Di antara riuhnya suara piring yang beradu, hiruk-pikuk orang-orang yang antre, dan aroma masakan yang mengepul, seorang gadis kecil berdiri di ujung jari-jarinya. Dengan tangan mungil yang terangkat, ia mencoba meraih sesuatu di balik kaca etalase. Begitu banyak pilihan di hadapannya—ayam goreng yang keemasan, sayur berkuah, lauk-lauk berjejer rapi. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia di sini, bahwa ia juga ingin memilih.
Aku mengamatinya dari kejauhan, tersenyum melihat keteguhan hatinya. Iliana belum paham soal batasan dunia orang dewasa—tentang bagaimana segala sesuatu harus tertib, tentang bagaimana semua harus mengikuti aturan. Yang ia tahu, jika ia ingin sesuatu, ia hanya perlu menggapainya.
Bukankah begini juga cara hidayah bekerja?
Ia sering hadir seperti anak kecil yang berdiri dengan tangan terangkat tinggi—menunggu seseorang menyadari kehadirannya, menunggu untuk diperhatikan. Terkadang, hidayah datang dari sesuatu yang sederhana, sesuatu yang selama ini luput dari pandangan. Dari keberanian seorang anak yang tak takut mencoba. Dari keyakinannya bahwa jika ia bersungguh-sungguh, seseorang pasti akan datang untuk membantunya.
Aku berpikir, berapa banyak kesempatan hidayah datang kepadaku, tapi aku tak menyadarinya? Berapa banyak pelajaran hidup yang Tuhan sisipkan dalam kejadian sehari-hari, tapi aku terlalu sibuk untuk menangkapnya?
Di warung makan ini, Iliana mengajarkanku sesuatu. Bahwa dalam hidup, terkadang kita hanya perlu sedikit keberanian untuk mengulurkan tangan, untuk menunjukkan keinginan, untuk percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari diri kita yang sedang mengatur segalanya. Bahwa tak perlu ragu, karena di balik kaca yang membatasi, selalu ada seseorang yang siap menyajikan apa yang terbaik untuk kita.