Beberapa hari ini pekerjaan datang bertubi-tubi. Kami terjebak dalam ritme yang tak kenal jeda, seperti roda gila yang terus berputar tanpa rem. Setiap hari kami duduk di meja yang sama, menatap layar yang sama, membalas pesan yang sama dari orang-orang yang berbeda. Mencari hal - hal lama yang pernah kami kerjakan. Waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Entah karena terlalu banyak yang harus diselesaikan atau memang ada dimensi waktu lain yang sedang mempermainkan kami.
Kemarin, akhirnya kami bisa mencuri sedikit waktu untuk duduk dan makan bersama. Aku, Ulung, dan Iqlima memilih sebuah tempat makan sederhana, Wedangan Gareng, kata Ulung adalah terbaik di Solo, kata Iqlima adalah representasi sejati dari cita rasa Solo. Meja kayu panjang, kursi, dan aroma bakaran hangat yang mengepul dari piring-piring di depan kami, tak lupa nasi bandeng.
Saat suapan nasi bandeng pertama mendarat di mulut, percakapan justru melayang jauh ke Amerika. Tentang PNS deadwood yang di sana ditawari pensiun dini. Barangkali, lebih baik memberi jalan bagi generasi baru daripada terus mempertahankan yang sudah kehilangan gairah. Kami tertawa kecil, tapi dalam hati masing-masing mungkin bertanya-tanya juga.
Pagi ini setelah jalan kaki pagi di Manahan, kami kembali ke kantor. Lagu-lagu JKT48 mengalun dari speaker kecil di meja Ginanjar, menemani kami bertiga yang duduk sebaris. Kami bertiga menyukainya, sementara di sisi lain, Bu Ning hanya bisa menggelengkan kepala. “Ini lagu apa?” tanyanya dengan nada heran.
Siapa sangka, kata Iqlima, orang-orang yang dulu kami anggap konyol karena setiap stres sedikit langsung berkata “Ayo ngopi”, kini adalah kami sendiri. Setiap kali pekerjaan terasa menekan, kalimat itu seolah menjadi mantra. Tak perlu menunggu sampai benar-benar pusing, cukup ada satu masalah kecil saja, pasti akan mengucapkannya, dan langsung bergegas membeli kopi.
Siang itu, setelah Jumatan, aku membonceng di belakang NMAX hitam Ulung. Lampu merah menyala di perempatan, dan di sela menunggu, ia masih saja membahas pekerjaan. Aku hanya mendengarkan, tak ingin menambah beban pikirannya. Tapi mungkin karena terlalu tenggelam dalam diskusi, saat lampu hijau menyala, ia malah salah belok jalan.
Untuk pertama kalinya aku melihat Ulung membawa motor dengan kecepatan yang tidak biasa. Kami melaju ke Warmindo Riverside, sebuah tempat sederhana di tepi sungai kami jadikan pelarian sementara dari tumpukan pekerjaan. Begitu sampai, kami disambut suara Nresnani yang diputar pelan. Lagu itu terdengar syahdu.
Kami memilih duduk di lantai dua. Dari sana, Bendung Tirtonadi tampak megah, meski airnya mengalir cokelat. Angin siang berembus lembut, membawa sedikit rasa damai di antara kepala yang penuh deadline.
Iqlima? Entah ke mana perginya, dia hanya berkata ingin berkeliling kota, tanpa tujuan. Aku bisa membayangkan dia melajukan motornya pelan, menyusuri jalan-jalan Solo yang ramai, melihat orang-orang berlalu-lalang tanpa benar-benar memperhatikan mereka. Mungkin itu caranya melepas kepenatan. Tidak dengan mengobrol, tidak dengan mendengar musik, hanya dengan bergerak, membiarkan pikirannya mengembara sejauh roda motornya berjalan.
Kembali ke kantor, hari ini aku harus menjawab konsultasi perpajakan lewat WhatsApp. Seperti biasa, pesan-pesan berdatangan tanpa henti. Beberapa pertanyaan terasa sederhana, tapi sebagian lainnya cukup rumit hingga membuatku harus berpikir dua kali sebelum menjawab. Untung ada Mbak Nita, yang dengan sigap membantu menyelesaikan sebagian besar pekerjaan. Tanpa bantuannya, mungkin aku masih berkutat dengan tumpukan pesan hingga tengah malam.
Ada juga tugas lain yang tak kalah asyik: menulis narasi untuk hal-hal yang belum atau bahkan tidak ada buktinya. Tugas yang awalnya terdengar absurd, tetapi nyatanya sangat nyata dan butuh diselesaikan. Kami menciptakan sesuatu dari ketiadaan, menyusun kalimat demi kalimat hingga akhirnya terlihat masuk akal.
Pukul 18.20, akhirnya kami bisa bernapas lega. Aku, Ginanjar, dan Iqlima menutup laptop dengan perasaan puas. Hari ini selesai. Kami pun berfoto bersama, diabadikan oleh Bu Ning yang sejak tadi menemani kami bekerja, beliau memang luar biasa.
Malamnya, begitu sampai rumah, Iliana langsung berteriak senang melihatku pulang. Aku tak tahu apakah dia benar-benar gembira atau sekadar menyalurkan energi anak kecilnya yang tak ada habisnya. Aku menaruh tas, lalu mengajaknya melihat ikan-ikan di galon. Beberapa hari lalu aku membeli ikan baru, dan ternyata kini mereka telah beranak-pinak dengan jumlah yang tak terduga. Iliana tertawa kecil melihat ikan-ikan kecil itu berenang riang, sementara aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Aku mandi, lalu menyalakan TV untuk menyimak hasil sidang isbat. Setelah pengumuman resmi keluar, aku segera bergegas ke masjid untuk tarawih pertama. Ada sesuatu yang menenangkan dalam tarawih pertama Ramadan—entah karena suasana yang lebih khusyuk, atau karena kesadaran bahwa sebentar lagi kita akan menjalani hari-hari yang lebih teratur, semoga.
Pulang dari masjid, aku mampir ke penjual sate di dekat Tugu Boto. Aroma sate yang dibakar langsung membangkitkan selera. Aku membawa pulang beberapa tusuk, makan dengan perlahan, menikmati setiap gigitan.
Aku merasa bersyukur memiliki rekan kerja yang pekerja keras. Dalam kelelahan yang hampir menjadi rutinitas, dalam pekerjaan yang sering kali absurd dan membingungkan, mereka tetap berjuang. Ginanjar dengan lagu-lagu JKT48-nya yang entah bagaimana menjadi doping semangat. Iqlima tetap saja selalu sibuk dan sigap namun tetap berusaha bercerita ataupun mendengarkan apapun. Ulung dengan kebiasaannya mendadak filosofis di tengah keputusasaan, seolah-olah mencari makna yang lebih dalam dari sekadar pekerjaan yang menumpuk.
Mereka semua, tanpa disadari, adalah bagian dari alasan aku masih bisa bertahan dalam ritme kerja yang kerap melelahkan. Kadang kami tertawa, kadang kami mengeluh, tapi pada akhirnya kami tetap menyelesaikan semuanya—entah bagaimana caranya.
Malam itu, setelah makan sate dan tidur sejenak, aku terbangun sekitar pukul tiga dini hari. Aku mendengar suara gerimis di luar jendela. Tidak deras, hanya rintik-rintik halus yang jatuh pelan di atap rumah, seperti suara yang ingin bercerita tanpa mengganggu. Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan ke dapur, dan menuangkan segelas air putih, menggoreng telur ceplok.
Di sudut kasur, Iliana tertidur dengan posisi yang entah bagaimana bisa membuat tubuh kecilnya terlihat seperti akrobat cilik. Aku merapikan selimutnya, lalu duduk di dekatnya sebentar.
Di luar sana, bulan samar tertutup awan tipis. Pukul 3 pagi aku mengingat kembali hari-hari yang baru saja berlalu—rapat, deadline, obrolan singkat di lampu merah, diskusi ngawur di warmindo, foto bersama di akhir hari. Betapa semuanya terasa melelahkan, tetapi sekaligus menyenangkan.
Ada banyak alasan. Ada tanggung jawab. Ada perasaan ingin membuktikan sesuatu. Ada impian kecil yang kadang terselip di antara file dan dokumen. Ada juga hal-hal sederhana, seperti tertawa bersama rekan kerja, berbagi keresahan yang sama, atau sekadar mendengar komentar Bu Ning tentang lagu-lagu yang kami putar.
Kini, di tengah sunyi dini hari, aku kembali mengulang memori itu dalam hati.
Karena kami belum menemukan alasan untuk pergi.
Karena, mungkin, di balik semua kelelahan ini, ada sesuatu yang masih ingin kami jalani. Sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka, tapi terasa setiap kali kami menyelesaikan satu tugas lagi, satu hari lagi, satu pekan lagi.
Di luar, hujan masih turun pelan, pelan sekali. Aku kembali ke kamar, menarik selimut, lalu memejamkan mata.
Besok, pagi akan datang lagi, roda ini akan berputar lagi.