Aku mengayuh sepeda secepat yang aku bisa.
Langit malam meredup di antara gemerlap lampu jalan yang temaram, bayanganku sendiri bergerak liar di aspal yang basah. Sisa hujan sore tadi menggenang di pinggir jalan, memantulkan cahaya kekuningan seperti kaca retak yang berpendar. Angin menusuk wajahku, dingin dan getir, seolah membawa kabar duka itu semakin dalam ke dalam dadaku.
Lek Syafak telah pergi.
Aku tahu, kematian adalah bagian dari hidup, sesuatu yang harus diterima. Tapi tetap saja, kabar itu menghantam seperti ombak besar yang datang tanpa aba-aba, menyapu semua yang kukira masih bisa kujaga lebih lama. Baru beberapa hari lalu aku duduk di samping tempat tidurnya ketika di rumah sakit, mendengarkan suaranya yang mulai melemah tapi masih dipenuhi keteguhan. Kini, yang tersisa hanyalah jasadnya yang terbaring dalam diam.
Sesampainya di rumah Lek Syafak, suasana sudah dipenuhi orang-orang. Beberapa duduk bersila di atas tikar yang digelar di teras, kepala mereka tertunduk dalam doa. Di dalam rumah, suara isak tangis lirih terdengar, bercampur dengan lantunan doa yang dibacakan dengan penuh ketulusan.
Aku masuk, melangkah dengan hati-hati melewati orang-orang yang duduk di ruang tamu, wajah-wajah yang sebagian besar kukenal sejak kecil. Mereka semua berkabung. Ada yang menunduk, ada yang menatap kosong ke arah jenazah di ruang tengah, dan ada pula yang berbisik-bisik, mengingat kenangan mereka tentang Lek Syafak.
Di atas tikar, tubuhnya terbaring dalam ketenangan yang tidak akan lagi terganggu oleh rasa sakit. Aku melihat wajah Mbak Fitri yang sembab, matanya merah bukan hanya karena tangisan, tetapi juga kelelahan—kelelahan yang telah ia tanggung selama berhari-hari, menunggui bapaknya dengan harapan yang kini telah runtuh.
Ibuku duduk di sisi lain, menatap jenazah adiknya dengan tatapan yang sulit kugambarkan. Ia tidak menangis keras, tapi aku tahu betapa hancur hatinya. Ia hanya menunduk, bibirnya terus berkomat-kamit melafalkan doa.
Aku berdiri di dekat jenazah Lek Syafak. Melihatnya dalam kondisi seperti ini terasa begitu ganjil. Aku masih bisa membayangkan suaranya, tawanya, bahkan caranya menepuk bahuku sambil memberikan nasihat-nasihat hidup yang dulu terasa ringan, tapi kini seakan menjadi wasiat terakhirnya.
Malam ini, kata-kata itu berputar-putar di kepalaku.
Aku membayangkan Iliana.
Anakku yang malam ini tidur lelap di rumah Colomadu, tanpa tahu bahwa aku sedang berdiri di sini, di samping jenazah seorang lelaki yang dulu menasihatiku tentang bagaimana menjadi seorang bapak. Iliana tidak tahu bahwa di rumah ini, ada seorang anak lain, Mbak Fitri, yang baru saja kehilangan bapaknya. Aku bertanya-tanya, jika suatu hari aku yang berada di tempat Lek Syafak sekarang, bagaimana perasaan Iliana? Akankah ia duduk di sampingku, menahan tangis dan menggenggam kenangan?
Aku menarik napas panjang.
Malam semakin larut. Orang-orang masih datang silih berganti, melayat, mengucapkan belasungkawa. Ada yang menepuk bahuku pelan, ada yang hanya mengangguk dengan tatapan yang seolah berkata, sabar ya. Aku hanya membalas dengan anggukan kecil. Aku tahu mereka tulus, tapi saat ini, tak ada kata-kata yang cukup untuk menghibur kehilangan ini.
Sekitar pukul dua belas malam, aku berpamitan. Aku menyalami Mbak Fitri, ia hanya mengangguk, suaranya serak saat mengucapkan terima kasih. Aku memeluk Ibu sebentar, mencium tangan Ibuku sebelum akhirnya berjalan keluar. Udara malam semakin dingin. Di langit, bulan separuh tertutup awan, sinarnya temaram, hampir tidak sanggup menerangi jalanan yang kini mulai sepi.
Aku mengemudi pulang dengan buru - buru. Jalanan yang tadi kulewati dengan terburu-buru ketika tadi berangkat, kini terasa lebih panjang, lebih sunyi. Di beberapa titik, warung-warung kecil masih buka, pedagang kaki lima mulai membereskan dagangannya. Kehidupan tetap berjalan seperti biasa, seolah dunia tidak menyadari bahwa di rumah itu, ada seseorang yang baru saja pergi untuk selamanya.
Sampai di rumah, aku membuka pintu dengan hati-hati, melangkah pelan agar tidak membangunkan siapa pun. Aku masuk ke kamar Iliana.
Ia tertidur dengan tenang, tubuhnya terbungkus selimut biru kesukaannya. Aku duduk di tepi tempat tidurnya, menatap wajah kecil itu, mengingat bagaimana hari ini aku kembali diingatkan bahwa hidup begitu rapuh.
Aku menyentuh rambutnya pelan, seakan ingin memastikan bahwa ia ada di sini, bahwa aku masih bisa menemaninya, bahwa aku masih punya waktu untuk menjadi seorang bapak yang baik baginya. Aku tidak ingin ia merasakan kehilangan yang sama seperti yang dirasakan Mbak Fitri malam ini. Aku ingin selalu ada untuknya, selama yang aku bisa.
Tangannya yang kecil bergerak dalam tidurnya, tanpa sadar ia menggenggam jariku. Aku menggegamnya perlahan, lalu berbaring di sampingnya, membiarkan kehangatan ini menjadi pengingat bahwa selama aku masih bernapas, aku akan selalu ada untuknya.
Di luar, angin malam masih berhembus pelan. Aku menutup mata, membiarkan kesedihan malam ini perlahan larut dalam kelelahan.