Fitrah

Langit sore itu seperti kanvas yang dihamparkan Tuhan dengan penuh kelembutan. Gumpalan awan putih menggantung di cakrawala, berarak pelan seakan mengiringi langkahku dan Iliana yang berdiri tegak di jalanan sepi itu. Aku, dengan baju hitam mengangkat tanganku, mengepalkan jemari seolah hendak meraih sesuatu di angkasa. Dan di sampingku, Iliana menirukan gerakan itu dengan kepolosan yang begitu indah. Iliana, putriku, berdiri dengan gaun putihnya, matanya menatap langit dengan binar penuh harapan.

Aku tersenyum, sebab di momen itu aku melihat fitrah yang begitu murni. Seorang anak, yang belum ternodai kebingungan dunia, yang belum paham tentang ketidakadilan atau pengkhianatan. Yang hanya tahu bahwa di sampingnya ada bapaknya, dan jika bapaknya mengangkat tangan untuk melawan sesuatu, maka ia pun akan ikut mengangkat tangannya.

Dan bukankah begitu seharusnya? Fitrah manusia adalah menolak ketidakadilan, menolak penindasan, menolak segala bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Aku ingin Iliana tumbuh sebagai anak yang mengenal cinta, mengenal kasih sayang, mengenal keikhlasan. Tapi aku juga ingin ia tahu, bahwa dalam hidup ada saatnya seseorang harus berdiri, harus berkata tidak, harus mengepalkan tangan untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Hari itu, tanggal 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Perubahan ini membuka jalan bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan di 14 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun. Bagi sebagian, ini mungkin dianggap langkah strategis untuk memperkuat sinergi antara militer dan sipil. Namun, bagi banyak lainnya, termasuk diriku, ini adalah langkah mundur yang mengancam prinsip supremasi sipil dalam demokrasi kita.

Aku menatap Iliana yang menengadah padaku dengan mata polosnya. Dalam benaknya yang masih belia, mungkin belum terlintas apa arti semua ini. Namun, sebagai bapak, aku merasa bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan sejak dini. Aku ingin Iliana tumbuh di negeri yang menghargai hak asasi, di mana militer dan sipil memiliki peran dan batasan yang jelas, sehingga tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang otoriter.

Dengan lembut, aku menatapnya seolah berkata padanya, “Nak, hari ini kita berdiri di sini bukan hanya sebagai bapak dan anak, tapi sebagai bagian dari rakyat yang peduli pada masa depan negeri ini. Kita menolak revisi UU TNI karena kita ingin Indonesia tetap menjadi negara yang demokratis, di mana setiap orang memiliki hak dan kebebasan yang sama.”

Iliana mengangguk kecil, meski mungkin belum sepenuhnya memahami. Namun, aku yakin, suatu hari nanti, ia akan mengerti betapa pentingnya sikap kami hari ini. Bahwa diam adalah bentuk pengkhianatan paling sunyi. Bahwa tidak semua yang datang dari penguasa harus diterima begitu saja. Bahwa rakyat punya suara, bahwa rakyat punya hak untuk melawan.

Mungkin bagi Iliana, ini hanyalah permainan menirukan bapaknya. Tapi suatu hari nanti, ia akan mengerti. Bahwa dalam hidup, fitrah manusia bukan hanya sekadar menerima. Fitrah manusia juga adalah berjuang.

Kami pun melangkah bersama, menyuarakan #tolakrevisiuutni dengan harapan, agar generasi Iliana kelak dapat hidup di Indonesia yang lebih baik, di mana demokrasi dan hak asasi manusia dijunjung tinggi, dan di mana setiap anak dapat tumbuh dengan bebas dan merdeka.

Malam itu, Jakarta bergetar bukan karena gempa, tapi oleh suara jeritan, dentuman sepatu lars, dan raungan sirene yang tak kunjung berhenti. Di berbagai sudut kota, jalan-jalan yang siang tadi penuh dengan lalu lalang kini berubah menjadi medan perang. Asap putih mengepul dari selongsong gas air mata, menyelimuti jalanan seperti kabut di puncak gunung, tapi baunya tajam, menusuk paru-paru, membuat mata pedih, membuat orang-orang tersungkur sambil terbatuk-batuk.

Aku membaca berita yang bertubi-tubi masuk ke ponselku. Jakarta, Semarang, Sulawesi Utara, Yogyakarta—semuanya sama. Polisi dan tentara dikerahkan, datang dalam truk-truk besar, wajah mereka tanpa ekspresi, mata mereka kosong, seolah-olah di balik seragam itu bukan lagi manusia, tapi mesin yang digerakkan oleh perintah.

Seorang mahasiswa, Aidan, dari kampus ternama di ibu kota, kepalanya bocor dipukuli, KTP dan ponselnya dirampas. Radit, kawannya, mengalami nasib yang sama. Di sudut lain, seorang pengemudi ojek online yang hanya kebetulan ada di sana, yang hanya sedang mengecas ponselnya di bawah flyover JCC, dikeroyok oleh dua puluhan Brimob tanpa alasan. Ia sudah berkata, “Saya bukan mahasiswa, Pak,” tapi bagi mereka, siapa pun yang ada di tempat itu adalah musuh. Pentungan menghantam kepala, tendangan mengenai perut, dan ia terkapar tanpa daya.

Di Semarang, para mahasiswa yang hanya ingin menyampaikan suara mereka justru menjadi sasaran kekerasan. Di Yogyakarta, massa aksi dikurung di dalam gedung DPRD DIY, dikepung oleh aparat dan ormas yang siap menghantam mereka kapan saja. Di Sulawesi Utara, bentrokan antara polisi dan pendemo semakin panas, rakyat melawan, dan aparat tak segan-segan membalas dengan pentungan dan gas air mata.

Lalu datanglah berita yang membuatku tercengang. Kantor Tempo dikirimi paket teror. Sebuah kotak, dikirim tanpa nama pengirim, berisi kepala babi yang telinganya dipotong. Aku memejamkan mata, menarik napas panjang. Ini bukan sekadar represi. Ini teror. Ini intimidasi yang ingin membuat siapa pun yang bersuara menjadi diam.

Aku mengusap wajah, merasa lelah bukan karena kantuk, tapi karena kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan.

Bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya bahwa negara yang seharusnya melindungi, justru menjadi algojo bagi rakyatnya sendiri? Bahwa demokrasi yang selalu kami banggakan ternyata hanya ilusi? Bahwa ada orang-orang yang seharusnya menjaga rakyat, tapi justru mengkhianati mereka?

Aku teringat siang tadi, ketika aku dan Iliana berdiri di bawah langit yang biru, mengepalkan tangan bersama. Saat itu aku berkata kepadanya bahwa fitrah manusia bukan hanya menerima, tapi juga berjuang. Tapi malam ini, aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya aku menjelaskan bahwa di negeri ini, bahkan fitrah manusia pun bisa dihancurkan dengan sepatu lars dan tameng baja?

Aku membayangkan Iliana tumbuh besar, bertanya kepadaku tentang malam ini, tentang hari-hari di mana rakyat dipukuli oleh mereka yang seharusnya melindungi. Aku membayangkan wajahnya yang polos dipenuhi kebingungan, bertanya, “Bapak, kenapa mereka melakukan itu?”

Dan aku tahu, aku harus punya jawaban.

Maka malam ini, meskipun tubuhku lelah dan pikiranku dipenuhi amarah, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan diam. Aku tidak akan membiarkan Iliana tumbuh di negeri yang memperlakukan rakyatnya seperti musuh. Aku tidak akan membiarkan sejarah berulang tanpa ada yang melawan.

Besok, aku akan kembali mengepalkan tangan. Demi Iliana. Demi semua anak yang harus tumbuh di negeri ini. Demi masa depan yang lebih baik.

Malam ke-21 Ramadan. Malam yang sunyi, tapi tidak benar-benar tenang. Di dalam masjid ini, aku duduk bersila di atas sajadah, tanganku terangkat, mulutku bergerak pelan merangkai doa-doa yang mengalir dari hati. Tapi pikiranku melayang jauh, menembus tembok-tembok masjid, melintasi jalan-jalan berdebu, menyusuri gang-gang kota yang kini dipenuhi asap gas air mata dan jejak-jejak sepatu lars.

Aku membayangkan mereka—pemuda-pemuda yang malam ini turun ke jalan, yang membawa suara rakyat di pundak mereka, yang tidak punya senjata selain keberanian. Aku membayangkan wajah-wajah mereka yang mungkin kini sedang memar, mata mereka yang perih, tubuh mereka yang lelah tapi tak menyerah. Aku berdoa untuk mereka, semoga tak ada satu pun yang jatuh malam ini, semoga tidak ada satu nyawa pun yang direnggut oleh tangan-tangan yang semestinya melindungi.

Suara imam mengalun dari mimbar, ayat-ayat suci menggema di dalam ruang masjid yang dingin. Aku menutup mata, membiarkan kalimat-kalimat Ilahi itu menyusup ke dalam dadaku, mencoba menguatkan hatiku yang diliputi resah. Tapi di luar sana, malam masih gelisah.

Kabar terakhir yang kuterima sebelum ponselku kehabisan baterai membuat hatiku semakin sesak. Teman-teman yang terkepung di Yogyakarta masih bertahan di dalam gedung DPRD. Mahasiswa yang dipukuli di Jakarta masih terbaring di ruang gawat darurat yang penuh sesak. Andriana, kawan dari Uhamka, masih menunggu giliran operasi. Sementara aparat terus bergerak, semakin banyak truk yang datang, semakin banyak tangan yang siap mengayunkan pentungan.

Aku menarik napas panjang.

Dulu, di buku-buku sejarah yang kubaca sewaktu kecil, tertulis bahwa rakyat pernah melawan tirani. Bahwa pemuda-pemuda pernah turun ke jalan, menolak ketidakadilan, memperjuangkan demokrasi. Dulu aku percaya bahwa zaman itu sudah berlalu, bahwa negeri ini telah belajar dari masa lalunya. Tapi malam ini, sejarah itu kembali terulang. Dan seperti dulu, rakyat kembali sendirian dalam perlawanan ini.

Aku menundukkan kepala, sujud lama sekali.

Di dalam sujud itu, aku merasa begitu kecil di hadapan Tuhan, merasa begitu lemah di hadapan dunia yang semakin kejam. Tapi justru dalam sujud itu, aku merasa dekat dengan mereka yang sedang berjuang di luar sana.

Karena di sinilah titik terendah manusia di hadapan Tuhannya, tapi juga titik tertinggi dari sebuah keteguhan.

Malam ini aku tidur di masjid, membiarkan dingin lantai marmer membalut tubuhku yang letih. Tapi aku tahu, esok, saat fajar menyingsing dan azan Subuh menggema, aku akan bangun dengan hati yang lebih kuat.

Karena perjuangan belum selesai.

Dan doa ini, meskipun terdengar sunyi, akan tetap melangit.