Pagi itu, aku berangkat lebih awal dari biasanya. Bukan dengan sepeda seperti hari-hari lain, melainkan dengan Scoopy pink. Sudah kuduga, hari ini akan panjang. Malam mungkin baru akan menyambutku di jalan pulang, ketika lampu-lampu kota sudah lebih terang daripada langitnya. Maka, dengan sedikit berat hati, aku meninggalkan sepeda yang biasa menjadi sahabat perjalanan.
Sesampainya di kantor, pekerjaan sudah menunggu tanpa basa-basi. Berkas-berkas menumpuk, membutuhkan tangan-tangan yang teliti untuk menyusunnya. Aku dan teman-teman segera tenggelam dalam dunia angka, surat, dan dokumen yang tak bisa dibiarkan menggantung. Waktu berjalan dengan kecepatan yang tidak bisa diajak kompromi. Seolah baru beberapa saat yang lalu matahari masih bersinar garang di atas kepala, tahu-tahu sudah pukul 15.30.
Aku menarik napas dalam, lalu mulai menyusun konsep permohonan lembur. Hingga pukul 20.00, kami harus memastikan semua selesai. Seiring waktu, satu per satu teman-teman mulai pulang. Mbak Nita menyelesaikan tugasnya lebih dulu, lalu berpamitan. Tak lama, Bu Ning menyusul, tapi tidak sebelum memastikan kami yang masih bertahan memiliki sesuatu untuk berbuka nanti. Ia membelikan jajanan—hal sederhana yang menghangatkan hati.
Kemudian, Ulung pulang pukul 17.20. Ia memiliki janji berbuka di Grandis Barn, Jalan Adisucipto Colomadu, bersama atasannya dari kantor lama. Tinggallah aku, Ginanjar, Iqlima, Yesinta, dan Bu Herlin yang tetap bertahan di kantor.
Pukul 17.30, kami memutuskan untuk keluar sebentar, mencari sesuatu yang segar untuk berbuka. Langit sore Manahan berwarna keemasan, udara mulai mendingin, dan jalanan dipenuhi oleh orang-orang yang juga berburu takjil. Kebetulan, lokasi kantor kami cukup dekat dengan Pasar Takjil Romansa Ramadan—sebuah surga kecil bagi siapa pun yang ingin menikmati hidangan berbuka dengan cita rasa khas bulan suci.
Begitu sampai di sana, suasana langsung menyergap kami. Aroma gorengan, harum rempah dari sate-sate yang dibakar, serta manisnya wangi es buah bercampur di udara. Penjual menawarkan dagangannya dengan penuh semangat, anak-anak berlarian kecil mengikuti orang tua mereka yang tengah memilih makanan, sementara deretan gerobak dan tenda penuh warna membentuk jalur yang tak putus oleh lautan manusia.
Tanpa berpikir lama, kami langsung membeli magic water—minuman yang entah bagaimana selalu berhasil menyegarkan tenggorokan setelah seharian berpuasa. Teh tarik Jodi juga tak ketinggalan, dengan rasa manisnya yang khas dan buih lembut yang menggoda. Lalu ada sate cumi, harum dan berbumbu pekat, siap menjadi teman berbuka yang sempurna.
Namun, Iqlima tampaknya belum puas. Ia berjalan lebih jauh, berputar-putar di antara tenda-tenda, sesekali berhenti di satu lapak, mengamati, lalu melanjutkan langkahnya lagi.
“Nyari apa ma?” tanyaku sambil mengangkat kantong belanjaan.
Ia tersenyum kecil. “Barangkali ada yang bisa dibeli lagi,” jawabnya santai. “Atau… aku cuma ingin lebih lama di sini biar pikiran segar lagi, hahaha.”
Aku tertawa kecil. Aku tahu maksudnya. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam hiruk-pikuk seperti ini—merasakan kebersamaan tanpa harus berbicara, menghirup udara sore yang bercampur aroma makanan, melihat orang-orang tersenyum saat menemukan takjil favorit mereka, jeda dari menatap layar sejak pagi tadi.
Kami kembali ke kantor dengan langkah lebih tenang. Seperti membawa pulang sedikit suasana sore Manahan, sedikit kebahagiaan yang terasa begitu sederhana.
Ketika azan Magrib berkumandang, seluruh hiruk-pikuk pekerjaan yang sejak tadi menyita perhatian kami seakan berhenti sejenak. Kami saling berpandangan, lalu tersenyum kecil—sebuah tanda tak terucap bahwa akhirnya momen yang ditunggu-tunggu telah tiba. Lelah yang menumpuk sejak pagi seperti menemukan jeda, meskipun hanya sesaat.
Di atas meja, tersaji kurma segar dari Bu Herlin. Kami mengambil satu per satu, merasakan manisnya yang lembut, seakan menjadi penghapus dahaga yang sejak tadi bersembunyi di tenggorokan, Ginanjar terkejut karena dinginnya, tapi kurma itu sudah terlanjur masuk ke mulut, Iqlima bilang teksturnya mirip es gabus jadul. Segala jenis jajanan yang sempat kami beli tadi siang pun kini dibuka—magic water dengan es dingin yang menarik dan sate cumi yang aromanya langsung menguar, menggoda perut yang sejak tadi diam dalam keheningan puasa.
Kami duduk mengelilingi meja, menikmati takjil sederhana ini bersama. Ada kebahagiaan tersendiri dalam kebersamaan seperti ini—tanpa kata-kata berlebihan, hanya ada kehangatan yang mengalir begitu saja. Di sela-sela kunyahan, percakapan ringan mengalir. Aku memameri Ginanjar dan bercanda tentang betapa nikmatnya magic water yang ku beli, seolah-olah itu adalah minuman terbaik yang pernah ada.
Tapi, tak ada waktu berlama-lama. Ini bukanlah buka puasa yang bisa dinikmati dengan santai di rumah bersama keluarga, di mana setelahnya bisa berselonjor kaki atau sekadar berbincang santai. Ada tanggung jawab yang masih menunggu. Setelah meneguk tegukan terakhir dari minuman masing-masing, kami segera beranjak ke mushola kecil di kantor.
Shalat Magrib berlangsung dalam keheningan yang syahdu, memberikan keteduhan setelah seharian penuh dengan angka, berkas, dan deadline. Saat sujud, ada jeda sejenak di mana aku bisa menghela napas dalam-dalam, membiarkan tubuh yang lelah merasakan ketenangan barang sejenak.
Selesai shalat, kami kembali ke meja masing-masing. Sisa pekerjaan menanti, seperti bentangan lautan yang belum sepenuhnya diseberangi. Kami saling berpandangan, seakan membaca pikiran satu sama lain—ini akan menjadi malam yang panjang. Dengan semangat yang masih tersisa, kami kembali tenggelam dalam tumpukan dokumen di layar monitor, berusaha menyelesaikan segala yang harus dituntaskan sebelum hari benar-benar berakhir.
Jam terus berjalan. Satu per satu kembali berpamitan. Pukul 19.00, Yesinta pulang. Kini hanya tersisa aku, Ginanjar, dan Iqlima. Dan Bu Herlin—sosok yang luar biasa.
Di titik ini, aku benar-benar memahami makna ihsan. Bukan sekadar bekerja, bukan sekadar memenuhi kewajiban, tetapi tentang memberi lebih dari yang diminta, tentang menghadirkan kesungguhan dalam setiap hal yang dilakukan. Malam ini, di bawah cahaya lampu kantor yang mulai terasa redup oleh kelelahan, aku menyaksikan sendiri bagaimana ihsan itu hidup dalam sosok Bu Herlin.
Beliau bukan hanya menemani kami, bukan hanya menjadi saksi atas kerja keras kami malam ini, tapi lebih dari itu—beliau mengarahkan, membimbing, memastikan setiap detail terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Tak ada setengah-setengah dalam dirinya. Tak ada keluhan, tak ada tanda bosan, padahal waktu sudah jauh melewati jam kerja normal. Sementara orang-orang lain mungkin sudah bersantai di rumah, menikmati waktu bersama keluarga, beliau masih di sini, berdiri di antara kami, matanya meneliti setiap dokumen dengan ketelitian luar biasa.
Aku memperhatikan gerak-geriknya. Cara beliau mengecek satu per satu lembar kerja, cara beliau memberi catatan kecil yang membuat kami mengangguk paham, cara beliau mengingatkan kami dengan suara lembut tetapi penuh ketegasan. Tidak ada sedikit pun kesan bahwa ini adalah beban baginya. Seolah-olah ini adalah hal yang memang sudah seharusnya ia lakukan, bukan karena terpaksa, bukan karena tuntutan jabatan, tetapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa menerima pekerjaan setengah jadi. Harus sempurna. Harus benar. Harus memberikan manfaat.
Aku belajar banyak malam ini. Bekerja, rupanya bukan sekadar tentang menyelesaikan tugas, bukan hanya soal memenuhi target. Lebih dari itu, bekerja adalah tentang memberi yang terbaik. Untuk diri sendiri, agar kelak aku bisa melihat hasil kerja ini dengan bangga, tanpa penyesalan. Untuk tim, agar kami semua bisa berdiri bersama, tumbuh bersama, saling mendukung dan menguatkan. Dan untuk orang-orang yang nantinya akan menerima hasil kerja kami, agar mereka bisa merasakan manfaat dari apa yang kami lakukan, meskipun mungkin mereka tak pernah tahu siapa yang bekerja di baliknya.
Aku berpikir, barangkali inilah yang disebut dedikasi. Barangkali inilah yang membedakan antara mereka yang sekadar bekerja dan mereka yang benar-benar mengabdikan diri pada pekerjaannya. Aku melihat itu dalam sosok Bu Herlin. Dan malam ini, dalam lelah yang terasa semakin berat, aku merasa bersyukur bisa belajar langsung dari seseorang yang memahami ihsan bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai bagian dari hidupnya.
Akhirnya, pukul 20.50, semua selesai. Aku menatap layar laptop yang masih menyala, dokumen-dokumen yang kini telah tersusun rapi, dan folder kerja yang beberapa jam lalu penuh dengan berkas kini mulai terlihat lebih lapang. Aku menarik napas panjang, membiarkan udara malam yang mulai dingin mengisi paru-paruku. Hari yang panjang ini akhirnya mencapai ujungnya.
Aku menoleh ke sekeliling. Ginanjar duduk dengan tubuh sedikit bersandar di kursinya, matanya masih menatap layar dengan sisa-sisa fokus yang nyaris habis. Iqlima meregangkan tangannya, melemaskan otot-otot yang pasti terasa kaku setelah berjam-jam duduk. Bu Herlin menutup berkas terakhirnya dengan hati-hati, lalu menatap kami dengan senyum yang mencerminkan kelegaan.
Aku melirik jam di layar laptop. Hampir pukul 21.00. Rasanya seperti baru beberapa saat yang lalu kami memulai pekerjaan ini di pagi hari, tetapi kenyataannya waktu telah berlari begitu cepat, menguji kesabaran dan ketahanan kami.
“Alhamdulillah,” ucap Bu Herlin pelan, penuh rasa syukur.
Kami saling bertukar pandang, lalu tersenyum. Tidak ada sorak sorai, tidak ada tepukan tangan merayakan pencapaian. Yang ada hanyalah kelegaan yang memenuhi dada, kebahagiaan sederhana yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah berjuang hingga titik akhir. Malam ini, kami telah memberikan yang terbaik.
Aku mulai membereskan meja, memasukkan dokumen-dokumen ke dalam tas, memastikan tidak ada yang tertinggal. Lelah masih terasa, tetapi ada perasaan hangat di dalam hati. Perasaan puas karena telah menyelesaikan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Saat kami bersiap untuk pulang, Bu Herlin menatap kami satu per satu. “Terima kasih, ya” katanya tulus.
Aku tersenyum. Rasanya ingin mengatakan bahwa justru kami yang berterima kasih pada beliau—atas arahannya, atas kesabarannya, atas contoh yang diberikan malam ini tentang bagaimana bekerja dengan penuh ihsan. Tetapi aku hanya mengangguk. Kadang, ucapan terima kasih tidak perlu dirangkai dalam kata-kata.
Aku bangga dan bersyukur memiliki teman-teman kerja yang luar biasa—mereka yang bekerja dengan hati, yang tak pernah setengah-setengah dalam setiap tugasnya, yang saling menguatkan di tengah kesibukan. Dalam lelah, selalu ada tawa yang menghidupkan semangat; dalam kesibukan, selalu ada tangan yang siap membantu tanpa diminta. Bekerja bersama mereka bukan sekadar menyelesaikan kewajiban, tetapi juga tentang kebersamaan, tentang belajar satu sama lain, dan tentang menemukan makna dalam setiap hal yang kami lakukan. Di antara deadline yang menghimpit, aku menemukan kenyamanan, dan di antara tumpukan pekerjaan, aku menemukan keluarga.Di perjalanan pulang, jalanan sudah mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar, memberi cahaya di antara gelap yang mulai pekat. Aku menyusuri jalan dengan Scoopy pinkku, merasakan angin malam yang membawa sedikit ketenangan.
Sesampainya di rumah, kelelahan masih menempel di tubuhku seperti bayangan. Tapi sebelum aku sempat benar-benar menghela napas, Iliana sudah menyambutku dengan tawanya yang khas. Ia belum tidur.
Seperti biasa, ia meminta digendong. Matanya berbinar, penuh antusiasme, seolah ia baru saja menemukan kembali dunianya. Aku menurut, mengangkat tubuh kecilnya, merasakan betapa ringannya dunia ketika sedang memeluknya.
Lalu, dengan senyum penuh kepolosan, ia mulai bermain peran. “Iliana tidur…” katanya sambil memejamkan mata pura-pura, kemudian membuka kembali dengan tawa kecil yang renyah. Aku tertawa, membalas permainannya. Sesederhana ini, tapi rasanya seperti semua kelelahan hari ini langsung luruh.
Aku ingin berlama-lama dengannya, tapi tubuhku mengingatkan bahwa aku belum mandi, belum shalat Isya. Dengan berat hati, aku menurunkannya sebentar, lalu bergegas menyelesaikan semuanya. Setelah shalat Isya lanjut tarawih, aku membaca Al-Qur’an, sekadar menutup hari dengan sesuatu yang menenangkan. Namun, baru beberapa ayat yang kubaca, mata mulai terasa berat. Aku malah ketiduran, bertambahlah bebanku membaca untuk besok.
Terbangun beberapa saat kemudian, aku menyeret diri ke kamar. Dan di sana, ternyata Iliana masih terjaga.
Aku menatapnya. Ia menatapku balik, masih dengan binar yang sama.
Di titik ini, aku sadar: hidup adalah tentang keseimbangan. Di satu sisi, ada tanggung jawab yang harus dipenuhi, dengan penuh ihsan—dengan kesungguhan, dengan sepenuh hati. Di sisi lain, ada cinta yang menanti untuk dirayakan, untuk dipeluk, untuk dinikmati dalam bentuknya yang paling sederhana.
Hari ini memang melelahkan. Tapi di dalamnya, ada keberkahan yang tersembunyi. Ada ihsan dalam kerja. Ada syukur dalam berbuka. Ada cinta dalam pelukan anak. Ada kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang sering kali kita abaikan.
Dan mungkin, itulah rahasia kehidupan yang sesungguhnya.