Di bawah rembulan yang separuh terhalang awan kelabu, aku mengayuh sepedaku pelan, melewati terowongan yang seakan-akan telah menelan warna-warni pelangi. Dindingnya penuh lukisan, goresan tangan entah siapa yang merangkai kisah diam dalam sapuan cat. Lampu-lampu jalan memercikkan sinarnya, membias dalam kelam, menciptakan bintang-bintang buatan di langit malam kota.
Aku baru saja pulang dari tempat kerja, lelah, tapi tak buru-buru sampai rumah. Laju sepeda yang pelan membebaskanku dari urgensi waktu, membiarkanku menikmati perjalanan tanpa suara mesin yang menuntut untuk terus melaju. Ada sesuatu yang menahanku, mungkin suara gerimis yang baru saja reda, meninggalkan jalanan basah yang memantulkan cahaya seperti cermin. Mungkin itu angin malam yang menyelinap di sela jaketku, membawa aroma hujan yang bercampur dengan aspal.
Di ujung terowongan, di atas sana, api-api buatan berkobar, berdiri gagah seperti obor yang enggan padam. Bentuknya menyerupai nyala semangat yang berusaha menembus malam, simbol kebanggaan yang tetap berdiri meski diterpa angin dan hujan. Aku menatapnya lama, terpaku, memikirkan banyak hal yang entah apa.
James Suzman pernah menulis bahwa nenek moyang kita, para pemburu-pengumpul, bekerja jauh lebih sedikit daripada kita, tetapi menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan berkecukupan. Aku memikirkan itu sambil terus mengayuh sepedaku. Betapa aneh, kita telah menciptakan dunia yang penuh kenyamanan dengan mesin-mesin yang bekerja untuk kita, tetapi justru terperangkap dalam sistem yang membuat kita bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih lelah.
Mungkin, nenek moyang kita tidak pernah terburu-buru. Mereka berjalan kaki, berburu seperlunya, mengumpulkan apa yang tersedia di alam, lalu menghabiskan hari dengan bercengkerama, dengan menatap bintang, dengan hidup sebagaimana mestinya. Aku membayangkan betapa hidup mereka penuh dengan tawa dan kesederhanaan, sesuatu yang kini terasa semakin sulit diraih.
Sementara itu, di sekitarku, pengendara motor melaju cepat, terburu-buru dengan urusan mereka sendiri. Mungkin mereka mengejar waktu, atau justru waktu yang mengejar mereka. Aku tetap di sini, mengayuh perlahan, menikmati perjalanan tanpa terbebani oleh garis akhir.
Lalu, setelah merasa cukup, aku pun kembali mengayuh. Menuju rumah, menuju kehidupan, menuju esok yang masih penuh tanda tanya—tapi kali ini, tanpa tergesa-gesa.