Langit mendung seakan tahu bahwa hari itu, nasib tujuh orang akan berubah selamanya. Di sebuah ruangan berpendingin udara yang dinginnya menyaingi perasaan mereka, tim penyidik duduk berhadapan dengan tumpukan dokumen, barang bukti elektronik, dan laporan saksi yang jumlahnya tak masuk akal. Mereka tahu, hari ini mereka akan membuat keputusan yang akan mengguncang negeri.
Seorang lelaki berkacamata, yang selama ini terbiasa menatap layar laptop dengan angka-angka berbaris rapi, kini menunduk. Di sampingnya, seorang pria berseragam resmi membacakan surat perintah dengan suara tenang, nyaris tanpa emosi.
“Berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup, maka ditetapkan tujuh orang sebagai tersangka.”
Hening. Sunyi yang begitu dalam.
RS, yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang tak banyak bicara, kini terdiam lebih lama dari biasanya. SDS dan AP, dua orang yang biasanya terlihat percaya diri dalam setiap rapat optimasi hilir, kini hanya mampu menatap meja dengan ekspresi kosong. YF, seorang pengusaha pengiriman minyak, mencoba tersenyum, tapi hanya sekejap. DW dan GRJ, dua komisaris yang dulu selalu duduk di ruangan berkelas dengan segelas kopi hitam mahal di tangan, kini tak punya lagi ruang untuk berdiskusi. MKAR, si pemilik perusahaan yang namanya jarang terdengar, mendesah pelan.
Mereka tahu, ini akhir dari permainan yang mereka mainkan bertahun-tahun.
Semua bermula di tahun 2018, ketika minyak mentah dari dalam negeri seharusnya lebih diutamakan. Begitulah perintah negara. Begitulah bunyi aturan. Namun, aturan sering kali hanya jadi deretan kata-kata di atas kertas, bukan?
Di ruangan rapat yang remang-remang dengan lampu kuning temaram, keputusan besar dibuat.
“Kilang harus diturunkan produksinya.”
“Tapi, kita punya cukup minyak dari dalam negeri.”
“Tidak masalah. Kita buat seolah-olah tidak cukup. Kita buat alasan-alasan teknis. Kita tolak dengan dalih harga, kualitas. Dan setelah itu, kita impor.”
Kata-kata itu bergema di ruang rapat optimasi hilir (OH), disertai gelak tawa yang terdengar ringan. Tak ada yang merasa bersalah. Tak ada yang merasa akan ketahuan.
Saat minyak dalam negeri ditolak, ketika kapal-kapal yang membawa minyak dari KKKS berlayar menjauh tanpa bisa menurunkan muatan, saat itulah broker-broker minyak di luar negeri bersulang. Minyak Indonesia diekspor, dan negara malah membeli minyak dari luar dengan harga lebih tinggi. Bisnis yang sangat rapi, yang terlalu menguntungkan bagi mereka yang tahu caranya bermain.
Tapi dalam bisnis, ada satu aturan yang tak tertulis—tidak ada konspirasi yang bertahan selamanya.
Di depan kantor Kejaksaan Agung, wartawan sudah berkumpul. Kamera menyala, mikrofon diangkat tinggi-tinggi, dan suara-suara penuh antusias memenuhi udara.
“Tersangka RS dan SDS telah tiba di Rutan Salemba,” seorang reporter melaporkan dengan suara penuh gairah.
Di balik jeruji besi, tujuh orang itu duduk dalam diam. Dunia yang dulu mereka kuasai, kini terasa begitu jauh. Mereka yang dulu membuat keputusan besar dengan tangan terangkat di rapat-rapat direksi, kini tak punya kuasa bahkan untuk menentukan kapan mereka bisa tidur dengan tenang.
Di luar sana, minyak masih mengalir. Mesin-mesin kilang masih berdengung. Tetapi bagi mereka, waktu berhenti di hari itu—hari ketika nama mereka berubah menjadi berita utama, hari ketika mereka harus mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang dulu mereka buat dengan begitu mudahnya.
Dan negeri ini, seperti biasa, mencatat satu lagi kisah tentang mereka yang jatuh karena terlalu serakah.
Di negeri ini, ada dua jenis pembeli bensin. Yang pertama, mereka yang memilih Pertalite, rela mengantre panjang, dan sering kali mengeluh harga naik. Yang kedua, mereka yang membeli Pertamax, merasa lebih beruntung karena tak perlu berdesakan di SPBU.
Tapi siapa sangka, yang mereka beli mungkin saja sama.
Inilah kisah tentang bagaimana Pertamax yang dibanggakan itu bisa jadi tak lebih dari Pertalite yang dipoles ulang.
Di ruang rapat yang penuh dengan orang-orang berdasi, keputusan diambil. Bukan keputusan biasa, melainkan keputusan yang bisa membuat kantong mereka semakin tebal.
“Kita beli Ron 90, lalu kita jual sebagai Ron 92.”
“Tapi itu kan melanggar aturan?”
“Aturan dibuat untuk dilanggar,” kata seseorang dengan tawa kecil.
Mereka tidak menyebutnya penipuan, mereka menyebutnya optimalisasi.
Jadi, begitulah. Minyak yang seharusnya lebih murah, diubah di tempat penyimpanan, dioplos, di-blending, entah dengan apa, hingga akhirnya dijual dengan harga lebih tinggi. Konsumen? Mereka tak tahu apa-apa. Mereka hanya berpikir: beli Pertamax adalah membeli kenyamanan, membeli kebebasan dari antrean panjang.
Tapi, kenyamanan itu adalah ilusi.
Di luar sana, kendaraan-kendaraan tetap mengisi tangki mereka. Para pengendara motor tetap percaya bahwa mereka mendapatkan bahan bakar berkualitas lebih baik. Mereka membayar lebih mahal dengan keyakinan bahwa mesin mereka akan lebih awet.
Tapi di balik angka-angka oktan itu, ada permainan kotor. Ada mereka yang mengatur segalanya dari balik meja. Mereka yang mengubah angka 90 menjadi 92, mereka yang membuat orang-orang percaya bahwa mereka membeli sesuatu yang lebih baik—padahal sejatinya, hanya selisih nama.
Sampai akhirnya, semuanya terbongkar.
Hari itu, di ruang tahanan, seorang pria yang dulunya terbiasa mengenakan jas mahal duduk termenung. Di tangannya, selembar berita koran tentang kasus ini.
Ia membaca pelan, lalu tersenyum pahit.
“Kita pikir kita pintar, ternyata lebih banyak orang yang lebih pintar.”
Di luar, antrean motor di SPBU masih mengular. Kehidupan tetap berjalan. Tapi hari itu, negeri ini kembali mencatat satu lagi kisah tentang bagaimana keserakahan bisa mengelabui jutaan orang—tentang bagaimana Pertamax yang kita beli, mungkin tak lebih dari Pertalite yang diberi nama baru.
Cahaya jingga tumpah di jalanan, menyelimuti rumah-rumah, warung-warung, dan orang-orang yang pulang dari kerja. Aku masih di atas sepedaku, mengayuh pelan, membelah jalanan yang tak seberapa ramai.
Di kepalaku, berita hari ini masih berputar. Tentang Pertamax dan Pertalite. Tentang angka-angka Ron yang bisa dimainkan. Tentang orang-orang yang berpikir mereka membeli sesuatu yang lebih baik, padahal yang mereka beli hanyalah ilusi.
Aku membayangkan seseorang, duduk di ruang rapat ber-AC, mengangkat secangkir kopi, dan berkata, “Kita bisa optimalkan margin keuntungan dengan sedikit modifikasi.”
Di luar, orang-orang mengantre di SPBU. Mereka percaya, Pertamax adalah pilihan yang lebih baik. Mereka percaya, ada perbedaan di dalam tangki mereka.
Tapi bagaimana jika perbedaannya hanya ada di harga?
Bagaimana jika selama ini kita telah membeli kenyamanan yang dibuat-buat?
Aku mengayuh lebih cepat.
Angin sore menerpa wajahku. Di pinggir jalan, ibu-ibu duduk di teras, anak-anak berlarian, seorang bapak tua menyeruput kopi sambil mengamati sepeda motor yang lewat. Semua terlihat biasa. Seolah dunia baik-baik saja. Seolah tak ada yang salah.
Tapi bukankah memang begitu cara dunia bekerja? Ada yang bermain di belakang layar, ada yang mengatur harga, ada yang membuat aturan, lalu melanggarnya sendiri. Sementara kita, orang-orang biasa, hanya bisa memilih: mau antre atau membayar lebih mahal.
Di kejauhan, rumahku mulai terlihat. Lampu teras sudah menyala.
Iliana pasti sedang bermain di dalam. Nana mungkin sedang menunggu dengan secangkir teh hangat.
Aku tersenyum kecil. Tak peduli berapa pun angka oktan di dunia ini, tak peduli siapa yang bermain-main dengan minyak dan uang negara, ada hal-hal yang tetap nyata.
Seperti kayuhan sepeda ini. Seperti rumah yang selalu menungguku pulang.