Pagi itu, tubuhku terasa berat. Seakan semesta bersekongkol untuk menahanku di tempat tidur. Nyeri halus merayap dari pundak ke punggung, sisa dari malam yang tak memberi cukup istirahat. Mataku terbuka, tapi kesadaranku masih enggan menyusul. Aku melirik jam—terlambat.
Tak ada pilihan selain bergerak cepat. Aku meraih sepeda, membiarkan roda-rodanya menggilas jalanan yang masih basah oleh embun. Angin menerpa wajahku, membawa serta kesadaran yang tadi enggan datang. Lalu lintas pagi mengalir seperti biasa, dengan bunyi klakson dan deru mesin yang berpacu dengan waktu. Aku mengayuh lebih kencang, menebus menit-menit yang terbuang.
Sampai di kantor, keringat bercampur dengan tergesa. Untungnya, air dingin di ruang mandi cukup untuk menyegarkan kepala dan meredakan sesak di dada. Hari ini bukan sekadar rutinitas biasa. Ada pelatihan jarak jauh tentang komunikasi yang harus kuikuti, dengan tugas bercerita yang datang tanpa peringatan.
Ketika tiba giliranku, aku berbicara. Tanpa persiapan, tanpa naskah. Aku ceritakan pagi yang berantakan—bangun kesiangan, tubuh yang tak sepenuhnya bersahabat, perjalanan terburu-buru dengan sepeda, hingga kelegaan sesaat setelah mandi. Kata-kataku mengalir, seperti roda sepeda yang tadi melaju di jalanan. Entah bagaimana, pendengar merespons dengan baik. Aku tersenyum kecil. Mungkin, ada sesuatu dalam kekacauan yang justru bisa menghidupkan cerita.
Sore tiba, dan aku kembali mengayuh sepeda pulang. Jalanan masih ramai, tapi bukan hanya oleh kendaraan. Ada sesuatu yang lain di udara. Aku melihat sekilas di layar ponsel—berita tentang gelombang suara yang memenuhi kota, tentang mereka yang berdiri, berbicara, menyuarakan sesuatu yang selama ini hanya berbisik di sudut-sudut ruang.
Di layar, tampak barisan panjang manusia di tengah jalanan kota. Wajah-wajah muda dengan mata menyala, tangan-tangan yang menggenggam erat lembaran kata-kata yang ingin mereka sampaikan. Udara bergetar oleh suara mereka, lantang, menggema di antara bangunan-bangunan yang selama ini lebih banyak diam. Mereka bukan sekadar berjalan, mereka sedang melukis sejarah di aspal yang dingin.
Aku membaca satu per satu berita yang bermunculan. Ada yang menyebutnya perlawanan, ada yang menamakannya panggilan hati. Ada yang memandangnya sebagai kebisingan, ada pula yang melihatnya sebagai sebuah keharusan. Mereka yang berdiri di barisan itu mungkin telah lama menyimpan resah, kata-kata yang tak tersampaikan, pertanyaan-pertanyaan yang tak mendapat jawaban. Dan hari ini, mereka memilih untuk tidak lagi diam.
Namun, di balik riuhnya suara itu, ada bayangan yang mengintai. Ada barikade, ada tatapan tajam yang memantau setiap langkah. Ada suara yang dihapus, ada gambar yang tak sempat muncul ke layar. Ada tangan yang terangkat bukan untuk menyambut, tapi untuk menghentikan. Di ujung sana, tak semua suara sampai ke telinga yang seharusnya mendengar.
Aku menutup ponsel. Malam semakin pekat, tapi di beberapa sudut kota, suara-suara masih menggema. Aku menarik napas panjang. Angin bertiup perlahan, menyapu jalanan yang tetap saja sama. Entah akan membawa perubahan, atau sekadar lewat, seperti angin-angin sebelumnya.
Malam semakin larut, tapi kantuk belum juga datang. Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diam. Di luar, suara jalanan mulai mereda, hanya sesekali terdengar deru kendaraan yang melintas.
Aku meraih ponsel dan membuka situs toko buku. Sudah beberapa hari aku merasa ada yang kurang, seperti ada celah kosong dalam keseharianku yang tak terisi. Aku menyadari sesuatu—buku-buku yang kupunya sudah habis kubaca.
Jari-jariku menggulir layar, mencari sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membawaku ke dunia lain sejenak. Sampai akhirnya, mataku tertumbuk pada satu judul: Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati. Ada sesuatu dalam judul itu yang menarik, seolah-olah buku itu memahami bahwa di tengah hiruk-pikuk kehidupan, seporsi mie ayam bisa menjadi momen kecil yang berarti.
Harganya tertulis jelas, Rp93.000. Aku menatap layar, mempertimbangkan. Buku bukan sekadar bacaan bagiku, tapi juga pelarian, pelipur lara dari rutinitas yang terkadang membosankan. Aku menambahkan buku itu ke dalam daftar favorit, berpikir untuk membelinya nanti.
Aku meletakkan ponsel di samping bantal dan menarik selimut. Mata perlahan terasa berat, pikiranku mengembara di antara kenangan hari ini dan harapan untuk hari esok. Di luar sana, kota masih bernafas, jalanan tetap ada, suara-suara masih bergaung. Tapi di dalam kamar ini, aku perlahan tenggelam dalam keheningan, menunggu mimpi datang membawa cerita baru.