Di sebuah sudut We Cook Noodle UMS, aku duduk bersama Nana dan Iliana. Waktu melambat di tempat ini. Lampu-lampu gantung menerangi ruangan dengan cahaya temaram, menyerupai lentera di malam perayaan. Meja-meja kayu dipenuhi suara canda, obrolan, dan kehangatan yang tak kasat mata. Di antara semua itu, ada kami bertiga—sebuah keluarga kecil yang tengah menikmati momen sederhana yang tak ternilai harganya.
Nana tersenyum lembut, seperti embun yang jatuh di pagi hari. Di depannya, Iliana sibuk dengan balon berbentuk mahkota yang bertengger di kepalanya. Kadang-kadang, anak kecil ini memang tampak seperti putri kecil dari negeri dongeng, lengkap dengan tawanya yang jernih dan binar mata penuh keajaiban. Ia tertawa terbahak-bahak, mencoba membentuk matanya menjadi kecil dengan jari-jarinya, seolah-olah ingin menirukan ekspresi wajah seseorang yang pernah dilihatnya. Aku dan Nana saling bertukar pandang, lalu ikut tertawa. Aku menyadari bahwa kebahagiaan sejati seringkali hadir dalam bentuk yang paling sederhana.
Di hadapan kami, semangkuk mie mengepul, aromanya merayu dengan wangi rempah yang menggoda. Aku mengambil sumpit, mengaduk mie dengan perlahan, lalu menyuapkan ke mulut. Ah, kenikmatan! Rasa gurihnya menyatu dengan sedikit pedas yang menghangatkan tenggorokan. Di tengah suapan, pikiranku melayang ke luar. Dunia tetap bergerak dengan caranya sendiri.
Di layar hapeku, seorang pembawa berita membacakan kabar: nilai tukar rupiah jatuh ke titik terendah sejak krisis 1998. Pasar bergejolak. Orang-orang panik. Analis ekonomi mengerutkan kening, menghitung angka-angka yang tak lagi bersahabat. Sementara itu, di jalanan, ribuan mahasiswa memenuhi ruas-ruas kota, mengibarkan spanduk dan meneriakkan tuntutan mereka. Revisi undang-undang militer yang kontroversial telah membakar semangat mereka. Demonstrasi pecah di berbagai sudut negeri, gas air mata melayang di udara.
Di sisi lain, jutaan orang bersiap untuk pulang kampung. Mudik Lebaran telah tiba. Kereta penuh sesak, bus berdesakan, dan jalan raya berubah menjadi lautan kendaraan yang merayap pelan. Orang-orang menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, demi satu hal: kembali ke rumah.
Namun di antara semua gejolak itu, ada secercah kabar gembira. Tim nasional Indonesia baru saja mengalahkan Bahrain 1-0 dalam kualifikasi Piala Dunia. Sebuah kemenangan tipis yang membuat seluruh negeri bersorak. Di warung-warung kopi, di halte bus, di rumah-rumah sederhana di pelosok desa, orang-orang tersenyum bangga. Sepak bola, meski hanya sebuah permainan, punya cara ajaib untuk menyatukan bangsa ini, meski hanya sesaat.
Aku kembali menatap Nana dan Iliana. Dunia bisa saja terbakar di luar sana, tapi di sini, di meja kayu sederhana ini, hanya ada ketenangan. Aku menyaksikan Nana meniup sesendok mie agar tak terlalu panas sebelum menyuapkan ke Iliana. Aku melihat Iliana yang menggigit mie dengan semangat, pipinya menggembung seperti tupai kecil. Aku mendengar tawa mereka, merasakan kehadiran mereka.
Dan aku mengerti satu hal: cinta adalah tempat pulang. Ia tidak perlu hingar-bingar, tidak perlu sorak-sorai. Cinta hadir dalam bentuk tawa kecil seorang anak, dalam cara seorang istri menatap suaminya dengan penuh kehangatan, dalam semangkuk mie yang dimakan bersama. Dunia bisa saja bergemuruh dengan krisis, demonstrasi, dan kemacetan, tapi selama ada cinta, selalu ada alasan untuk bertahan.
Aku menatap Nana, lalu tersenyum. Ia membalasnya dengan tatapan yang membuat seluruh dunia seolah mereda. Di sudut kecil restoran ini, kami bertiga duduk bersama, dan aku tahu, aku telah sampai di rumah.