tapi Iliana tahu, ia akan naik kereta itu lagi. Akan ada lebih banyak perjalanan. Lebih banyak petualangan.

Dan di suatu hari nanti, mungkin bertahun-tahun dari sekarang, Iliana akan mengenang ini semua, sawah hijau yang luas, sungai yang mengalir pelan, dan suara roda besi yang bernyanyi sepanjang perjalanan.

Ia akan mengenang bagaimana pagi itu, di atas rel yang panjang, ia pernah menjadi seorang petualang kecil, gadis dengan bando mutiara yang berangkat ke negeri dongengnya sendiri.

Sore menjelang ketika Iliana dan kami sekeluarga tiba di sebuah rumah makan terbuka, tempat menikmati hidangan bersama. Matahari mulai turun perlahan di ufuk barat, menyisakan jejak-jejak cahaya keemasan yang melukis langit di atas kota kecil ini. Iliana menggenggam tanganku erat-erat. Wajahnya masih berseri-seri setelah perjalanan panjang dengan Batara Kresna.

Rumah makan itu bernama Star Steak, sebuah tempat sederhana dengan atap besi bergaya industrial dan lampu-lampu kecil yang mulai menyala di sepanjang tiangnya. Bendera segitiga merah dan kuning tergantung di atas kepala, berkibar pelan terkena hembusan angin sore. Meja-meja kayu berjajar rapi, dihiasi dengan kertas tisu dan botol saus yang berjejer seperti prajurit di medan perang. Di dinding, sebuah mural besar menggambarkan roket yang seakan meluncur ke angkasa, dengan tulisan tebal Star Steak di sisinya.

Iliana tersenyum lebar. Bagi seorang anak kecil seusianya, tempat ini seperti negeri ajaib yang penuh kejutan. Ia bisa mendengar suara daging yang mendesis di atas panggangan, aroma saus lada hitam yang menggoda, dan tawa riang orang-orang yang berkumpul bersama keluarga mereka.

Di meja panjang yang telah disiapkan, keluarga besar telah berkumpul. Kakek duduk di ujung meja, mengenakan peci hitamnya yang sudah tua tapi tetap terlihat gagah di kepalanya. Di sebelahnya, Nenek tersenyum hangat, kerudung merah jambunya membingkai wajah teduhnya. Ada juga paman dan bibi yang berbicara dengan suara penuh semangat, anak-anak yang berlarian di sekitar meja.

Iliana duduk di pangkuan Ibu, tangannya masih sibuk memegang tas kecil warna-warni berbentuk kupu-kupu yang setia menemaninya sejak pagi. Tak lama, seorang pelayan datang dengan nampan besar berisi hidangan yang mereka pesan. Piring-piring mulai diletakkan di atas meja, asap masih mengepul dari steak yang baru diangkat dari panggangan.

"Wow!" Iliana berseru kagum. Di hadapannya, sebuah piring berisi steak ayam dengan kentang goreng dan saus yang menggoda. Mata Iliana membelalak melihat saus yang perlahan meleleh di atas daging, seperti salju yang mencair di puncak gunung.

Iliana segera mengambil sepotong kentang goreng dan menggigitnya pelan. Rasanya renyah di luar, lembut di dalam, dengan sedikit rasa asin yang membuatnya ingin mengambil lagi dan lagi. Ia juga mencicipi steak ayamnya, merasakan kombinasi sempurna antara daging yang lembut dan saus yang gurih.

Di seberang meja, Paman mulai bercanda, menceritakan kisah-kisah lucu dari masa kecilnya. Gelak tawa segera memenuhi udara, menyatu dengan suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Kakek, yang biasanya pendiam, ikut tertawa kecil, sementara Nenek menggelengkan kepala, pura-pura kesal tapi tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.

Iliana menatap sekeliling. Ia suka suasana ini. Ia suka suara tawa, suara piring yang beradu, suara percakapan yang bersahut-sahutan. Ia suka melihat Aku tertawa lepas, Nana yang tersenyum hangat, Kakek dan Nenek yang menikmati makan malam mereka dengan tenang.

Di tengah makan malam, kue kecil dengan lilin di atasnya. Semua orang bertepuk tangan. Ternyata hari itu ada yang berulang tahun—sepupu Iliana yang duduk di sampingnya. Lagu ulang tahun pun dinyanyikan dengan semangat, sementara si sepupu meniup lilin dengan mata berbinar-binar. Iliana ikut bertepuk tangan, ikut merasa senang meskipun bukan ia yang sedang berulang tahun.

Sore berubah menjadi malam. Lampu-lampu mulai bersinar lebih terang, menggantikan matahari yang sudah tenggelam sepenuhnya. Angin berhembus lebih sejuk, membawa aroma makanan yang masih menggantung di udara. Iliana menyandarkan kepalanya di bahu Ibu. Matanya mulai terasa berat, tapi hatinya penuh dengan kebahagiaan.

Hari itu adalah hari yang istimewa. Dari perjalanan naik kereta Batara Kresna yang penuh petualangan, hingga makan malam bersama keluarga yang hangat dan menyenangkan.

Di dalam hatinya yang kecil, Iliana tahu bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar. Kadang, kebahagiaan ada dalam momen-momen sederhana—perjalanan singkat di atas rel, suara tawa keluarga, sepotong kentang goreng yang renyah, atau sekadar duduk di pangkuan Ibu sambil menikmati malam yang damai.

Dan malam itu, sebelum matanya benar-benar terpejam, Iliana berjanji dalam hati bahwa ia akan selalu mengingat hari ini. Hari ketika ia merasa begitu dicintai, begitu bahagia.