Aku menatap tanganku lagi, masih tergeletak di atas karpet hijau masjid, jari-jarinya sedikit kaku karena kelelahan. Sudah malam ke-22 Ramadan, dan aku masih di sini, berusaha teguh dalam ibadah, berusaha teguh dalam keyakinan. Tapi aku tahu, istiqamah bukan sekadar bertahan dalam sujud dan zikir, bukan hanya bangun di sepertiga malam lalu menangis dalam doa. Istiqamah adalah tetap berjalan di jalan yang benar, bahkan ketika jalan itu penuh onak dan duri.
Seperti malam ini, ketika di luar sana, orang-orang masih berteriak di jalanan, masih mengepalkan tangan di bawah langit yang sama denganku. Mereka tidak menyerah, meski teman-teman mereka telah ditangkap, meski tubuh mereka telah dipukul, meski harga perjuangan semakin mahal. Aku membaca berita dengan mata pedih. Lima orang ditahan di Polsek Cakung, keluarganya diperas dengan tebusan. Di Bandung, massa aksi dikepung, dipukuli, dilempar batu.
Kabar dari Bandung, sekumpulan preman ormas dikerahkan untuk melawan, membantai dan menyeret para demonstran yang berkumpul di area depan gedung DPRD Jawa Barat. Pengerahan preman untuk merepresi para demonstran yang menolak disahkannya UU TNI, menunjukkan kembalinya gaya-gaya premanisme khas orde baru untuk melawan suara dan kedaulatan rakyat.
Di wilayah lainnya juga dikabarkan pengerahan kekuatan berlebihan oleh aparat kepada para demonstran terjadi. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah sedang pasang badan berhadapan dengan rakyat dan alergi terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Serikat Pekerja Kampus mengecam pengerahan kekuatan berlebihan dan cara-cara kotor khas orba, yang diturunkan melawan aspirasi publik yang menolak pengesahan UU TNI.
Mereka tahu risikonya. Mereka tahu mereka bisa ditangkap, bisa dipenjara, bisa dihancurkan oleh sistem yang tak ingin mendengar suara rakyat. Tapi mereka tetap bertahan. Mereka tetap melangkah. Itulah istiqamah.
Tapi istiqamah juga bukan berarti mengorbankan diri tanpa pikir panjang. Bukan berarti membakar tubuh sendiri sampai tak tersisa apa pun. Perjuangan ini bukan tentang siapa yang paling cepat hancur, bukan tentang siapa yang paling dulu roboh. Perjuangan ini tentang siapa yang bisa bertahan paling lama. Karena yang bertahan, yang tetap hidup, itulah yang akan membawa perubahan.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang pernah disampaikan seseorang. Bahwa ibadah bukan hanya tentang sujud yang panjang, bukan hanya tentang mata yang sembab oleh tangis, bukan hanya tentang tubuh yang dibiarkan kelelahan sampai raga sendiri menjerit minta istirahat.
“Ibadah itu tentang keseimbangan,” katanya. “Karena Allah tidak menciptakan kita untuk menyiksa diri sendiri. Allah menciptakan kita untuk menjadi manusia yang utuh, yang menjaga amanah kehidupan dengan baik.”
Aku melihat telapak tanganku yang terhampar di atas karpet hijau masjid. Jari-jari ini, lengan ini, tubuh ini—semua adalah titipan. Dan aku wajib menjaganya. Menjaga kesehatan bukan sekadar urusan dunia, tapi juga urusan akhirat. Karena bagaimana mungkin aku bisa beribadah, bagaimana mungkin aku bisa berjuang, jika tubuh ini sudah lebih dulu tumbang?
Banyak orang berpikir semakin berat ibadah, semakin besar pahalanya. Mereka lupa, bahwa Allah tidak meminta manusia untuk menyakiti dirinya sendiri. Allah tidak menghendaki hamba-Nya jatuh kelelahan sampai ajal menjemputnya di tikar sajadah. Seorang yang meninggal karena kelelahan beribadah, bukankah ia mengabaikan kewajiban untuk menjaga nyawanya sendiri? Bukankah ia lupa bahwa tubuhnya adalah amanah yang harus dijaga?
Begitu pula dengan perjuangan. Aku memikirkan teman-teman yang malam ini masih berada di jalanan, yang masih berlari menghindari pentungan, yang masih berdiri meski lutut mereka gemetar. Aku ingin mereka kuat, aku ingin mereka bertahan. Tapi aku juga ingin mereka ingat: perjuangan ini panjang, dan yang paling kuat bukan yang paling keras, tapi yang paling sabar. Jangan habiskan seluruh tenaga dalam satu malam. Jangan paksa tubuh sampai tak bisa lagi berdiri besok pagi. Jaga dirimu, jaga napasmu, jaga langkahmu.
Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara masjid yang dingin menelusup ke paru-paru. Aku tahu aku tidak bisa diam saja. Aku tahu aku harus terus melakukan sesuatu, sekecil apa pun. Aku tahu perjuangan tidak selalu berarti turun ke jalan, tidak selalu berarti mengepalkan tangan dan berhadapan langsung dengan tameng dan pentungan. Perjuangan bisa berupa kata-kata, bisa berupa doa, bisa berupa kesadaran yang kita sebar seperti benih, menunggu tumbuh dalam pikiran orang-orang.
Aku merapikan dudukku, membiarkan punggung bersandar sejenak di pilar masjid. Aku berdoa, bukan hanya untuk kemenangan, bukan hanya untuk keadilan, tapi juga untuk keselamatan. Karena tak ada gunanya Idul Fitri nanti, jika para pejuang ramadhan tak lagi ada untuk menyaksikannya.