Kasih

Di sebuah sore yang basah, aku melaju di atas motor, ditemani rinai hujan yang menari di udara. Jaket hujan menyelimuti tubuhku, namun dinginnya angin masih menyusup ke dalam. Helmku berembun, sedikit mengaburkan pandangan, tetapi aku terus maju, menembus jalanan yang kuyup. Aku membawa sesuatu yang lebih dari sekadar tubuh yang kehujanan—aku membawa kasih, dalam bentuk sederhana yang mungkin tak banyak dipikirkan orang.

Di tanganku, ada sebuah ember plastik biru. Ember ini bukan sembarang ember. Ia adalah saksi perjalanan bubur samin Jayengan, makanan khas yang hanya muncul di bulan puasa, seperti rindu yang hanya hadir saat jarak menjadi nyata. Bubur samin bukan sekadar makanan; ia adalah warisan kasih, racikan tangan-tangan yang ikhlas, dimasak dalam kawah besar yang mengepul, dibagikan kepada siapa saja yang datang. Tak peduli siapa, tak peduli dari mana, cukup datang, duduk, dan kau akan mendapat seporsi bubur yang kaya rasa dan makna.

Masjid Darussalam di Jayengan, Solo, menjadi pusat dari tradisi ini. Sejak tahun 1985, masjid ini telah membagikan bubur samin sebagai menu berbuka puasa. Setiap hari selama Ramadan, sekitar 1.200 porsi bubur disiapkan dari 45 kilogram beras, dimasak dengan rempah-rempah khas dan minyak samin yang memberikan cita rasa gurih yang khas. Aroma kapulaga, cengkeh, dan kayu manis bercampur dalam bubur berwarna kuning keemasan yang begitu khas. Ini adalah bubur yang membawa jejak sejarah, warisan para pendatang dari Kalimantan Selatan yang menetap di Solo dan berbagi tradisi mereka melalui semangkuk bubur.

Tapi sore itu, aku tak bisa begitu saja datang dan meminta bubur. Antrian panjang sudah menjadi pemandangan biasa di masjid setiap Ramadan. Beruntung, ada Iqlima. Temanku yang satu ini seperti memiliki pintu rahasia menuju dapur kebaikan. Neneknya, perempuan Banjar yang sudah lama menetap di Solo, memiliki banyak kenalan di Masjid Darussalam. Dengan senyum khasnya, Iqlima menelfon orang rumah dan dalam sekejap, aku sudah menggenggam ember biru berisi bubur samin yang masih mengepul. 

Kasih itu tidak perlu banyak kata; ia cukup hadir dalam bentuk yang sederhana: bubur yang mengepul di dalam ember biru, tangan yang rela basah demi membawa pulang sesuatu yang bisa menghangatkan keluarga. Aku membayangkan wajah Nana, istriku, yang menunggu di rumah, dan Iliana, anakku, yang mungkin sudah siap dengan sendoknya, menanti rasa yang hanya bisa ditemukan setahun sekali, dan Aku sendiri yang sudah lama sekali rindu dengan Kalimantan Selatan, tempat pertamaku merantau 9 tahun yang lalu, Barabai, Rantau, Kandangan, Banjarbaru, Martapura.

Bubur samin Jayengan adalah simbol kasih yang unik—tidak diperjualbelikan, hanya dibagikan. Seperti hujan yang jatuh tanpa memilih atap mana yang akan ia basahi, seperti kasih yang tulus, mengalir ke siapa saja yang mau menerimanya. Dan aku, di tengah derasnya hujan dan hiruk-pikuk dunia, hanyalah seorang lelaki yang sedang membawa pulang sedikit kehangatan, sedikit cinta, dalam sebuah ember biru yang penuh makna.