Mbah Buyut

Pagi di Banjarnegara hadir dengan udara yang basah, seperti baru saja turun gerimis semalam. Langit masih enggan menunjukkan warna birunya, seolah ikut merasakan bahwa hari ini adalah hari perpisahan kecil. Di serambi rumah yang sederhana, dengan kursi kayu tua yang sudah sedikit melengkung dimakan waktu, seorang lelaki tua duduk dengan tenang, memangku bocah kecil yang pipinya masih merah oleh sisa kantuk.

Iliana, dengan rambutnya yang belum sepenuhnya tertata, tertawa kecil sambil menggenggam boneka domba berbulu putih yang sudah mulai lepek karena sering dipeluknya. Di tangan satunya lagi, sebuah pop-it warna-warni menjadi mainan yang setia menemani hari-harinya. Ia memencet-mencet mainan itu dengan semangat, sementara kakek buyutnya menatap dengan mata yang menyimpan kedalaman rasa.

Sudah beberapa hari Iliana tinggal di Banjarnegara, mengisi rumah ini dengan suara tawa kecilnya yang melengking, dengan langkah-langkah mungilnya yang berlarian di lantai semen yang dingin. Rumah ini, yang biasanya hanya dihuni sunyi dan obrolan pelan orang-orang tua, tiba-tiba berubah menjadi lebih hidup. Ada celoteh yang melompati tembok-temboknya, ada tangisan kecil karena lutut yang terantuk meja, ada suara panggilan yang sering kali membuat kakek buyutnya menghentikan pekerjaannya hanya untuk menjawab panggilan tersebut.

Namun pagi ini berbeda. Pagi ini, waktu seperti berjalan lebih lambat, seperti enggan membawa hari menuju perpisahan. Iliana akan kembali ke Colomadu, kembali ke rumahnya yang lain, dan serambi ini akan kembali menjadi tempat yang lebih sepi.

Kakek buyutnya, dengan tangan yang sudah mulai berkerut tapi masih kokoh, mengusap kepala Iliana dengan lembut. Ia tidak banyak bicara, hanya tersenyum, seolah sedang merekam wajah cucunya baik-baik dalam ingatannya. Ia tahu, waktu tak akan pernah bisa ditahan. Anak kecil ini akan tumbuh, hari-hari akan berlalu, dan mungkin suatu saat nanti Iliana tak akan lagi betah duduk berlama-lama di pangkuannya seperti ini. Tapi untuk saat ini, untuk beberapa menit sebelum Iliana benar-benar pulang ke Colomadu, biarlah ia menikmati momen ini tanpa gangguan.

Di seberang halaman, mobil sudah siap. Nana, sudah mengemas semua barang-barang kecil Iliana ke dalam tas: baju-baju mungil, botol susu, dan beberapa mainan yang akan dibawa pulang. Iliana sendiri belum benar-benar menyadari arti perpisahan ini. Ia masih sibuk dengan pop-it-nya, masih tersenyum melihat burung gereja yang melompat-lompat di pagar rumah.

Tapi kakek buyutnya tahu. Ia tahu bahwa setelah ini, rumah akan terasa lebih sunyi, bahwa sore nanti, ketika ia duduk sendiri di kursi yang sama, akan ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun kecuali Iliana.

Saat akhirnya Iliana harus berpindah dari pangkuannya, kakek itu menunduk sedikit dan mengecup keningnya. Iliana tertawa kecil, tak menyadari betapa dalam makna ciuman itu bagi lelaki tua yang begitu menyayanginya.

Mobil melaju perlahan di jalan desa yang masih sedikit basah oleh embun pagi. Dari kaca samping, Iliana melambai kecil, mungkin hanya karena meniru orang-orang di sekitarnya. Kakek buyutnya tetap berdiri di tempatnya, memandang sampai mobil itu hilang di tikungan, meninggalkan hanya jejak-jejak kecil di jalan tanah yang sebentar lagi juga akan hilang tersapu angin.

Hari ini, Iliana pulang ke Colomadu. Tapi hatinya? Sebagian kecilnya pasti masih tertinggal di sini—di pangkuan kakek buyutnya, di antara pop-it warna-warni, boneka domba, dan tawa kecil yang tak akan pernah benar-benar pergi dari rumah Banjarnegara ini.