Husnuzan

Malam itu, Iliana duduk di kursinya, dagunya bertumpu pada tangan mungilnya. Matanya menatap jauh ke luar jendela, mungkin memikirkan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh seorang bocah. Cahaya lampu memantul di kaca, memantulkan dunia yang begitu luas dan asing baginya.

Aku memandangnya lama. Ada sesuatu yang menggetarkan hatiku. Anak ini, dengan rambutnya yang masih basah, dengan gaun mungilnya yang dihiasi bunga-bunga kecil, belum tahu bahwa di luar sana, dunia sedang bergerak dalam kekacauan. Ia belum tahu bahwa beberapa waktu ini, di negeri ini, seseorang baru saja menerima paket berisi kepala babi. Ia belum tahu bahwa Tempo baru saja mendapat kiriman bangkai tikus yang dipenggal. Ia belum tahu bahwa kebebasan berbicara, kejujuran, dan keberanian sedang diuji dengan cara yang paling menjijikkan.

Aku membaca berita itu sambil menatapnya. Husnuzan, kata orang, adalah bagian dari iman. Berbaik sangka kepada sesama, percaya bahwa dunia masih menyimpan kebaikan. Tapi bagaimana caranya aku bisa husnuzan, ketika ada orang-orang yang menganggap kepala babi dan bangkai tikus sebagai alat komunikasi? Bagaimana aku bisa husnuzan, ketika ada yang menertawakan ancaman kepala babi itu, bahkan berkata, “Udah dimasak aja”

Tapi ada yang lebih jahat. Ada yang menulis “Dalam medan perang informasi, narasi dikirimi kepala babi lebih menguntungkan pihak yang seolah-olah jadi korbannya. Strategi drama playing victim begini memang cocok diterapkan dalam kondisi ramai-ramainya pembahasan RUU TNI. Tak peduli segala tuduhan mereka terhadap UU tersebut ternyata salah. Silakan dipikirkan dengan kepala jernih, apa untungnya meneror media massa? Apakah akan membuat mereka takut atau justru membuat senang karena dapat dukungan publik dan jualannya laku? Siapa yang paling diuntungkan dari peristiwa ini?”

Tuduhan itu jahat. Bukan hanya karena ia datang tanpa dasar, bukan hanya karena ia menampar logika, tetapi karena ia berusaha mencabut sesuatu yang paling hakiki dalam sebuah perjuangan: kebenaran.

Seorang jurnalis menerima teror. Sebuah kantor berita dikirimi kepala babi, lalu bangkai tikus. Pesan yang tak perlu ahli kriptografi untuk menafsirkannya: ini adalah intimidasi. Ini adalah ancaman. Ini adalah upaya membungkam. Tapi alih-alih berempati, alih-alih mengecam kekerasan itu, ada yang memilih menuduh, memilih mencurigai, memilih mengatakan bahwa ini hanyalah sandiwara murahan demi simpati.

Sungguh, tuduhan semacam ini lebih kejam dari pengirim paket itu sendiri. Sebab teror fisik memang menyakitkan, tapi tuduhan ini lebih menusuk: ia membalikkan realitas, mengubah korban menjadi dalang, menyulap ketakutan menjadi strategi. Ia mencoba membunuh bukan hanya kebenaran, tapi juga keberanian.

Dan di medan perang informasi, kebusukan sering menyamar sebagai kebijaksanaan. Mereka yang ingin membelokkan kenyataan akan berbicara dengan tenang, seolah-olah mengajak berpikir, seolah-olah ingin kita lebih bijak dalam membaca peristiwa. “Silakan dipikirkan dengan kepala jernih,” kata mereka. Tapi apakah benar ini ajakan untuk berpikir? Atau justru jebakan agar kita kehilangan nalar?

Seolah-olah sejarah tak pernah mencatat bagaimana kekuasaan bekerja. Seolah-olah kita harus percaya bahwa dalam dunia ini, tak ada pihak yang cukup berani untuk meneror media, bahwa semua perlawanan selalu dimulai dari niat jahat para pembangkang, bahwa kekuasaan selalu suci.

Mereka ingin kita ragu, mereka ingin kita mempertanyakan: “Apa untungnya meneror media?” Seolah-olah dalam sejarah, menekan kebebasan pers bukanlah strategi klasik yang sudah dimainkan berkali-kali oleh rezim yang takut pada kebenaran.

Tapi kita tak lupa. Kita tahu, tuduhan ini adalah cerminan dari ketakutan—ketakutan bahwa narasi mereka tidak cukup kuat, bahwa argumen mereka goyah. Maka mereka menyerang bukan dengan fakta, tapi dengan tuduhan. Bukan dengan kejujuran, tapi dengan dusta yang berbalut kecerdasan palsu.

Dan kita, yang menyaksikan ini semua, hanya perlu mengingat satu hal: bahwa jika ada yang ingin membungkam suara kebenaran, itu karena suara itu sedang berada di jalur yang benar.

Aku kembali menatap Iliana. Ada doa yang tak terucap dalam hatiku. Aku ingin ia tumbuh di dunia yang lebih baik dari ini. Di dunia di mana kebenaran tidak perlu dibayar dengan teror. Di dunia di mana suara yang jujur tidak perlu digantikan dengan suara yang takut. Di dunia di mana ia bisa bertanya, “Bapak, kenapa harus husnuzan?” dan aku bisa menjawabnya dengan bangga, bukan dengan getir.

Tapi malam ini, aku hanya bisa duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang kecil, dan berharap bahwa saat ia besar nanti, ia akan hidup di dunia yang tak lagi mengenal bangkai sebagai pesan.