Simpang Empat

Langit menjelang malam masih menyisakan warna biru tua yang bersahaja, berbaur dengan kelabu sisa hujan yang enggan pergi sepenuhnya. Udara basah menyelinap di antara sela-sela bangunan, membawa aroma tanah yang baru saja disiram hujan, bercampur dengan asap kendaraan yang perlahan kembali memenuhi jalanan. Hujan sore ini tidak deras, tapi cukup untuk meninggalkan jejaknya di aspal, membentuk genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan dengan gemetar.

Di tengah persimpangan, lampu lalu lintas berdiri tegak, menjadi penentu nasib kendaraan yang datang dari berbagai arah. Cahaya merahnya menyala terang, memaksa barisan mobil dan sepeda motor berhenti sejenak, menunggu giliran untuk kembali bergerak. Bulatan lampu itu tampak berpendar dalam genangan di bawahnya, seolah-olah ada dua dunia yang saling bercermin—satu di atas aspal, satu lagi di dalam air.

Di seberang jalan, sebuah tenda terpal berwarna merah-oranye berdiri dengan sederhana. Tiang-tiang kayu yang menyangga tenda itu tampak basah, mungkin karena hujan yang sempat menyusup lewat celah kain. Di dalamnya, beberapa orang berkerumun, sebagian berdiri, sebagian duduk di bangku panjang yang sedikit doyong. Ada yang berbincang dengan nada santai, ada yang sekadar menatap ke luar, menunggu sesuatu yang entah apa.

Siluet seorang pria terlihat di dalam tenda, sibuk dengan sesuatu di atas meja. Tangannya cekatan, sesekali mengambil sesuatu dari dalam wadah, lalu bergerak ke arah penggorengan besar yang menguarkan aroma minyak panas. Mungkin penjual gorengan, atau mungkin juga seseorang yang sekadar menjaga lapak milik orang lain. Wajahnya samar, hanya terlihat ketika sesekali ia bergerak mendekati lampu yang menggantung rendah di dalam tenda.

Di sekitar tenda, kehidupan berjalan dengan ritme yang pelan. Sebuah motor melaju perlahan di jalan basah, rodanya membelah genangan dengan gerakan yang hampir tak terdengar. Seorang pejalan kaki melintas di trotoar dengan langkah tergesa, bahunya sedikit tertarik ke atas, seolah melawan dingin yang mulai menyusup ke tubuh.

Di pinggir jalan, median yang dipenuhi semak-semak dan tanaman hijau tampak basah oleh hujan. Batu-batu pembatas jalan yang dicat hitam-putih terlihat mulai usang, beberapa bagian catnya mengelupas, memperlihatkan warna asli semen yang kelabu. Kabel-kabel listrik di atasnya berkelindan tak beraturan, menciptakan bayangan yang saling bertumpang tindih di bawah sorot lampu jalan.

Jalanan ini, persimpangan ini, bukan sekadar titik temu bagi kendaraan yang berlalu-lalang. Ia adalah potret kecil dari kehidupan kota, tempat di mana hujan datang dan pergi, di mana lampu merah dan hijau bergantian berkuasa, dan di mana manusia-manusia singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan mereka entah ke mana.

Ketika ada teman yang bertanya kenapa sempat menulis setiap hari padahal dunia sedang sesibuk ini dan hal buruk datang berturut-turut?

Aku pun tidak bisa menjawab dan kadang heran, iya juga ya, kok sempat ya? Silakan dibaca saja, semoga ada hal-hal baik yang datangnya belakangan.

Mungkin ini tentang cara bertahan, atau mungkin sekadar kebiasaan yang tidak sengaja terbentuk. Seperti lampu lalu lintas di persimpangan yang terus berganti warna, meskipun jalan di bawahnya tetap saja basah oleh hujan yang baru reda.

Menulis, barangkali, bukan hanya soal menyusun kata-kata, tetapi juga cara menata pikiran di tengah hiruk-pikuk dunia yang kadang terasa tidak masuk akal. Seperti sorot lampu merah yang berpendar di genangan air, kata-kata pun kadang hanya pantulan dari sesuatu yang lebih besar—perasaan, keresahan, atau mungkin harapan yang enggan padam.

Setiap hari, hidup membawa cerita yang berulang-ulang. Bangun pagi, melihat berita yang lagi-lagi penuh dengan kabar buruk, lalu bekerja, bertemu orang-orang yang sama, menunggu sesuatu yang bahkan tak tahu apa. Ada hari-hari ketika segala sesuatunya terasa berat, tapi tangan tetap saja mengetik, entah untuk siapa, entah untuk apa.

Mungkin seperti tenda di seberang jalan itu, yang tetap berdiri meski diterpa hujan dan angin. Ada orang-orang yang bertahan di bawahnya, menikmati hangatnya cahaya lampu yang redup, sekadar mencari tempat berlindung sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.

Barangkali menulis adalah cara mencari hangat di tengah hari yang dingin. Barangkali ini bukan soal punya waktu atau tidak, tapi soal butuh atau tidak.

Dan mungkin, di antara kata-kata yang tertulis ini, ada sesuatu yang kelak berguna. Hal-hal baik memang sering datang belakangan, bukan?