Di negeri ini, kata “kerugian negara” sering terdengar. Berita-berita menayangkannya dengan nada serius, para ahli membahasnya di seminar, dan pejabat-pejabat menanggapinya dengan wajah penuh keprihatinan.
“Kerugian negara mencapai triliunan rupiah,” kata seorang jaksa di depan mikrofon.
Triliunan. Angka yang terlalu besar untuk dibayangkan oleh orang-orang yang setiap hari mengatur uang hanya untuk bertahan hidup.
Tapi di manakah letak kerugiannya? Apakah negara yang rugi, ataukah rakyatnya?
Di balik meja-meja panjang di gedung-gedung tinggi, ada mereka yang berbicara tentang defisit, kebocoran anggaran, dan kebijakan energi. Mereka menghitung dengan angka-angka besar, menggeser kolom-kolom dalam tabel, dan menuliskan laporan yang sulit dipahami orang biasa.
Tapi di pinggir jalan, di antara bisingnya kendaraan, ada seorang ibu yang menghitung recehan di tangannya, memastikan cukup untuk membeli sebotol bensin eceran.
Di garasi kecil, ada seorang tukang ojek yang menyalakan motornya dengan hati-hati, berharap bahan bakarnya cukup hingga malam.
Di sudut kota, ada seorang pekerja yang memandang angkanya di dompetnya, bertanya-tanya apakah ia harus memilih Pertalite dan mengantre, atau mengeluarkan sedikit lebih banyak untuk Pertamax, meskipun kini ia tak yakin apa bedanya.
Negara mungkin mencatat kerugian dalam laporan resmi. Tapi rakyatlah yang merasakannya setiap hari, setiap kali mereka berdiri di depan pompa bensin, setiap kali mereka berlelah jalan kaki karena ongkos motor terlalu mahal, setiap kali mereka mendengar harga naik tapi gaji tetap sama.
Kerugian negara adalah istilah dalam dokumen hukum.
Kerugian rakyat adalah anak yang harus berjalan kaki ke sekolah karena orang tuanya tak sanggup membeli bensin.
Apakah negeri ini benar-benar rugi, atau hanya kita rakyat yang harus membayarnya?