Ikhlas

Ikhlas itu aneh. Ia bukan benda yang bisa dipegang, bukan suara yang bisa didengar, bukan warna yang bisa dilihat. Ia ada, tapi sering kali kita tidak tahu di mana letaknya.

Hari ini adalah hari kedua puasa. Perut mulai terbiasa kosong, tapi ada sesuatu yang lebih sulit untuk dibiasakan: hati yang harus lebih lapang. Pagi ini, aku duduk di teras, mengamati matahari yang pelan-pelan naik, mencoba memahami satu kata yang berkali-kali disebut dalam doa, berkali-kali diajarkan oleh orang-orang bijak, tapi entah mengapa tetap terasa samar: ikhlas.

Orang bilang, ikhlas itu menerima. Tapi menerima apa? Menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu sesuai harapan? Menerima bahwa tak semua doa akan dikabulkan dengan cara yang kita inginkan? Menerima bahwa berbagi tidak selalu berbalas terima kasih? Atau menerima bahwa terkadang kita harus melepaskan sesuatu, bahkan ketika hati belum siap?

Hari ini, aku mencoba belajar ikhlas dari hal-hal kecil. Dari antrean panjang di jalan yang kuterima tanpa membunyikan klakson. Dari air minum yang kutuangkan untuk orang lain, meski aku sendiri haus. Dari kesabaran menunggu adzan maghrib tanpa melirik jam setiap lima menit.

Sepertinya, ikhlas memang bukan perkara besar. Ia tumbuh dari hal-hal sederhana. Dari kesediaan untuk tidak mengeluh ketika kenyataan tidak sesuai dengan rencana. Dari hati yang belajar untuk tidak menuntut balasan atas setiap kebaikan. Dari keikhlasan untuk memberi, tanpa berharap menerima.

Ramadhan adalah waktu terbaik untuk melatih ikhlas. Karena setiap hari kita berlatih menahan sesuatu—lapar, haus, amarah, keinginan. Setiap hari kita diingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang memenuhi keinginan, tapi juga tentang merelakan. Tentang bersabar. Tentang memberi, tanpa bertanya kapan akan menerima.

Mungkin itulah makna ikhlas yang sesungguhnya. Bukan sekadar kata, bukan sekadar teori. Tapi sesuatu yang harus dipraktikkan, sedikit demi sedikit, dalam setiap detik kehidupan. Dan mungkin, seperti halnya puasa yang terasa berat di awal tapi semakin ringan seiring berjalannya waktu, ikhlas juga begitu. Hari ini sulit, besok masih terasa berat, tapi suatu saat nanti, ia akan menjadi bagian dari diri kita—mengalir begitu saja, tanpa paksaan.

Dan pada saat itu, kita akan benar-benar mengerti apa artinya ikhlas.