Hikmah

Langit mendung menggantung rendah, seolah enggan memberi ruang bagi matahari untuk bersinar penuh. Jalanan di depan rumah basah oleh sisa hujan yang turun pagi tadi, meninggalkan genangan kecil di beberapa sudut aspal hitam. Tidak ada suara riuh kendaraan, tidak ada langkah-langkah tergesa. Hanya sepi, hanya angin yang berhembus perlahan, membawa kesejukan yang samar.

Aku berdiri di depan rumah, memandang ke arah jalan yang seakan tiada ujung. Jalan yang tak pernah berubah, tapi selalu memberi makna berbeda setiap kali aku menatapnya. Hari ini, jalan itu mengajarkan hikmah.

Hikmah sering kali hadir dalam sunyi. Ia tak selalu datang dalam bentuk kejadian luar biasa. Kadang, ia menyelinap dalam hal-hal sederhana yang kita temui sehari-hari—dalam keheningan jalanan setelah hujan, dalam udara segar yang mengisi paru-paru, dalam ketenangan yang terasa setelah sekian lama terburu-buru.

Ramadhan pun penuh dengan hikmah yang tersembunyi. Di balik rasa lapar, ada kesadaran bahwa tidak semua orang bisa makan kapan pun mereka mau. Di balik haus, ada pelajaran bahwa nikmatnya seteguk air bukan hal yang bisa dianggap remeh. Di balik letihnya menahan diri, ada pengertian bahwa hidup bukan sekadar memenuhi keinginan, tetapi juga memahami batasan.

Seperti jalan ini, kehidupan sering kali terasa sunyi dan panjang. Kadang kita berjalan tanpa tahu apa yang ada di ujungnya. Kadang kita harus melewati genangan, menyesuaikan langkah agar tak tergelincir. Tapi bukankah di setiap perjalanan, selalu ada pelajaran yang bisa diambil?

Langkah kecil yang kita ambil hari ini, doa-doa yang kita bisikkan dalam sujud, kesabaran yang kita latih saat menunggu waktu berbuka—semuanya akan membawa kita menuju sesuatu yang lebih besar. Karena hikmah sejati bukan hanya ditemukan di akhir perjalanan, tetapi juga di setiap langkah yang kita tempuh menuju ke sana.