Berkah

Sabtu. Hari di mana jam beker tak perlu berteriak, di mana jalanan terasa lebih lengang, di mana aku tak perlu tergesa-gesa berangkat kerja. Seharian ini aku berusaha mengejar ketertinggalanku dalam membaca Al-Qur’an. Setelah sahur, aku menunaikan salat Subuh, lalu duduk bersila dengan mushaf terbuka di depanku. Aku berjanji pada diri sendiri: hari ini harus lebih baik, harus lebih banyak. Aku ingin menebus waktu-waktu yang terlewat, halaman-halaman yang tertunda. Namun, tubuhku berkata lain.

Mataku semakin berat, kelopak yang tadinya terbuka lebar mulai menyempit. Mungkin karena kelelahan. Mungkin karena aku kurang bersemangat. Entahlah. Yang pasti, aku menyerah pada kantuk dan tertidur begitu saja, tanpa sempat membaca satu halaman pun.

Aku terbangun hampir pukul sembilan pagi. Sinar matahari sudah merayap masuk melalui celah jendela, udara mulai menghangat. Kepalaku masih terasa berat, kantuk yang belum tuntas berdiam di sudut-sudut pikiranku. Aku menghela napas, lalu mencoba melanjutkan membaca Al-Qur’an. Seharusnya, menurut perhitunganku, hari ini aku mencapai halaman 160. Tapi pukul dua siang, aku baru sampai di halaman 55.

Aku menatap angka itu dengan perasaan bercampur aduk. Beberapa hari terakhir, aku sibuk bekerja. Atau mungkin, aku memang kurang bersemangat, tapi rasa - rasanya tidak sedetikpun aku lewatkan dengan bermalasan. Aku mengukur waktu, menghitung ulang kecepatan membacaku—lima menit per halaman. Jika ingin mengejar target, aku butuh delapan jam empat puluh lima menit lagi. Dan itu berarti, hampir sepanjang hari ini harus kusediakan hanya untuk membaca.

Tapi apakah itu mungkin? Apakah berkah itu hadir dalam angka-angka dan target yang harus dikejar?

Sore menjelang. Aku memutuskan pergi ke Sukoharjo, kota kelahiranku. Langit tampak berat, mendung menggantung rendah seolah menanti waktu yang tepat untuk menumpahkan hujan. Aku melewati jalanan yang basah, bekas gerimis yang turun lebih dulu. Bau tanah basah menyelinap masuk melalui jendela mobil yang sedikit terbuka. Suasana sore itu melankolis, seperti musik latar dalam film-film yang bercerita tentang perjalanan pulang.

Lalu aku sampai di Tugu Adipura Sukoharjo. Simbol kota yang berdiri gagah di tengah perempatan. Lampu-lampu merah dan hijau menyala bergantian, menciptakan refleksi warna-warni di atas aspal yang mengilap oleh air hujan. Mobil-mobil melaju pelan, beberapa pengendara motor berhenti di tepi jalan, menepi karena hujan semakin deras. Aku menatap butiran hujan yang jatuh. Tidak terburu-buru, tidak tertunda. Ia jatuh pada waktunya.

Dan saat itu, aku tersadar sesuatu.

Berkah bukanlah tentang seberapa banyak halaman Al - Quran yang kuselesaikan hari ini. Bukan tentang target bacaan yang kukejar dengan napas terengah-engah. Bukan tentang bagaimana aku harus mengorbankan segalanya demi angka yang tertera dalam perhitunganku sendiri. Berkah adalah tentang keberadaan itu sendiri. Tentang bagaimana aku masih diberi waktu untuk membaca, meski sedikit. Tentang bagaimana aku masih bisa menikmati perjalanan pulang, meski langit menangis. Tentang bagaimana aku masih bisa menghitung hari-hari Ramadhan ini dengan hati yang tenang.

Hari ini, aku tertinggal dari targetku. Tapi aku masih membaca. Aku masih melanjutkan. Dan barangkali, berkah hari ini bukan tentang seberapa jauh aku sudah melangkah, melainkan tentang kesadaran bahwa aku masih ada di jalan yang benar. Bahwa aku masih punya waktu, dan waktu itu sendiri adalah berkah yang tak ternilai harganya.