Hari ini adalah hari yang melelahkan. Sungguh melelahkan. Aku bekerja tenggelam dalam tumpukan tugas yang seolah tak ada habisnya. Angka-angka menari-nari di layar komputer, surat-surat resmi berbaris rapi menunggu dibaca, dan menyeretku ke dalam lorong waktu yang tanpa sadar membuat siang bergulir menjadi sore, lalu malam.
Di luar, matahari sudah mengucapkan selamat tinggal, digantikan lampu-lampu jalan yang redup, mengiringi langkah kakiku yang gontai keluar dari kantor. Udara malam di Colomadu menyelinap ke dalam jaketku, membawa serta kelelahan yang berlipat-lipat. Badanku remuk, pikiranku berat, dan satu-satunya yang kuinginkan hanyalah pulang—merebahkan diri di kasur, menutup mata, dan melupakan segala beban pekerjaan yang hari ini menggempurku tanpa ampun.
Namun, begitu pintu rumah kubuka, sebuah keajaiban kecil menyambutku.
“Bapaaak!” suara itu melengking riang. Iliana berlari ke arahku dengan kaki mungilnya, matanya berbinar-binar seperti bintang di langit malam. Ia berhenti tepat di depan kakiku, lalu dengan senyum termanis yang pernah kulihat seumur hidupku, yang membuatku seketika lupa akan segala kelelahan yang menindih bahuku.
Iliana punya sepasang sepatu kecil.
“Sepatu baru, Bapak! Lihat! Lihat!” serunya penuh semangat.
Aku menatapnya, menatap sepatu mungil berwarna merah muda. Ada gambar wortel di sampingnya, dan Iliana tampak begitu bangga mengenakannya. Ia berputar-putar di ruang tamu, memamerkan sepatunya dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seorang anak kecil—dengan kepolosan yang begitu tulus, dengan kebahagiaan yang begitu sederhana.
Aku terkekeh, kemudian jongkok untuk menyamakan tinggi kami. “Wah, sepatu siapa ini? Cantik sekali!”
“Punya Iliana!” jawabnya dengan suara nyaring, lalu ia melompat-lompat kecil, seolah-olah sepasang sepatu itu memberinya sayap. “Bapak ngantuk ya?” tiba-tiba ia berhenti dan menatapku dengan mata penuh perhatian.
Aku tertegun. Leherku terasa dicekik sesuatu yang tak terlihat. Betapa sederhana pertanyaannya, tetapi betapa dalam artinya. Iliana, anak kecilku yang baru beberapa tahun mengenal dunia, bisa membaca kelelahan di wajahku.
Aku tersenyum, mengacak rambutnya dengan lembut. “Iya, nduk. Tapi sekarang sudah tidak ngantuk lagi.”
Ia terkekeh, lalu menarik tanganku, memaksaku duduk di lantai bersamanya. “Bapak harus lihat! Sepatu ini bisa lari cepat!” katanya, lalu berlari mengitari ruang tamu. Aku menonton, tersenyum, tertawa, sementara hatiku perlahan-lahan melepas beban hari ini.
“Iliana boleh gigit bapak nggak?” tiba - tiba Iliana bertanya kepadaku, memang ada - ada saja ide Iliana, beberapa saat kemudian ia benar - benar menggigitku, duh.
Kelelahan kerja yang menjemukan, tumpukan berkas yang seperti tak berujung—semuanya lenyap begitu saja. Digantikan oleh tawa seorang anak kecil dan sepasang sepatu baru yang begitu ia banggakan.
Malam ini, aku tidur dengan tubuh lelah, tetapi hati yang penuh.