Sore ini, langit berwarna jingga pudar, seperti cat air yang ditorehkan asal-asalan oleh tangan seorang pelukis malas. Di kejauhan, angin menggiring awan-awan kelabu, membisikkan kemungkinan gerimis yang tertunda. Di tengah kesibukan dunia yang tak pernah benar-benar berhenti, aku, seorang pejalan yang letih, meremas lembut segelas teh dingin di tangan—Teh Asli 4~Teh, begitu bunyi tulisan yang tertera di kertas pembungkusnya. Butiran embun mengalir perlahan di permukaan gelas plastik itu, membentuk jejak-jejak kecil yang mungkin akan menguap sebelum sempat diingat.
Segelas teh ini tampak sederhana. Mungkin hanya minuman ringan bagi sebagian orang, pelepas dahaga yang sekilas saja memberi kenikmatan. Namun bagi mereka yang mau berhenti sejenak dan merenungkan, di dalam teh ini terkandung pelajaran hidup yang tak ternilai. Seperti daun-daun teh yang dipetik dengan teliti, dikeringkan dengan kesabaran, lalu diracik menjadi seduhan yang sempurna, hidup pun seharusnya demikian: setiap elemen, setiap detik, setiap usaha yang kita curahkan, seharusnya berujung pada sesuatu yang benar-benar substansial.
Namun, apa yang sering terjadi? Kita terlalu sering menghabiskan sumber daya yang kita miliki untuk hal-hal yang fana, sementara esensi kehidupan terlewat begitu saja. Waktu berlalu dengan percuma, tergerus dalam kesibukan yang kita buat sendiri. Energi kita terkuras untuk mengejar validasi dari orang lain, untuk berlari di lintasan yang tak kita pilih sendiri. Kita menghabiskan uang untuk kemewahan yang tak memberi makna, untuk barang-barang yang hanya memenuhi ruang tetapi tidak mengisi jiwa.
Gelas teh ini, dengan segala kesederhanaannya, memberi kita tamparan lembut: sudahkah kita menggunakan sumber daya yang kita miliki dengan bijak? Sudahkah waktu, tenaga, dan pikiran kita diarahkan untuk sesuatu yang benar-benar berharga? Ataukah kita seperti mereka yang membiarkan teh ini mendingin tanpa sempat menikmatinya—menyia-nyiakan sesuatu yang seharusnya bisa membawa ketenangan dan kepuasan?
Dalam kehidupan, kita tak bisa menghindari kenyataan bahwa tidak semua yang kita lakukan akan berbuah manis. Seperti seduhan teh yang kadang terlalu pahit, terlalu encer, atau terlalu pekat, usaha kita pun tak selalu berjalan sesuai harapan. Namun, bukankah itu bagian dari perjalanan? Bukankah kebijaksanaan justru lahir dari kesadaran bahwa segala sesuatu perlu proses dan kesabaran?
Bayangkan seorang peracik teh. Ia tak tergesa-gesa menuangkan air mendidih ke atas daun teh kering. Ia tahu, jika terlalu panas, daun akan terbakar dan rasa teh akan rusak. Jika terlalu dingin, sarinya tak akan keluar dengan sempurna. Begitu pula dalam hidup: ada saatnya kita harus menunggu, ada saatnya kita harus bertindak, dan ada saatnya kita harus menerima hasil dari apa yang telah kita ramu dengan sebaik-baiknya.
Kita hidup di zaman di mana segalanya bergerak cepat. Semua orang terburu-buru, seolah-olah ada lomba yang harus dimenangkan. Namun, apakah kita benar-benar tahu apa yang kita kejar? Jangan sampai kita menghabiskan tenaga untuk mengejar fatamorgana, hanya untuk akhirnya tersadar bahwa yang benar-benar kita butuhkan ada di genggaman kita selama ini.
Jadi, sebelum teh ini benar-benar habis, sebelum gelas ini kosong dan hanya menyisakan butiran es yang mencair tanpa makna, mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah menggunakan sumber daya kita dengan bijak? Apakah kita sudah menyeruput esensi hidup, atau justru membiarkan semuanya menguap tanpa jejak?
Hidup ini singkat, tapi bukan berarti harus tergesa-gesa. Sama seperti teh yang terbaik membutuhkan waktu untuk diseduh dengan sempurna, demikian pula dengan kehidupan. Maka, gunakan waktu, tenaga, dan segala yang kita miliki untuk sesuatu yang benar-benar berarti. Karena pada akhirnya, yang tersisa bukanlah seberapa banyak yang kita konsumsi, tetapi seberapa dalam kita benar-benar menikmati dan menghargainya.