Santo Lubbock barangkali adalah satu dari sedikit manusia yang meyakini bahwa istirahat bukanlah kemalasan. Baginya, berbaring di bawah pohon pada musim panas, mendengarkan bisikan air yang mengalir di sela-sela bebatuan, atau melihat awan melayang perlahan di seberang langit biru, bukan sekadar rehat, melainkan seni menghabiskan waktu dengan penuh kesadaran. Dalam dunia yang perlahan-lahan menggilai percepatan dan menjadikan sibuk sebagai standar keberhasilan, ia adalah oase yang mengajarkan bahwa menikmati waktu yang berlalu adalah bentuk keberanian yang langka.
Lubbock mungkin tak mengenal konsep kapitalisme modern yang terus mendorong manusia untuk mengeksploitasi setiap detik demi produktivitas. Namun, ia memahami sesuatu yang kini mulai hilang dari peradaban kita: bahwa waktu bukanlah sesuatu yang harus selalu ‘dimanfaatkan’, melainkan juga boleh sekadar ‘dijalani’. Baginya, kehidupan yang baik bukan diukur dari berapa banyak tugas yang dapat diselesaikan dalam sehari, melainkan dari seberapa dalam seseorang merasakan keberadaan dirinya di dunia ini. Ia melihat keindahan dalam keheningan, dan ia memahami bahwa istirahat bukanlah bentuk kemalasan, melainkan bagian alami dari keseimbangan hidup.
Di zaman yang kini bergerak dengan kecepatan terkutuk, di mana manusia berlomba-lomba untuk memadatkan hari dengan daftar tugas yang tak ada habisnya, filosofi Lubbock terasa seperti bisikan dari masa lalu yang enggan didengar. Kita telah menjadikan kesibukan sebagai lambang keberhasilan, memuja layar-layar yang menyala sepanjang waktu, dan menganggap mereka yang berani berhenti sebagai makhluk aneh dari peradaban yang terlupakan. Masyarakat modern, dengan segala ambisi dan ketergantungannya pada teknologi, perlahan-lahan mengikis nilai dari diam, refleksi, dan ketenangan. Kita terus dipacu untuk bergerak, untuk melakukan sesuatu, untuk selalu produktif, seolah hidup hanyalah tentang akumulasi pencapaian.
Namun, ironinya, semakin kita berlari mengejar sesuatu yang kita sebut produktivitas, semakin kita merasa hampa. Waktu, yang dulu terasa sebagai ruang untuk menikmati hidup, kini menjadi komoditas yang harus dimaksimalkan setiap detiknya. Kita merasa bersalah ketika diam, kita resah ketika tidak berbuat apa-apa, seolah ketenangan adalah kutukan dan bukan anugerah. Istirahat kini harus dibenarkan dengan alasan yang masuk akal—liburan harus produktif, tidur harus dihitung dengan aplikasi, dan bahkan meditasi pun harus dijadwalkan dengan ketat. Kita lupa bahwa kebahagiaan sejati mungkin tidak ditemukan dalam keberhasilan, tetapi dalam momen-momen kecil ketika kita benar-benar hadir dalam kehidupan.
Tetapi, lihatlah! Dunia mulai lelah. Di sudut-sudut kafe kecil yang tak tercatat dalam peta turis, di desa-desa yang sinyalnya putus-nyambung, di antara halaman buku yang baunya menua bersama ingatan, ada bisikan lain yang perlahan-lahan tumbuh menjadi pekikan: “Offline is the new luxury!” Seakan manusia akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah soal siapa yang paling cepat, paling sibuk, atau paling terhubung, melainkan siapa yang masih mampu melihat bentuk awan tanpa tergoda mengunggahnya ke media sosial.
Perlahan-lahan, ada gerakan yang berusaha menarik manusia kembali ke esensi keberadaan mereka. Ada yang mulai mematikan notifikasi ponsel dan menikmati kopi tanpa terburu-buru. Ada yang memilih berjalan kaki tanpa earphone di telinga, mendengarkan suara angin dan dedaunan yang bergesekan. Ada yang membiarkan diri mereka duduk diam tanpa merasa harus mengisi kekosongan dengan scrolling tanpa tujuan. Mereka adalah individu-individu yang berusaha merebut kembali kendali atas waktu mereka, menolak untuk selalu tersedia bagi dunia, dan mulai mencari kedamaian di dalam diri sendiri.
Dunia modern telah mengubah istirahat menjadi kemewahan yang mahal. Liburan yang sejati bukan lagi tentang mengunjungi tempat-tempat eksotis dan membanjiri media sosial dengan foto-foto eksklusif, melainkan tentang keberanian untuk melepaskan diri dari tuntutan digital yang membelenggu. Beristirahat, bukan dalam bentuk pelarian sesaat, melainkan dalam makna yang lebih dalam: membiarkan pikiran mengembara, menikmati momen tanpa distraksi, dan membebaskan diri dari keharusan untuk selalu ada dalam jaringan. Ini adalah bentuk pembebasan yang lebih sulit dilakukan daripada sekadar menekan tombol logout—karena sesungguhnya, keterikatan kita pada kesibukan bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam diri kita sendiri.
Lubbock, yang mungkin tak pernah membayangkan internet akan lahir, seolah mengedipkan mata kepada kita dari masa lalu. Ia tahu bahwa membuang waktu bukanlah tindakan sia-sia, melainkan hak istimewa yang tak semua orang berani klaim. Kini, di dunia yang dipenuhi notifikasi dan panggilan tanpa henti, mereka yang berani menutup layar, melepaskan koneksi, dan kembali kepada sunyi—merekalah yang menemukan kemewahan sejati.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya: untuk apa semua ini? Mengapa kita membiarkan diri kita terseret dalam arus yang tidak pernah memberi kita kesempatan untuk benar-benar merasakan hidup? Barangkali, kemewahan itu bukan hanya sekadar offline, melainkan tentang menemukan kembali siapa diri kita di tengah kebisingan yang terus berusaha menelan kita bulat-bulat. Mungkin sudah saatnya kita belajar dari Lubbock—bukan untuk kembali ke masa lalu, tetapi untuk membawa makna istirahat ke masa depan yang lebih manusiawi. Sebuah masa depan di mana manusia tidak hanya mengejar keberhasilan, tetapi juga memahami arti dari keberadaan itu sendiri.